Powered By Blogger

Rabu, 07 Juli 2010

Awas Alergi Obat Akibat Stevens Johnson! Atasi dengan IGIV

Pendahuluan
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) adalah penyakit kulit yang berpotensi menyebabkan kematian dan sebagian besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Sindroma Stevens Johnson juga bisa disebabkan infeksi (biasanya infeksi virus), penyakit keganasan, radiasi, dan idiopatik.1 Penyakit ini menimbulkan tanda dan gejala yang mirip dengan penyakit eritema multiforme yang berat. 2,3 Sindroma Stevens Johnson terjadi 1 sampai 7 kasus per 1 juta penduduk dunia setiap tahunnya. Sindrom ini dapat terjadi pada setiap ras, bahkan juga dapat terjadi pada anjing, kucing, dan kera. Banyak studi epidemiologi numerik menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami Sindroma Stevens Johnson dibandingkan pria (perbandingan 0.5-0.7). Namun, perbandingan kedua jenis kelamin pada penderita HIV adalah sama. Sedangkan perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah sama.4,5 Sindroma Stevens Johnson dapat terjadi pada semua kelompok umur, termasuk neonatus. Oleh karena paparan obat lebih banyak terjadi seiring pertambahan usia seseorang, maka Sindroma Stevens Johnson dan NET lebih sering terjadi pada orang dewasa, apalagi orang dewasa juga lebih reaktif terhadap obat daripada anak-anak. Akhir-akhir ini, infeksi HIV berkaitan dengan Sindroma Stevens Johnson dan NET. Suatu studi menyatakan bahwa Sindroma Stevens Johnson dan NET cenderung timbul pada usia yang lebih muda pada pasien yang juga menderita HIV, yaitu pada usia 35.4 tahun.4,5 Sindroma Stevens Johnson dapat berlanjut menjadi NET.2,3
Prinsip umum tatalaksana Sindroma Stevens Johnson adalah penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Penelitian telah menunjukkan bahwa rujukan yang cepat ke Unit Perawatan Luka Bakar akan menurunkan angka kematian.15 Rawat inap harus dipertimbangkan untuk pasien dengan penampakan gejala awal yang ringan karena tidak mungkin memprediksi pasien Sindroma Stevens Johnson yang akan berkembang mengalami Nekrolisis Epidermal Toksik. 15 Jika obat penyebabnya dapat diidentifikasi, konsumsi obat tersebut harus segera distop. Penghentian segera konsumsi obat penyebabnya (terutama obat yang bekerja dalam jangka pendek), dapat meningkatkan angka harapan hidup. Pasien yang gejalanya disebabkan oleh obat yang bekerja dalam jangka waktu panjang akan lebih berisiko untuk mengalami kematian. 14
Obat-obatan juga digunakan, seperti cyclophosphamide dan cyclosporine.7 Akan tetapi, tidak ada obat yang berhasil mengobati Sindroma Stevens Johnson. Padahal angka kematian akibat NET kira-kira 40 %, sedangkan angka kematian akibat Sindroma Stevens Johnson, yaitu sekitar 15 %.2,3,13
Akhir-akhir ini, terapi dengan immunoglobulin intravena (IGIV) telah terbukti menngurangi gejala Sindroma Stevens Johnson. 8,9,10,11 Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk membahas penggunaan immunoglobulin intravena untuk mengurangi gejala dan angka mortalitas pasien Sindroma Stevens Johnson.

Diskusi
Golongan obat yang dapat menimbulkan Sindroma Stevens Johnson12:
1. Golongan antiinflamasi nonsteroid (AINS): leflunomide, valdecoxib, celecoxib, sulindac, oxaprozin, etanercept, piroxicam, ibuprofen, naprosyn, naproxen infliximab, oxicam, rofecoxib.
2. Golongan antibiotik: amoxicillin, ampicillin, sefalosporin, sephaloxin, ciprofloxacin, doxiciclin, erythromycin, minacycline, peperacillin, penisilin, tetrasiklin, vancomycin, zithromax
3. Golongan sulfa: co-trimoxazole, sulfamethoxazole, sulfacoxine, sulfasalazin, pyrimethamine
4. Golongan barbiturates antikonvulsan, karbamazepine, dilantin, phenytoin
5. Golongan phenobarbital: valporate
6. Obat antituberkulosis: ethambutol, rifampisin, streptomycin
7. Allopurinol

Perjalanan penyakit Sindroma Stevens Johnson 6
1. Gejala konstitusi, seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, dapat muncul 3 hari sebelum timbulnya lesi kulit.
2. Sensasi terbakar pada mata, fotopobia, dan ruam yang mulai timbul simetris pada wajah dan bagian atas torso.
3. Waktu paparan terhadap obat sangatlah penting diketahui, terutama terjadi 1-3 minggu sebelum erupsi pada kulit.

Pemeriksaan Fisik pada Pasien dengan Sindroma Stevens Johnson 6
a. Lesi Primer
Lesi awal Sindroma Stevens Johnson berupa makula kemerahan dengan purpura yang lebih gelap di tengahnya. Lesi-lesi itu berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme karena hanya punya dua zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan makula kemerahan di sekitarnya. Sedangkan lesi target klasik memiliki 3 zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan zona pucat yang mengalami edema di sekitarnya, beserta makula kemerahan di sekitarnya. Lesi-lesi (kecuali bullae di tengahnya) punya ciri khas datar. Sedangkan lesi-lesi eritema multiforme lebih teraba karena tidak datar seperti lesi pada Sindroma Stevens Johnson. Lesi awal pada Sindroma Stevens Johnson juga kadang berupa lesi skarlatiniformis. Lepuhan kendur yang khas muncul dengan nekrosis menyeluruh dari semua lapisan epidermis. Area yang terkelupas memiliki penampakan seperti kertas yang diremas. Juga terdapat Tanda Nikolsky positif yang dengan mudah diperlihatkan dengan menekan bagian lateral dari bula. Makula-makula yang terisolir satu sama lain ditemukan di sekitar area besar dari konfluensi.
Lesi-lesi awalnya timbul simetris pada wajah dan bagian atas dari tubuh dan meluas dengan cepat, maksimal dalam 2-3 hari. Pada beberapa kasus, perluasan maksimal dapat terjadi cepat dalam waktu beberapa jam. Lesi lebih banyak pada area kulit yang terkena sinar matahari. Lesi yang mengelupas lebih banyak terjadi pada daerah yang banyak mendapat tekanan, seperti bahu, sakrum, dan pantat. Lesi kemerahan yang mengalami edema dan nyeri dapat muncul pada telapak tangan dan telapak kaki. Kulit kepala yang berambut tetap normal, tapi daerah epidermis yang lain termasuk lapisan kuku dapat terkena.
Klasifikasi baru mengemukakan bahwa pengelupasan epidermis pada Sindrom Stevens Johnson terbatas hanya kurang dari 10% luas permukaan tubuh. Sindroma Stevens Johnson dapat muncul bersamaan dengan Nekrolisis Epidermal Toksik sehingga menimbulkan konfluensi makula yang kemerahan dan purpurik. Hal ini menyebabkan pengelupasan epidermis pada 10-30% luas permukaan tubuh. Nekrolisis Epidermal Toksik dapat menyebabkan pengelupasan epidermis lebih dari 30%. Suatu bentuk jarang dari Nekrolisis Epidermal Toksik memiliki lesi yang lebih sedikit dan menyerupai lesi target, serta lepuhan yang berada di atas lesi kemerahan yang berkofluensi. Pengelupasan epidermis lebih dari 10% diperlukan untuk mendiagnosis penyakit ini. Sebaliknya, eritema multiforme yang memiliki lesi bulosa (yang dulu dianggap sejenis dengan Sindroma Stevens Johnson), hanya mengalami pengelupasan kulit kurang dari 10% luas permukaan tubuh, tetapi lesi target yang khas atau yang tidak khas terletak paling banyak di area akral.
b. Lesi sekunder
Area tubuh yang epidermisnya terkelupas berwarna hitam dengan permukaan yang mengeluarkan pus. Lesi kulit dapat sembuh diikuti hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Jari tangan dan kaki dapat tumbuh abnormal.
c. Membran mukosa dapat terkena pada semua pasien dan dapat mendahului lesi kulit, muncul selama masa prodromal.
Erosi mulut yang nyeri menimbulkan krusta yang parah pada bibir, meningkatkan pengeluaran air liur dan sukar mengunyah makanan. Sedimen silindris intak yang ada dalam dahak pada epitel bronkus juga bisa ditemukan. Jika area genitalia yang terkena, akan menyebabkan nyeri saat berkemih. Selain itu, lesi juga dapat terjadi pada orofaring, trakea, bronkus, esofagus, saluran cerna, dan anus. Diare profus yang kaya protein juga dapat terjadi. Lesi pada membran mukosa yang ada di dalam tubuh tidak hanya terjadi pada pasien yang mengalami lesi kulit yang luas. Lesi di sistem genitourinaria dapat menyebabkan phimosis dan sinekia vagina.13
d. Lesi mata khususnya problematik karena berisiko tinggi menimbulkan gejala sisa.
Awalnya, konjungtiva berwarna merah dan nyeri. Kelopak mata sering menyatu satu sama lain, di mana usaha untuk memisahkan keduanya akan menyebabkan pengelupasan epidermis. Erosi konjungtiva pseudomembran dapat membentuk sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva. Erosi konjungtiva juga dapat menyebabkan sikatrik yang menyebabkan bulu mata mengalami inversi, fotopobia, sensasi terbakar pada mata, hiperlakrimasi, sindroma yang menyerupai penyakit sika, serta neovaskularisasi kornea dan konjungtiva. Empatpuluh persen dari pasien yang bertahan hidup dapat mengalami kebutaan. 13

Prognosis Sindroma Stevens Johnson
Tes SCORTEN adalah tes untuk menskoring derajat keparahan Sindroma Stevens Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Penghitungan dilakukan dalam 24 jam untuk memprediksi kematian. Adanya penampakan dari tiap hal di bawah ini mendapat skor 1, dan jumlah dari poin-poin inilah yang dinamakan angka SCORTEN dengan skor maksimum 7.13 Penampakan yang diukur: umur lebih dari 40 tahun, adanya keganasan, nadi lebih dari 120 kali per menit, kadar glukosa lebih dari 252 mEq/L5, kadar BUN lebih dari 27 mg/dl, kadar bikarbonat kurang dari 20 mEq/L, luas permukaan tubuh yang terkena lebih dari 10%. Angka kematian SCORTEN: skor 0-1 - 3.2%, skor 2 - 12.1% , skor 3 - 35.3%, skor 4 - 58.3%, skor of 5 atau lebih - 90%

Penggunaan immunoglobulin intravena (IGIV) dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson dan Nekrosis Epidermal Toksik
Prinsip umum tatalaksana Sindroma Stevens Johnson adalah penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Namun, akhir-akhir ini juga digunakan obat-obatan dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson. Sindroma Stevens Johnson dan NET sering diinduksi oleh obat, tetapi mekanisme patofisiologinya belum diketahui.
Salah satu teori menyatakan bahwa apoptosis melibatkan interaksi antara reseptor permukaan sel (seperti Fas) dengan ligand untuk membentuk Fas ligand( FasL). Pada tahun 1998, Viard et al mendemonstrasikan adanya konsentrasi tinggi dari Fas ligand yang larut pada serum penderita NET. Secara in vitro, kematian dari sel target dihalangi oleh antibodi yang memblok FasL dan juga dihalangi oleh antibodi yang ada pada immunoglobulin intravena manusia. Intinya, obat-obat tertentu dapat mengaktivasi produksi ligand apoptotik yang berasal dari keratinosit, dikenal sebagai CD95 (fas) ligand. Ligand ini dapat berikatan dengan reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di permukaan keratinosit. Hal ini dapat menyebabkan kematian sel yang terprogram. IGIV dibuktikan memiliki kemampuan memblok ligand apoptotik dari berikatan dengan reseptor ini. Hal ini mencegah apoptosis dari keratinosit dan pengelupasan epidermis. Suatu percobaan menunjukkan adanya perbaikan dalam 24-48 jam pada 10 penderita NET setelah diberikan immunoglobulin intravena sehingga tidak terjadi kematian pada kesepuluh pasien ini.

Farmakokinetik dan farmakodinamik dari IGIV
Imunoglobulin intravena digunakan untuk memperbaiki gejala klinis dan daya tahan tubuh pasien terhadap penyakit. Obat ini dapat mengurangi autoantibodi dan melarutkan sehingga menghilangkan kompleks imun. Contoh merk IGIV yang beredar di pasaran adalah Gamimune, Gammar-P, Sandoglobulin, Gammagard S/D. Dosisnya 1g/kg BB/ hari selama 3 hari. Sedangkan dosis untuk anak-anak belum diketahui. Kontraindikasi pada hipersensitivitas dan defisiensi IgA. Pemakaian globulin dapat terganggu dan berkurang efektivitasnya oleh respon imun yang disebabkan oleh vaksin (mis: vaksin MMR) sehingga IGIV jangan diberikan dalam kurun waktu 3 bulan setelah pasien divaksinasi. Keamanan penggunaan IGIV untuk ibu hamil belum diketahui.17,18,19,20,21 IGIV didapatkan dari plasma darah dari ratusan pendonor yang sehat sehingga mengandung berbagai antibodi yang bersifat protektif melawan penyakit manusia dan antigen dari luar. Waktu paruh rata-rata dari IGIV dalam tubuh manusia yang imunitasnya baik adalah 3 minggu. Efek imunomodulasi dari IGIV bersifat kompleks, yaitu modulasi ekspresi dan fungsi reseptor-reseptor Fc retikuloendotelial, mengganggu aktivasi komplemen dan sitokin, pengenalan antibody antiidiotipe, dan efek pada aktivasi, diferensiasi, serta fungsi efektor dari sel T dan sel B. Oleh karena IGIV mampu memblok apoptosis yang dimediasi oleh keratinosit, maka IGIV juga bisa digunakan untuk mengatasi reaksi kulit yang berat akibat penggunaan obat. Sebagai contoh, pasien dengan reaksi kulit yang berat akibat penggunaan obat cenderung untuk mengalami komplikasi infeksi di mana IGIV dapat menguranginya melalui mekanisme antiinfeksinya. Selebihnya, IGIV menyimpan protein dan air yang dapat membantu mengurangi bertambahnya kehilangan cairan melalui kulit yang terkelupas.17,18,19,20,21
IGIV diberikan sebagai pengganti protein plasma (IgG) untuk pasien dengan defisiensi imun yang kemampuan produksi antibodinya berkurang. Pada pasien dengan defisiensi imun, IGIV diberikan untuk mempertahankan jumlah antibodi yang cukup untuk mencegah infeksi dan memberikan imunitas pasif. Terapi diberikan setiap 3-4 minggu. Untuk pasien dengan penyakit autoimun, IGIV diberikan pada dosis tinggi (umumnya 1-2 gram IGIV / kg / BB) untuk mengurangi tingkat keparahan gejala dari penyakit autoimun.17,18,19,20,21 Mekanisme pasti IGIV dalam menekan inflamasi yang berbahaya, belum bisa dijelaskan, tetapi diyakini bahwa caranya dengan menghambat reseptor Fc.18,19 Target primer IGIV pada penyakit autoimun juga belum jelas. Namun, IGIV dapat bekerja melalui banyak tahap di mana IGIV yang disuntikkan pertama kali membentuk sejenis kompleks imun dalam tubuh pasien.23 Ketika kompleks imun ini terbentuk, kompleks imun berinteraksi dengan reseptor Fc yang aktif pada sel dendritik20 ,kemudian memediasi efek antiinflamasi yang membantu mengurangi keparahan gejala penyakit autoimun atau inflamasi. Selanjutnya, antibodi pendonor dapat berikatan secara langsung dengan antibodi abnormal dalam tubuh resipien sehingga dapat membuang antibodi yang abnormal itu. Selain itu, antibodi yang jumlahnya banyak tersebut dapat merangsang sistem komplemen dalam tubuh pasien sehingga meningkatkan pembuangan semua antibodi yang berbahaya. IGIV juga menghambat reseptor antibodi pada sel imun (sel makrofag), sehingga mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh sel makrofag atau pengaturan fagositosis dari makrofag. IGIV juga dapat mengatur respon imun dengan bereaksi terhadap sejumlah reseptor membran pada sel T, sel B, dan monosit yang bisa menyebabkan autoreaktivitas dan induksi terhadap toleransi tubuh sendiri.17
Suatu laporan terbaru menyatakan bahwa penggunaan IGIV untuk mengaktivasi sel T menyebabkan kemampuan sel T untuk berikatan dengan mikroglia berkurang. Akibatnya terjadi penurunan jumlah TNF alfa dan interleukin 10. Hal ini semakin memperdalam pengertian tentang bagaimana efek IGIV terhadap inflamasi pada sistem saraf pusat pada penyakit autoimun.21
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan IGIV 22:
Periksa IgA serum sebelum pemakaian IGIV
IGIV akan meningkatkan viskositas dan risiko tromboembolik.
IGIV akan meningkatkan risiko serangan migraine, meningitis aseptik (10%), urtikaria, pruritus, atau petekie (2-30 hari setelah pemberian IGIV).
IGIV juga meningkatkan risiko nekrosis tubular akut pada pasien lanjut usia, diabetes, hipovolemia, dan penyakit ginjal.
IGIV menyebabkan perubahan hasil laboratorium di mana titer antibodi yang bersifat antiviral dan antibakterial selama 1 bulan akan meningkat 6 kali lipat pada ESR selama 2-3 minggu. IGIV juga menyebabkan hiponatremia.
Komplikasi dan efek samping IGIV, antara lain: sakit kepala, dermatitis sering di telapak tangan dan kaki, infeksi (seperti HIV atau viral hepatitis), kontaminasi dari produk darah, edema paru, alergi/ reaksi anafilaktik, gagal ginjal akut, trombosis vena, meningitis aseptik

IGIV lebih efektif daripada kortikosteroid, siklosporin, dan siklofosfamid dalam tatalaksana SSJ dan NET
Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial karena bisa meningkatkan risiko infeksi sekunder. Banyak studi retrospektif yang menunjukkan tidak adanya manfaat bahkan malah menaikkan angka morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan sepsis. Risiko sepsis ini mungkin tergantung dari area kulit yang terkelupas.16 Halebian et al menganjurkan untuk tidak memakai kortikosteroid berdasarkan dua studi prospektif yang diacak secara terbuka di mana 30 pasien dirawat di unit perawatan luka bakar. Limabelas pasien menerima kortikosteroid dan sisanya tidak. Sampel pasien yang diambil memiliki kesamaan dari segi rentang usia, lama penyakit sebelum diobati, dan jumlah luas permukaan kulit yang basah. Tigapuluh tiga persen dari pasien yang memakai steroid bertahan hidup, sedangkan jumlah pasien yang bertahan hidup tanpa pemakaian kortikosteroid sebanyak 66%.(P = .057). Sepsis terjadi dengan frekuensi yang serupa pada dua kelompok subjek penelitian tersebut, tetapi 91% pasien sepsis yang memakai kortikosteroid mengalami kematian, sedangkan hanya 56% pasien sepsis yang tidak memakai kortikosteroid mengalami kematian. Steroid yang direkomendasikan untuk sepsis akibat bakteri gram negative, akan menurunkan daya tahan tubuh pasien dan menyebabkan pengenalan gejala klinis sepsis yang terlambat karena gejala sepsis ditekan.16 Obat-obatan lain juga digunakan, seperti siklofosfamid dan siklosporin. Suatu studi terbuka dari literatur tentang trauma, menunjukkan efektivitas dari siklosporin. Arevalo et al meneliti 11 pasien yang dirawat terus-menerus di unit perawatan luka bakar dengan NET yang mengenai luas permukaan tubuh sebesar 83% ± 17% Masing-masing pasien menerima siklosporin dengan dosis 3 mg/kg BB/ hari per oral setiap 12 jam. Kelompok studi ini dibandingkan dengan 6 orang yang berfungsi sebagai kontrol di mana keenamnya diberi siklofosfamid dan kortikosteroid. Perlambatan progresi penyakit dan penyelesaian reepitelisasi sangat cepat pada kelompok yang diberi siklosporin. Semua pasien yang diberi siklosporin bertahan hidup, sedangkan hanya 50% pasien yang bertahan hidup dengan pemakaian siklofosfamid. Siklosporin menurunkan angka mortalitas menjadi kira-kira 30% pada pasien NET yang tidak mengidap HIV, tetapi percobaan terkontrol dan acak masih harus dilakukan untuk menyusun rekomendasi yang definitif.7 Siklofosfamid, N-asetilsistein, dan antibodi monoklonal secara langsung melawan sitokin. Hal ini dibuktikan oleh beberapa laporan kasus yang terpisah beserta studi kecil yang tidak terkontrol. 7
Sejumlah studi mendukung pemakaian immunoglobulin intravena (IGIV) dalam tatalaksana NET. Sebuah studi terbuka pada 10 pasien NET yang menerima immunoglobulin intravena menunjukkan bahwa IGIV menghambat progresivitas gejala dalam 24-48 jam sehingga pasien tidak mengalami kematian. Sejak tahun 2000, sejumlah laporan kasus dan 8 studi klinis yang tidak terkontrol meneliti lebih dari 9 pasien, telah menganalisis efektivitas IGIV dalam tatalaksana NET. Beberapa studi tidak menunjukkan adanya manfaat IGIV dalam tatalaksana NET, sedangkan studi yang lain menunjukkan bahwa IGIV bermanfaat untuk menurunkan angka kematian pada penderita NET. Enam dari delapan studi menunjukkan bahwa IGIV bermanfaat jika diberikan dengan dosis sejumlah lebih dari 2g/kg berat badan. Di Rumah Sakit Pendidikan Stony Brook New York, pasien SSJ dan NET diterapi dengan IGIV dosis 1g/kg BB/hari untuk 4 hari berturut-turut.8,9,10,11,12 Dengan menggunakan sampel yang lebih besar ( negara), penelitian Euro Scar menyatakan bahwa penggunaan IGIV untuk tatalaksana Sindroma Stevens Johnson tidak menunjukkan efektivitas yang berarti. Akan tetapi, dalam penelitian ini menggunakan IGIV dalam dosis yang lebih kecil sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa IGIV tidak efektif dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson. 24
Kesimpulan
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) merupakan penyakit kulit yang berpotensi menyebabkan kematian yang sebagian besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Tatalaksana umum SSJ adalah dengan penghentian konsumsi obat yang dicurigai sebagai pencetus, penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Terapi ini dapat disertai dengan pemberian immunoglobulin intravena (IGIV), yang terbukti mengurangi gejala Sindroma Stevens Johnson sehingga dapat mengurangi angka mortalitas. Cara kerjanya adalah dengan memblok CD95 (fas) ligand agar tidak berikatan dengan reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di permukaan keratinosit sehingga mencegah apoptosis keratinosit dan pengelupasan epidermis.
Daftar Pustaka
1. French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens Johnson syndrome: our current understanding. Allergol Int. Mar 2006;55(1):9-16.
2. Auquier-Dunant A, Mockenhaupt M, Naldi L, et al. Correlations between clinical patterns and causes of erythema multiforme majus, Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis: results of an international prospective study. Arch Dermatol. Aug 2002;138(8):1019-24.
3. Roujeau JC. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis are severityvariants of the same disease which differs from erythema multiforme. J Dermatol. Nov 1997;24(11):726-9.
4. Chan HL, Stern RS, Arndt KA, et al. The incidence of erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome, and toxicepidermal necrolysis. A population-based study with particular referenceto reactions caused by drugs among outpatients. Arch Dermatol. Jan 1990;126(1):43-7.
5. Strom BL, Carson JL, Halpern AC, et al. A population-based study of Stevens-Johnson syndrome. Incidence and antecedent drug exposures. Arch Dermatol. Jun 1991;127(6):831-8.
6. Roujeau JC. The spectrum of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: aclinical classification. J Invest Dermatol. Jun 1994;102(6):28S-30S.
7. Arevalo JM, Lorente JA, Gonzalez-Herrada C, Jimenez-Reyes J. Treatment of toxic epidermal necrolysis with cyclosporin A. J Trauma. Mar 2000;48(3):473-8.
8. French LE, Trent JT, Kerdel FA. Use intravenous immunoglobin in toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: our current understanding. Int Immunopharmacol. 2006;6(4):543-9.
9. Prins C, Kerdel FA, Padilla RS, et al. Treatment of toxic epidermal necrolysis with high-dose intravenous immunoglobulins: multicenter retrospective analysis of 48 consecutive cases. Arch Dermatol. Jan 2003;139(1):26-32.
10. Trent JT, Kirsner RS, Romanelli P, Kerdel FA. Analysis of intravenous immunoglobulin for the treatment of toxic epidermal necrolysis using SCORTEN: The University of Miami Experience. Arch Dermatol. Jan 2003;139(1):39-43.
11. Viard I, Wehrli P, Bullani R, et al. Inhibition of toxic epidermal necrolysis by blockade of CD95 with humanintravenous immunoglobulin. Science. Oct 16 1998;282(5388):490-3.
12. Roujeau JC, Kelly JP, Naldi L, et al. Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. N Engl J Med. Dec 14 1995;333(24):1600-7.
13. Guegan S, Bastuji-Garin S, Poszepczynska-Guegne E, et al. Performance of the SCORTEN during the first five days of hospitalization to predict the prognosis of epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2006;126(2):272-6.
14. Garcia-Doval I, LeCleach L, Bocquet H, et al. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: does earlywithdrawal of causative drugs decrease the risk of death?. Arch Dermatol. Mar 2000;136(3):323-7.
15. Khalili B, Bahna SL. Pathogenesis and recent therapeutic trends in Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Ann Allergy Asthma Immunol. Sep 2006;97(3):272-80; quiz 281-3, 320.
16. Halebian PH, Corder VJ, Madden MR, et al. Improved burn center survival of patients with toxic epidermal necrolysismanaged without corticosteroids. Ann Surg. Nov 1986;204(5):503-12.
17. Bayry J, Thirion M, Misra N, Thorenoor N, Delignat S, Lacroix-Desmazes S, Bellon B, Kaveri S, Kazatchkine MD. Mechanisms of action of intravenous immunoglobulin in autoimmune and inflammatory diseases. Neurol Sci. 2003; 24: S217-S221.
18. Falk Nimmerjahn and Jeffrey V. Ravetch. The antiinflammatory activity of IgG: the intravenous IgG parado. The Journal of Experimental Medicine. 204(1):11-5.
19. James E. Gern, MD. Antiinflammatory activity of IVIG mediated through the inhibitory FC recepto. PEDIATRICS. August 2002;110(2):467-68.
20. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16715090 Siragam V, Crow AR, Brinc D, Song S, Freedman J, Lazarus AH. Intravenous immunoglobulin ameliorates ITP via activating Fc gamma receptors on dendritic cells. Nat Med. 2006 Jun;12(6):688-92. PMID: 16715090
21. Janke AD, Yong VW. Impact of IVIG on the interaction between activated T cells and microglia. Neurol Res. 2006 Apr;28(3):270-4. PMID 16687052
(downloaded on April 30, 2008)

22. http://www.fda.gov/cber/recalls.htm (downloaded on April 30, 2008) 24. Schneck J, Fagot J-P, Sekula P. Effects of treatments on the mortality of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: EuroSCAR Study. J Am Acad Dermatol 2008;58:33 - 40

23. Christa Prins, et al. Treatment of Toxic Epidermal Necrolysis With High-Dose Intravenous Immunoglobulins: Multicenter Retrospective Analysis of 48 Consecutive Cases Arch Dermatol. 2003;139:26-32.
24. Schneck J, Fagot J-P, Sekula P. Effects of treatments on the mortality of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: EuroSCAR Study. J Am Acad Dermatol 2008;58:33 - 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar