Powered By Blogger

Rabu, 07 Juli 2010

Kenikmatan Seks, Berguna untuk Penanggulangan HIV/AIDS

Judul yang kontroversial? Tunggu dulu, harus membaca artikel ini sampai tuntas baru bisa mengetahui apa inti pesan dalam artikel ini.

Seminar Nasional HIV/ AIDS 2010 dibuka oleh Menteri Kesehatan yang sempat mengomentari tidak dipakainya kondom dalam video mesum yang sedang top beredar. Ya, ternyata dari data terbaru terungkap bahwa seks bebas menjadi faktor risiko utama penularan HIV/AIDS daripada pemakaian narkoba melalui jarum suntik. Mengapa bisa begitu? Terlepas dari lebih mudahnya penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik karena langsung melalui darah, ternyata penggunaan narkoba melalui jarum suntik telah mencapai titik jenuh. Hal ini mungkin kesadaran masyarakat akan bahaya jarum suntik. Namun, ini tidak berlaku untuk seks yang adalah suatu kebutuhan dan lebih “menyenangkan” daripada jarum suntik hehehehe.

Seks adalah kebutuhan? Tentu saja. Oleh karena jika tidak disalurkan dengan benar, akan mengakibatkan berbagai masalah psikis yang akhirnya mengarah kepada masalah fisik. Terutama bagi kaum pria yang tinggi kadar testosteronnya. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa selama ini para pria kurang menjadi target yang diperhatikan dalam program penanggulangan HIV/AIDS. Padahal data terbaru menunjukkan bahwa seks menjadi faktor utama penularan HIV/AIDS sehingga pria memegang peranan terpenting.

Lho? Bukankah peranan terpenting justru ada pada Pekerja Seks Komersial (PSK)? Di sinilah letak kesalahan kita selama ini. Kita selalu fokus pada PSK, terutama PSK perempuan padahal juga ada PSK laki-laki (gigolo). Jelas terkadang diskriminasi gender masih kental di negara kita. Adanya keegoisan yang sepertinya “disengaja” untuk mendeskreditkan perempuan dengan kedok agama, adanya budaya paternalistik yang kental, dsb. Padahal dari data terbaru terungkap bahwa jumlah PSK hanya 20 ribuan dan jumlah tersebut cenderung menetap. Mengapa bisa menetap? Karena mereka menjadi PSK biasanya terdorong oleh motif ekonomi. Setelah ekonomi membaik, mereka meninggalkan pekerjaan tersebut, tetapi diimbangi oleh jumlah PSK yang baru. Bisa dikatakan bahwa PSK memiliki regenerasi secepat artis sinetron hehehehe. Apalagi tentu PSK yang lebih “fresh” akan lebih “menjual”.

Memang kaum wanita pun banyak yang memakai jasa gigolo, tetapi jumlah pria pelanggan PSK jauh lebih banyak. Oleh karena wanita berselingkuh lebih kepada pemenuhan kebutuhan psikologis daripada seksual, walau akhirnya bisa terjerumus ke hubungan seksual. Yang menyesatkan tentu pandangan bahwa emansipasi wanita membuat wanita juga bebas berselingkuh dan berhubungan seks. Padahal jika ingin konsisten, justru emansipasi itu ditunjukkan dengan pembatasan wanita terhadap pria dalam menjelajahi tubuhnya, dan bukan sebaliknya.

Yang menarik justru jumlah pelanggan PSK yang mencapai 2 jutaan orang (100 kali lipat dari jumlah PSK). Bagaimana bisa timpang seperti ini? Karena PSK mengalami regenerasi yang cepat, tetapi pelanggannya justru terakumulasi. Terakumulasi karena pelanggan yang lama masih menjadi pelanggan, sedangkan pelanggan yang baru juga bertambah. Bayangkan jumlah 2 juta pelanggan ini yang nanti akan menulari istri-istri mereka yang baik-baik, dan bahkan menulari anak-anak mereka. Jelas akan terjadi ledakan angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia.

Dari uraian di atas, jelas yang harus menjadi fokus kita sekarang juga adalah kaum pelanggan PSK yang lebih banyak berjenis kelamin pria. Mereka mencakup pria dari berbagai tingkat pendidikan dan ekonomi. Bahkan yang “alim’ pun bisa terjerumus. Mengapa bisa demikian? Tak pelak lagi seperti yang disebutkan di atas bahwa seks adalah suatu kebutuhan dan kesenangan.

Nah, sekarang permasalahan selanjutnya adalah bagaimana bisa menyalurkan kegiatan yang dibutuhkan dan disenangi ini secara benar? Mungkin banyak isu beredar bahwa kalangan medis memfasilitasi seks bebas dengan sosialisasi kondom dll. Padahal dari kalangan medis sendiri menganjurkan untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum pernikahan dan melakukan hubungan seks hanya dengan pasangan resmi. Sosialisasi kondom hanya suatu “keterpaksaan” karena ternyata sulit sekali mencegah hubungan seks sebelum pernikahan dan setia dengan pasangan.

Tentu permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mencegah hubungan seks sebelum pernikahan dan tips agar setia dengan pasangan? Jawaban klisenya adalah agama. Ternyata ini tidak efektif untuk masyarakat hedonis dan logis dewasa ini. Maka mau tidak mau, kesalahan agama harus diperbaiki.

Lho koq agama bisa salah? Tentu saja agama bisa salah karena penganutnya. Ya, penafsiran kaku terhadap agama bisa menjerumuskan walau ayat dalam firman-firman itu tidak bermaksud demikian. Misalkan tentang masalah seks di mana agama selalu menganggap tabu untuk mendiskusikannya, padahal dalam ayat-ayat berbagai kitab justru ada bagian yang mengeksplorasi masalah ini. Mengapa lantas dijadikan tabu? Karena budaya kemunafikan yang tentu tidak ada hubungannya dengan agama. Budaya munafik lebih berpengaruh daripada budaya yang ditawarkan agama itu sendiri. Kemunafikan mempengaruhi penafsiran agama.

Waduh, malah masuk ke ranah agama. Lha iya, soalnya koq Indonesia yang terkenal religius ternyata tertinggi angka penularan HIV/AIDS-nya di Asia. Sedangkan dari data terbaru jelas bahwa penularan paling banyak terjadi melalui seks bebas. Kita sering tabu membicarakan seks bebas sehingga lebih sering membahas jarum suntik. Itu tanda dari salah satu kemunafikan yang akhirnya berdampak seks bebas semakin berkembang sehingga penularan HIV/AIDS di Indonesia melonjak tajam. Data ketidakperawanan yang tinggi dan maraknya video mesum yang dibuat kaum awam termasuk pelajar, menunjukkan bahwa kita lengah karena saking tabunya membicarakan seks.

Lalu apa solusinya? Jelas adalah pendidikan seks. Pendidikan seks bagi semua kalangan, bahkan mulai dari kalangan pelajar SD. Karena menstruasi sekarang juga sudah banyak dialami pelajar SD berusia 9 tahun di mana tentu sudah memiliki dorongan seksual. Nah, untuk pasangan suami-istri sudah harus dibahas terbuka bagaimana cara menyenangkan pasangan di atas ranjang karena dari penelitian jelas masalah seks adalah salah satu faktor terpenting dalam keharmonisan rumah tangga. Jika ini lebih intens dilakukan, tentu banyak pria yang tidak akan menjadi pelanggan PSK. Walau memang bukan hanya masalah seks semata yang mendasari kesetiaan, tetapi hendaknya masalah keharmonisan seks harus diperhatikan sejalan dengan pendidikan agama, moral, dan psikologi. Sudah saatnya diskusi keharmonisan seks dilakukan dalam lingkungan ibadah. Agar tidak terjadi lagi kemunafikan, agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman bahwa ketaatan agama diidentikkan dengan antiseks. Juga agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman bahwa agama melarang salah satu kebutuhan dan kesenangan manusia yang paling mendasar, yaitu SEKS sehingga kita bisa memadukan agama, kesenangan, dan kesehatan, ehmmmm………..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar