tag:blogger.com,1999:blog-29939807139076386402024-03-13T09:49:08.520-07:00Dr. Erfen Gustiawan SuwangtoErfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-34227293930989953262010-12-24T01:37:00.001-08:002010-12-24T01:46:28.503-08:00Gloria in Exelcis Deo<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdl-8lC9u1imJ5xtt2x1J4UBm405XKR8sgyVx9ChKex6LVwF8fHY8SO4JtcspJGi35djYzf50jnuRtzJ43u2ou_PSzIsQjwhhHitSxhoj3LMit3W-j1UsFvmoIfTKGOSRbnMnAlnRTj6lk/s1600/1293163080694885467_300x226.5625.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 226px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdl-8lC9u1imJ5xtt2x1J4UBm405XKR8sgyVx9ChKex6LVwF8fHY8SO4JtcspJGi35djYzf50jnuRtzJ43u2ou_PSzIsQjwhhHitSxhoj3LMit3W-j1UsFvmoIfTKGOSRbnMnAlnRTj6lk/s320/1293163080694885467_300x226.5625.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5554182266874582178" /></a>
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">Kidung Serafim memecah kesunyian malam padang Efrata
<br />
<br />Menyambut kelahiran Sang Penguasa Semesta
<br />
<br />Dua milenium berlalu dan semesta tetap bersuka
<br />
<br />Merayakan dirgahayu Sang Raja Gereja
<br />
<br />Selamat ulang tahun kepada Pemelihara Nebula
<br />
<br />Kemuliaan hanya bagi Sang Pelukis Aurora di Kutub Selatan dan Utara</span></span>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-68444689361183689642010-12-24T01:34:00.000-08:002010-12-24T01:35:50.411-08:00RENUNGAN MALAM NATALAdalah seorang pelayan medis bernama dr. X yang menginspirasi tulisan ini. Seorang sejawat senior yang menjadi gambaran ideal dari anggota korps jas putih, walau ia sendiri hampir tidak pernah memakai jubah kebesarannya itu. Seorang rendah hati yang wajar jika hanya diberikan nama samarannya sebagai dr. X. Bahkan X juga bukanlah inisial namanya karena orang seperti beliau pastilah tidak mau diekspos. Namun, inspirasi yang muncul dalam dirinya sangatlah penting untuk menjadi bahan renungan di tengah semarak perayaan natal malam ini.<br /><br /> <br /><br />Ada apa yang dilakukan oleh dr. X? Sebesar apa perannya sehingga dianggap inspirasional? Sesungguhnya masih ada banyak lagi orang-orang seperti ini, tetapi dr. X adalah suatu contoh yang gamblang tanpa metafora yang selangit kiasannya. Merawat orang-orang sakit dari kalangan terpinggirkan dengan tulus, tanpa pamrih. Bukankah itu sudah menjadi bagian pekerjaannya sebagai korps jas putih? Lantas apa keistimewaannya? Seberapa banyak orang seperti beliau ini yang bisa dikategorikan “full time” dalam merawat pasien-pasien kalangan terbawah? Kalangan terbawah bukan sekedar miskin, tetapi golongan yang termiskin di antara yang termiskin?? Tentu bisa dihitung dengan jari karena pekerja sosial pun banyak yang hanya “menyisihkan” waktunya untuk merawat orang-orang seperti ini, tidak “full time” seperti beliau.<br /><br /> <br /><br />Lebih jauh lagi, untuk seorang dr. X, istilah “full time service” yang dilakukannya bahkan bisa ditambahkan dengan istilah “full heart service” karena seumur hidup mata sendiri belum pernah melihat orang yang sebegitu semangat dan bahagianya dalam melayani orang-orang penyakitan yang miskin dan berbau kotoran manusia. Ya, kotoran yang belepotan teroles pada selimut dan tempat-tempat tidur pasien yang dilayaninya. Sungguh seperti bukan manusia, tetapi mereka masih manusia hanya karena miskin dan sakit sehingga tidak bisa mengurusi kebersihan dirinya sendiri. Sebagian adalah orang-orang tua yang sudah hilang ingatannya, sebagian lagi memang pasien gangguan jiwa. Walau sering mendengar pelayan-pelayan sosial seperti ini, biasa hanya didengar atau dilihat dari media. Mimik bahagia biasa akan muncul jika manusia melihat pemandangan indah, megah, dan bersih. Namun, bagi dr. X, mimik seperti ini terpahat di garis wajahnya justru ketika menolong kaum penyakitan di antara yang termiskin.<br /><br /> <br /><br />Dr. X sering mengajak sejawat senior untuk membantunya, dan tentu saja ada yang membantu walau mimik wajahnya tidak sebahagia dr. X tatkala berhadapan dengan pasien dari kalangan termiskin tersebut. Setiap ada pihak lain yang ingin membantu, dr. X menyambutnya seperti menyambut kedatangan orang besar. Ya, manusia pada umumnya menyambut petinggi dengan antusias, tetapi dr. X antusias menyambut orang penyakitan dan para donatur. Bahkan, suatu kali ketika ikut membantunya dalam suatu kegiatan bakti sosial di suatu panti sosial pemerintah, sang pemimpin panti itu pun tidak setulus dan serendah hati dr. X. Begitulah, dr. X sering membantu panti-panti milik pemerintah yang harusnya ditangani oleh pemerintah, bukan oleh dirinya. Dan pelayanan dr. X bahkan jauh lebih baik daripada aparat pemerintah yang memang digaji untuk merawat kalangan termiskin tersebut.<br /><br /> <br /><br />Bagi beberapa orang, hal ini merupakan suatu keanehan tersendiri. Apalagi di saat menjelang natal yang penuh dengan kemewahan dan kemeriahan, serta tentunya jauh dari bau kotoran manusia. Akan tetapi, kita lupa bahwa perayaan Natal 2ooo tahun yang lalu juga berlatar sama dengan kondisi yang dihadapi dr. X. Di mana Bayi Yesus dilahirkan di kandang binatang yang berbau, bukan dalam gereja atau istana yang megah. Di mana Sang Bayi Kudus bahkan tidak diselimuti dengan selimut bayi yang wangi, tetapi hanya selembar kain lampin yang tetap membuat-Nya kedinginan. Seorang Bayi yang datang bukan untuk menikmati hangatnya dunia, tetapi sudah dikejar-kejar pembunuh saat baru lahir. Seorang Bayi yang datang bukan untuk dilindungi, tetapi untuk mati menebus dosa segenap semesta. Sungguh seorang dr. X telah merayakan Natal yang terbaik. Mungkin beberapa pemuka agama saja tidak merayakan Natal sebaik itu karena masih berbalutkan jas baru di dalam gereja yang megah. Dan tentu saja, seorang dr. X tidak akan bisa tersaingi oleh orang-orang berilmu agama tingkat tinggi atau “mengaku ahli teolog” sehingga kerjanya hanya berdebat tanpa bersumbangsih seperti teladan Sang Mesias. Pertanyaan terakhir, “Di manakah dr. X pada malam natal ini?” Kemungkinan besar ia menghabiskan waktu dalam kebahagiaannya yang sejati, yaitu menjadi malaikat penghibur bagi kalangan termiskin yang tenggelam dalam gemerlap malam natal.<br /><br />GLORIA…GLORIA…GLORIA<br /><br />GLORIA IN EXELCIS DEO<br /><br />AD MAJOREM DEI GLORIAM.<br /><br />Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-26293356974537723722010-09-07T05:10:00.001-07:002010-09-07T05:30:47.461-07:00Hiruk-Pikuk Negeri Zamrud KhatulistiwaDi negeri zamrud khatulistiwa ini, hampir selalu ada gejolak baru sejak reformasi dikumandangkan. Bagaimana tidak? Setiap hari selalu ada berita sensasional yang menyedot atensi. Tidak jelas apakah ini hanya trik dari kalangan jurnalis untuk mencari profit ataukah untuk mengungkap kondisi bangsa yang memang tidak fit?<br /><br />Namun, bagi beberapa kalangan yang peka dan berpengalaman, menyadari bahwa sebagian besar “gejolak” tersebut hanya merupakan euforia dalam berdemokrasi. Wajar sekali jika euforia ini terjadi, tetapi apakah sehat jika kita terus terjebak dalam kondisi ini? Euforia adalah suatu kondisi yang dapat membuat kita lupa akan esensi yang sebenarnya. Ini jugalah yang sedang terjadi di negara ini. Lihatlah berita yang hanya mengutamakan unsur sensasionalitas dan kontroversi, tetapi tanpa solusi.<br /><br />Pada akhirnya, yang muncul hanya debat kusir. Yang menyedihkan, kalangan “terpelajar” pun melakukan debat kusir ini. Masih “wajar” jika yang berdebat itu memiliki kepentingan politis tertentu. Anehnya, bahkan yang “tidak berkepentingan”, pun ikut berdebat. Seakan ikut campur dalam perdebatan kusir, memiliki “kenikmatan” tersendiri. Ini tentu menjadi sasaran empuk bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengadu domba sesama anak bangsa. Karena sesungguhnya berdebat pun ada caranya, bertujuan untuk mencari solusi, bukan menimbulkan permasalahan baru. Berdebat jangan memakai standar ganda dan harus berorientasi pada solusi. Perdebatan jangan menjadi jebakan dalam “euforia” yang meninabobokan kita untuk berdebat berjam-jam sehingga melalaikan tanggung jawab pekerjaan. Lebih parah lagi jika perdebatan itu hanya terjadi dalam dunia maya, ditambah dengan identitas palsu pula, serta dilatarbelakangi mekanisme defensi untuk "melupakan" kegagalan dirinya di dunia nyata.<br /><br />Namun, perdebatan tentu masih “lebih baik” daripada berkelahi secara fisik seperti “bangsa barbar”. Bahkan, berdebat melalui tulisan seperti di kompasiana ini dapat menjadi awal pendidikan jurnalistik masyarakat.Terkadang, berdebat melalui tulisan membuat kita berpikir dulu sebelum menulis sehingga dapat menyaring unsur-unsur emosional yang terlewat batas. Yang penting harus diingat, bahwa berdebat pun dengan tujuan jelas, bukan karena terjebak dalam euforia belaka.<br /><br />Ada satu hal lagi yang paling diharapkan, yaitu agar perdebatan menjadi jembatan yang menghubungkan era “barbar” dengan era “berkarya”. Ya! Itulah yang menjadi tujuan kita di kutub yang lain, yaitu berkarya nyata. Bukan berkelahi, bukan berdebat tanpa solusi, tetapi berkarya nyata untuk bangsa tanpa banyak bicara.<br /><br />Lihatlah negara lain yang lebih banyak berkarya, bahkan sebisa mungkin menutup rapat mulut mereka supaya kekuatannya tidak diketahui bangsa lain. Untuk masalah ini, kembali lagi bangsa kita sering terjebak dalam euforia berpolitik dan berbicara tentang hal-hal besar sebagai solusi untuk berkarya bagi bangsa. Kita berencana untuk melakukan hal-hal besar, padahal masalah sederhana saja belum dapat kita selesaikan.<br /><br />Lantas bagaimana menjadi pekerja-pekerja nyata bagi bangsa? Lakukan segala sesuatu dengan berdikari di atas kaki sendiri. Minimal, lakukan pekerjaan kita masing-masing dengan profesional, dengan sedapat mungkin berwiraswasta. Ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan keluarga kita karena profesionalitas tentu akan meningkatkan produktivitas. Akhirnya, kumpulan dari keluarga sejahtera, akan membentuk negara yang sejahtera pula. Jangan sampai ikut dalam “dunia persilatan kenegaraan” ketika keluarga sendiri belum sejahtera, dan kita belum bekerja profesional dalam keseharian.<br /><br />Tidak usah berpikir untuk menjadi “tokoh besar”, yang jika tidak hati-hati malah menjerumuskan kita kepada ketamakan. Pun jika “tega” membebani negara sebagai pekerja dalam birokrasi negara, lakukan itu dengan niat mengabdi. Jika ingin mencari keuntungan materi, silakan berwiraswasta daripada melanggar tujuan mulia seorang abdi negara. Karena dalam berwiraswasta, tidak akan ada yang menyalahkan jika berorientasi profit, asalkan dijalankan tanpa melanggar hukum tentunya.<br /><br />Jika ingin bekerja sosial, lakukanlah sendiri tanpa banyak protes dan saling menyalahkan. Begitu banyak orang-orang di sekitar kita yang sukses dalam berwiraswasta, memiliki keluarga yang bahagia, serta dapat bekerja sosial di atas kaki sendiri, tanpa banyak protes. Apalagi yang diharapkan dalam hidup, selain hal-hal tersebut? Biarlah pemerintahan berjalan tenang dengan dukungan doa dan usaha dari segenap rakyat. Jika memiliki aspirasi, sertakan juga solusi dan sampaikan dengan bijak.<br /><br />Kita tentu ingat dengan dua peribahasa dari bangsa kita sendiri: “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” dan “Air Beriak Tanda Tak Dalam”. Janganlah kiranya kita termakan oleh kedua peribahasa ini, yang notabene berasal dari kekayaan sastra bangsa kita sendiri.<br /><br />Akhir kata, selamat Idul Fitri bagi sahabat yang merayakannya, mohon maaf lahir dan batin. Selamat liburan juga untuk semua. Semoga Indonesia semakin jaya. Amin.Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-75295446553192083982010-08-06T05:28:00.001-07:002010-08-08T23:49:47.816-07:00New Age Movement (NAM), Dalang Konflik Antarumat BeragamaApa Anda selama ini muak dengan pemuka agama, bahkan terhadap agama Anda sendiri? Tak bisa disangkal bahwa beberapa oknum penganut agama membuat kita kecewa dengan iman kepercayaan kita sendiri. Namun, pernahkah kita sadar bahwa yang salah adalah beberapa oknum penganut agama, bukan agama secara keseluruhan ??? Jika Anda tidak menyadari ini, mungkin Anda akan memberontak terhadap iman kepercayaan Anda. Selanjutnya, mungkin Anda berpikir untuk menjadi ateis/agnostik secara terang-terangan atau terselubung. Ateisme yang terselubung? Ya, terselubung karena tidak enak dengan keluarga atau teman Anda yang masih taat pada agama sehingga Anda hanya beragama di KTP.<br /><br />Akan tetapi, tunggu dulu! Ada ateisme terselubung yang lebih canggih, yaitu jika Anda terjebak dengan pemikiran bahwa semua agama itu sama benarnya. Lho? Mengapa ini disebut ateis? Karena buat apa repot-repot menganut suatu agama jika tidak meyakini agama tersebut yang paling benar. Namun, orang-orang dalam golongan ini menolak disebut ateis padahal dalam hati nurani mereka, semua agama sama konyolnya karena hanya fantasi belaka. Anda bisa berdiskusi dengan mereka dan akan menemukan jawaban ini pada akhirnya, walau pada awalnya mereka seakan masih "menghargai" agama-agama yang ada. Mereka ini suka mengidentifikasi diri mereka sebagai penganut pluralisme. Padahal, yang namanya plural (keberagaman) adalah suatu fakta. Tanpa harus menjadi -isme, plural (keberagaman) tetaplah terjadi dalam dunia ini. Lantas buat apa dijadikan suatu paham ??? Padahal setiap -isme, mewakili kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu pula. Nah, jangan sampai Anda terjebak oleh kelompok dengan kepentingan tertentu ini. Bagaimana supaya Anda tidak terjebak? Ya dengan menyadari bahwa yang salah bukan agama Anda, tetapi oknum-oknum penganut agama.<br /><br />Lantas siapa kelompok yang punya kepentingan tertentu tersebut? Merekalah kelompok New Age Movement (Gerakan Zaman Baru). Gerakan ini muncul di California, Amerika pada tahun 1960-an. Karena berasal dari Amerika, maka disebut juga American Movement. Gerakan ini menjadi titik temu humanisme sekuler, ateisme, dan nihilistik yang melanda dunia Barat akibat kekecewaan terhadap gereja. Karena pesatnya kemajuan Amerika dalam teknologi, akhirnya gerakan ini menyebar ke seluruh dunia dengan sangat cepat. Ya, sama tatkala Anda kecewa dengan agama Anda, maka Anda juga mungkin akan mengalami hal ini. Jadi, di sisi lain agama konvensional juga harus introspeksi. Nah, kekosongan ini dijadikan kesempatan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik.<br /><br />Siapakah yang punya kepentingan politik tersebut? Mereka adalah sebagian orang Yahudi yang ateis. Lho bukankah Yahudi itu punya agama dan Tuhan? Ya, tapi dari dulu hingga sekarang, sebagian mereka sering memberontak terhadap Tuhannya padahal Tuhan memberi mereka IQ tinggi dan berkat-berkat lain sebagai bangsa terpilih. Memang tidak semua, tapi hanya sebagian. Akan tetapi, walau cuma sebagian, ternyata justru yang sebagian inilah yang memegang kendali Yahudi secara keseluruhan. Wah, ada yang bilang ini juga fitnah. Namun, tidak mungkin ini fitnah karena tertulis dalam kitab Taurat Yahudi sendiri. Tidak masuk akal jika Yahudi menulis aibnya sendiri di kitabnya sendiri, bukan? Mereka adalah bangsa terpilih karena memegang saham-saham terbesar di dunia, bahkan menjadi ras terbanyak yang mendapat hadiah Nobel ilmiah yang canggih.<br /><br />Mungkin ada lagi yang mengkritik, "Ah, jangan menuduh Yahudi terus, itu kan karena kerja keras mereka, bukan karena mereka bangsa terpilih."<br />Jawabannya," Untuk diketahui bahwa dari data statistik ternyata bangsa Jepang, Korea, dan Cina bahkan bekerja lebih keras dari Yahudi, tetapi tidak bisa menyamai Yahudi. Apalagi Yahudi itu bahkan lama tidak punya tanah air dan kalaupun sekarang memiliki negara yang disebut Israel, negaranya sangat kecil. Anehnya, walau negaranya kecil, Israel memiliki salah satu kekuatan militer terkuat di dunia."<br /><br />Mungkin kita juga tidak bisa serta-merta lebih suci dari Yahudi karena kita juga mungkin akan terjerumus jika diberi berkat sehebat itu. Namun, kita sedang berdiskusi masalah yang esensi, bukan hanya berdasarkan rasa simpati. Kembali lagi ke diskusi bahwa tujuan akhir dari gerakan ini adalah menyatukan dunia di bawah satu pemerintahan dan satu agama di bawah kekuasaan pihak-pihak yang telah disebutkan di atas. Luar biasanya, hal ini telah dinubuatkan dalam Taurat, Injil, dan Alquran. Bahwasanya agama baru ini akan menyatukan dunia pada akhir zaman di bawah satu pemerintahan dan satu agama universal. Memang tidak ada yang salah dengan penyatuan dunia, akan tetapi pemerintahan tersebut menunjuk satu pemimpin yang akan menguasai dunia. Awalnya pemerintahan ini berjalan baik dan damai. Akan tetapi, lama-lama ternyata ia ini menjadi serakah. Ya! Siapa yang tahan dengan godaan menjadi pemimpin seluruh dunia?. Akan tetapi, dalam ketiga kitab itu dinubuatkan juga bahwa pada akhirnya Isa Almasih yang akan mengalahkannya dan menghakimi dunia.<br /><br />Gejala-gejala penyatuan dunia tersebut sudah mulai terlihat, antara lain:<br />- Munculnya Gerakan New Age (Gerakan Zaman Baru)<br />- Munculnya penyatuan mata uang, diawali oleh mata uang euro dan sekarang Asia Tenggara juga sudah mulai mengajukan wacana penyatuan mata uang<br />- Kemajuan teknologi yang menyatukan dunia (dinubuatkan dalam kitab Wahyu bahwa nanti Sang Pemimpin Dunia akan bisa mendeteksi setiap orang di manapun kita berada dan memaksa kita menyembahnya sebagai Tuhan)<br />- dll.<br /><br />Sekarang kembali lagi ke New Age Movement, apa saja ciri-cirinya?<br />NAM tidak melembaga, tidak memiliki Kitab Suci / pengakuan percaya yang baku sehingga menyulitkan identifikasi secara gamblang. Namun, ciri-ciri NAM secara umum:<br />1. Berpedoman pada astrologi, yakni zaman Aquarius yang merupakan salah satu nama bintang dalam zodiak. NAM yakin bahwa Golden Age-zaman emas akan segera datang. Zaman itu dicirikan dengan dinamis, kreatif, ceria dan penuh karunia (Humanisme).<br />2. Berkeyakinan bahwa yang berperan dalam hidup manusia bukanlah suatu Allah, tetapi energi ilahi yang hadir di dalam segala sesuatu (Humanisme).<br />3. Berkeyakinan masyarakat bentrok melawan penguasa, imam, guru dan ilah tetapi hasilnya harmoni sebab setiap orang akan mencapai tataran spiritual yang sama. Hal semacam ini tercermin melalui metode Yoga atau tantra (Okultisme).<br />4. Berkaitan dengan keluarga, NAM meyakini hubungan suami isteri dibebaskan dari hawa nafsu semata-mata dan akan dilestarikan dengan cinta kasih (Humanisme).<br />5. Mengusung isu demokrasi, liberalisme, persamaan HAM, emansipasi wanita, pluralisme, pengobatan alternatif, pseudosains (terutama menyangkut teori2 evolusi, fisika kuantum dan ilmu kedokteran syaraf yang mendukung paham mereka tentang kekuatan pikiran yang menyatukan semesta. Padahal mereka sendiri percaya dengan mistik tapi seakan lebih ilmiah daripada penganut agama)<br />6. Monisme, keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi (penjabaran) dari sumber tunggal devine energy. Pada tingkat tertentu dapat digabungkan menjadi kesatuan dari semuanya.<br />7. Pantheisme, yakni gagasan God is all and all is god, Allah adalah segala sesuatu dan segala sesuatu adalah allah. God within ourself–Allah dalam diri kita.<br />8. Reinkarnasi, keyakinan bahwa jiwa manusia kembali pada eksistensi jasmaniah berulangkali, hingga mencapai keadaaan terbaik dan tertinggi dari Great Oneness—keesaan agung alam semesta<br />9. Pencerahan, kepercayaan bahwa kita memiliki pengetahuan rahasia yang terkandung di alam bawah sadar kita. Sebagaimana disebutkan oleh Carl Jung, bawah sadar kolektif umat manusia memungkinkannya dapat memanipulasi energi dan zat [roh] dengan pikirannya, dan melaluinya dapat memperoleh kekayaan dan kesehatan. Untuk melakukan ini, mereka melakukan meditasi (meditasi versi mereka sendiri dengan iringan musik khas new age yang berirama tenang)<br />10. Spiritisme, keyakinan bahwa ada roh-roh yang dapat dihubungi oleh orang-orang mati sehingga dapat memberi wawasan kepada seseorang mengenai etika dan makna kehidupan di bumi.<br />12. Sinkretisme, mencampuradukkan ajaran agama. Seakan mereka mengambil ajaran Buddha dan Hindu padahal juga mengambil ajaran Islam dan Kristen, serta agama-agama lain.<br /><br />Tokoh-tokoh New Age Movement yang sangat dominan antara lain:<br />1. Judith Skutch.<br />Dia menulis "A Course in Miracles" pada tahun 1975, berprofesi sebagai pengacara New Age Movement di New York City.<br />2. David Spangler.<br />Dia mengusulkan reorganisasi dalam dunia politik dan bisnis berdasarkan prinsip-prinsip ketat NAM. Sehubungan dengan organisasi, dia berpendapat bahwa dalam segala aktivitasnya, NAM harus ditata ulang.<br />3. Marilyn Ferguson.<br />Menulis "The Aquarian Conspiracy" pada tahun 1980. Marilyn juga dikenal sebagai editor beberapa majalah New Age Movement.<br />4. Shirley Maclaine.<br />Adalah bintang film dan TV Hollywood. Ia menggambarkan perjalanan spiritualnya dengan sangat menarik sehingga di filmkan pada tahun 1985 dengan judul Dancing in the Light, setelah sebelumnya film perdananya diluncurkan tahun 1983. Karena itu waspadalah terhadap film-film Hollywood, terutama yang beraliran science-fiction.<br />5. Ram Daas.<br />Keturunan Yahudi yang terlahir dengan nama Richard Albert. Dalam perjalanannya, sang tokoh pernah belajar ke India dan kembali dengan nama baru Ram Daas. Ia mengklaim dirinya sebagai guru New Age Movement.<br /><br />Lantas apa bahaya dari gerakan ini? Gerakan ini berbahaya bagi internal maupun eksternal umat beragama. Secara internal, mereka menyusup ke tiap agama untuk merusak akidah agama tersebut dan menghasut internal umat untuk ribut di kalangan sendiri. Misalkan saja mereka menyusup ke masjid, mereka akan mulai mengajak umat lain tidak sholat, tidak berpuasa, tetapi malah meditasi. Anehnya, mereka mengaku mengadopsi meditasi Buddha dan Hindu padahal ternyata berbeda. Inilah sinkretisme yang mereka lakukan. Mereka juga mengklaim sebagai gerakan liberal dalam Islam. Jika menyusup ke gereja, mereka juga mulai memberikan ide bahwa injil itu palsu, tidak usah ke gereja, tetapi malah meditasi. Aneh sekali pelarangan datang ke tempat ibadah tersebut karena mereka sendiri punya tempat pertemuan. Ya! Itulah mereka, suka memakai standar ganda. Bahkan di satu sisi, mereka melarang tiap agama mengklaim kebenaran agama masing-masing, tetapi mereka sendiri "memaksa" orang lain menerima ide mereka. Bagaimana jika menyusup ke Buddha? Kita tentu masih ingat peristiwa Buddha Bar. Ya! Itu juga hasil dari kelakuan mereka. Cari saja di toko-toko CD musik dan dapatkan album Karunesh (musisi New Age) yang berjudul Buddha Bar! Ternyata merekalah yang mengusung istilah Buddha Bar. Mengapa mereka melakukannya? Karena mereka menyusup di tiap agama sebagai versi liberal dari agama tersebut! Ini tentu akan menimbulkan konflik internal agama tersebut karena ada umat yang mengikuti mereka, ada juga yang menolak mereka.<br /><br />Apa pula bahaya gerakan ini secara eksternal umat? Kita misalkan saja konflik antara umat Islam dan Kristen karena kedua agama ini lebih sering bentrok dan menjadi korban penghasutan dari New Age Movement. NAM menyusup ke dalam umat Kristen dan menjadikan Kristen kental dengan liberalisme, padahal Yesus Kristus yang menjadi panutan umat Kristen, tidak seliberal itu. Ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan umat muslim karena Islam juga tidak mengajar liberalisme. Jelas ini akan menimbulkan konflik antarumat kedua agama tersebut. Biasanya sarjana-sarjana yang mendapat beasiswa ke Amerika, rentan diajari paham New Age selama kuliah di Negeri Paman Sam dan balik ke negara asalnya dengan membawa paham tersebut. Dan seperti masalah Buddha Bar, bisa jadi umat Buddha mengira umat Islam dan Kristen yang melakukannya, padahal kalangan New Age yang telah menyusup ke dalam umat Buddha sendiri. Umat Hindu juga terkena getahnya karena para penganut New Age ini seakan paling dominan memakai ajaran-ajaran Hindu, padahal ajaran agama lain juga diadopsi oleh mereka. Ini tentu dapat menimbulkan kesalahpahaman umat lain terhadap umat Hindu.<br /><br />Apakah ini berpengaruh pada persatuan bangsa? Jelas iya! Dan mereka juga sudah ada di Indonesia. Justru mereka memperkeruh perpecahan yang terjadi di saat mereka sendiri seakan mengusung isu perdamaian. Mereka juga mengusung isu nasionalisme, padahal NKRI terbentuk di saat tabligh akbar Bung Tomo menggema di Kota Surabaya, juga di saat Wolter Monginsidi berjuang sampai akhir berdasarkan injil yang selalu jadi pedomannya. Perjuangan juga terjadi di saat Ngurah Rai berjuang di Bali dengan semangat kehinduannya. Jadi omong kosong nasionalisme yang diusung kalangan New Age karena gerakan New Age dengan isu pluralismenya justru baru muncul di tahun 1960-an dan merebak di tahun 1980-an. Itu jauh sesudah Indonesia merdeka. Lantas sekarang mereka dengan hebatnya seakan lebih nasionalis daripada umat beragama yang masih memegang teguh akidah agamanya masing-masing.<br /><br />Bagaimana sikap pemuka-pemuka agama? MUI jelas mengharamkan pluralisme. Pdt. Steven Indra Lumintang menerbitkan buku yang menganggap pluralisme sebagai racun halus bagi nadi kekristenan. Bahkan, Paus Yohanes Paulus II dan Romo Frans Magnis Suseno yang sering dianggap pendukung pluralisme malah juga ikut menentang. Paulus Yohanes Paulus II mengeluarkan "Dominus Jesus" dan menurut Romo Frans Magnis merupakan tindakan yang tepat. Media Hindu juga pernah menerbitkan artikel berjudul "Semua Agama Tidak Sama". Dan terakhir dalam wawancara oleh Desi Anwar, ternyata Dalai Lama (pemimpin Buddha Tibet) juga tidak menganggap semua agama sama.<br /><br />Jelas bahwa New Age Movement sangat berbahaya bagi kehidupan umat beragama karena mereka berekspansi dalam menyebarkan konflik internal maupun eksternal umat beragama untuk mewujudkan kepentingan politik. Sesungguhnya suatu gerakan tidak bermasalah jika tidak mengganggu pihak lain, tetapi tidak demikian dengan New Age Movement yang jelas telah "mengganggu". Di sisi lain, umat beragama juga harus introspeksi diri, terutama para pemuka agama yang telah membuat umat menjadi kecewa sehingga mudah terjebak dalam gerakan New Age ini.Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-26336017097814528502010-07-13T23:40:00.001-07:002010-07-13T23:40:58.718-07:00IQ test ????<a href="http://www.free-iqtest.net" title="IQ Test"><img src="http://www.free-iqtest.net/images/badges2/l141.gif" width="200" height="100" alt="IQ Test" border="0"></a><br>Free-IQTest.net - <a title="IQ Test" href="http://www.free-iqtest.net">IQ Test</a>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-77482553544152132312010-07-13T23:02:00.001-07:002010-07-13T23:02:44.413-07:00NGEMENG-NGEMENGA: "Koq udah jarang debat Alkitab?"<br /><br />B: "Kurang berguna karena orang didebat malah akan tambah menentang. Kalau berniat baik memperkenalkan injil lebih baik melalui tindakan nyata saja."<br /><br />A: "Kan perlu ada yang menyampaikan?"<br /><br />B: "Iya, tapi percuma juga koar-koar biar bener sekalipun. Karena jika memang Tuhan mengizinkan, ada yang malah datang ke gereja dengan motivasi sendiri, atau bertanya tentang injil secara sukarela. Nah, yang bertanya inipun ada yang beneran pengen nanya, ada juga yang pengen ngetes. Kalo yang cuma pengen ngetes mah percuma juga didebat karena tujuannya memang ingin menjatuhkan. Toh kalo ternyata akhirnya dia yang kalah juga biasanya tetap keras hati. Sekarang juga sudah kemajuan teknologi, terbuka kesempatan untuk bisa cari informasi sendiri.<br /><br />A: "Gimana kalo seimbang antara tindakan dan penginjilan?"<br /><br />B: "Itu lebih bagus, tapi kalo tindakan belum bener gak usah sok menginjili kan? Iman tanpa perbuatan adalah mati."<br /><br />A: "Tapi kan orang dibenarkan hanya karena iman?"<br /><br />B: "Betul, tapi logikanya orang beriman pasti berbuat baik juga, walau belum tentu sebaliknya. Kecuali kalau orang tersebut sudah dekat ajal dan belum sempat berbuat baik, nah itu bisa dimengerti. Tapi kalau masih diberi umur dan kesehatan dan gak berbuat apa-apa, imannya diberi tanda tanya besar. Ini sudah dicontohkan Yesus sendiri dengan berbuat banyak juga."<br /><br />A: "Kalo orang yang alirannya sesat, juga gak perlu didebat?"<br /><br />B: "Boro-boro mendebat saudara seiman sendiri, kita tuh sebagai minoritas di negara ini sedang ditekan pihak lain. Harusnya nyadar, ini malah sibuk berantem di kalangan sendiri. Kalau mau menegur ya dengan kasih, kalau sudah berdebat dengan kasar, namanya bukan menegur tapi menjatuhkan. Malu dengan institusi seperti Buddha Tzu Chi yang sekarang malah terlihat lebih menonjol kegiatan kemanusiaannya dibandingkan institusi Kristen."<br /><br />A: "Wah, jangan salah. Kita juga sudah banyak berbuat."<br /><br />B: "Iya, tapi ada yang dengan embel-embel penginjilan sehingga membantunya terkesan tidak tulus dan malah dicurigai. Padahal Yesus membantu orang ya membantu saja, perihal menginjili ya jika orang-orang tersebut sudah tertarik mengikuti-Nya. Udah ya, kapan-kapan ngemeng-ngemeng lagi hehehehe."<br /><br />A: "Cepet bener. Emang mau ke mana?"<br /><br />B: "Ikut baksos."<br /><br />A: "Baksos gereja mana?"<br /><br />B: "Rumah Sakit Tzu Chi !"<br /><br />A: !@$%^&*Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-65169752649206514842010-07-10T00:00:00.000-07:002010-07-10T00:03:04.872-07:00Dilema Seorang HomoseksBerikut adalah potongan dialog dari suatu peristiwa nyata yang mungkin tidak persis sama dengan aslinya, tetapi setidaknya inti dialognya adalah sama.<br /><br />A: "Selamat siang , Dok. Bisa diganggu sebentar?"<br /><br />B: "Oh, Mas! Apa kabar? Lama nggak kontak nih hehehehe. Tidak mengganggulah. Ayo ngobrol-ngobrol sini. Wah, tambah gagah saja hehehehe.<br /><br />A: "Kabar baik. Iya, saya memang lagi sibuk dengan kerjaan."<br /><br />B: "Wah, makin diberkati ya? hehehehehe. Tapi sepertinya Anda agak kuatir. Ada yang bisa saya bantu?"<br /><br />Beberapa saat setelah berdiskusi berbagai hal:<br /><br />A: "Begini, sebenarnya saya nggak enak menceritakan hal ini. Tapi saya sudah percaya dengan Anda. Ada hal yang sangat pribadi yang ingin saya tanyakan dari dulu tapi nggak berani-berani."<br /><br />B: "Tanya aja, Mas. Koq kayaknya masih menganggap saya orang lain saja hehehehe. Tanya saja, saya akan berusaha sebisanya."<br /><br />A: "Tapi tolong jangan kasih tau siapa-siapa ya."<br /><br />B: "Tentu saja, Mas. Saya terikat dengan sumpah profesi untuk menjaga kerahasiaan pasien. Namun, jika belum percaya sama saya juga jangan dipaksakan."<br /><br />A: "Saya ini seorang homoseksual."<br /><br />B: "Iya, lalu?"<br /><br />A: "Anda tidak terkejut?"<br /><br />B: "Tidak, memangnya kenapa Mas?"<br /><br />A: "Biasa orang pasti kaget dan menjauh setelah saya beritahu."<br /><br />B: "Hahahahaha, homoseks juga manusia toh Mas? Nggak ada yang perlu diherankan. Orang yang lebih jahat dari seorang homoseks malah lebih banyak. Lanjutkan, Mas."<br /><br />A: "Syukurlah. Saya hanya bingung apakah diri saya ini normal atau tidak. Namun, dari penelitian terbaru katanya hewan juga ada yang homoseks sehingga ada yang mengganggap homoseks itu normal."<br /><br />B: "Ehmmm, gini Mas. Terimalah diri Anda sebagai manusia yang homoseks, jangan dibandingkan dengan hewan homoseks. Kadang peneliti juga ada yang nyeleneh, apalagi jika dirinya berkepentingan dengan hasil penelitian tersebut. Atau bisa jadi dia peneliti netral, tapi hasil penelitiannya disalahtafsirkan pihak-pihak tertentu. Karena jika ingin meniru hewan seutuhnya, maka kita juga harus meniru hewan seutuhnya antara lain nggak pakai baju, saling membunuh, dll. Jadi jangan hanya homoseksnya aja yang diambil contoh. Logis nggak perkataan saya ini?<br /><br />A: "Logis sih. Lalu apa yang harus saya lakukan? Dari gereja juga mengganggap saya ini pendosa. Padahal Tuhan itu Mahapengampun?"<br /><br />B: "Benar kata Anda itu. Tanyakan saja kepada pendeta Anda apakah ada ayat yang menghakimi homoseks. Jangankan homoseks, penjahat kelas kakap saja diampuni di Alkitab. Yang ada hanyalah hukuman terhadap homoseks yang mengumbar hawa nafsu seperti di Sodom dan Gomora."<br /><br />A: "Nah, tentang itu juga diutarakan teman-teman yang lain. Jadi homoseks itu tidak masalah kan?"<br /><br />B: " Tergantung, Mas. Jika dari segi agama dan moral masyarakat tentu tidak benar jika Anda mengumbar hawa nafsu. Jika dari segi medis juga sama, karena jika Anda berhubungan bebas tentu akan menyebarkan penyakit seperti HIV. Masalah ini tentu juga berlaku untuk heteroseks, yaitu jangan mengumbar hawa nafsu. Dari segi medis mungkin ada tambahan lain, yaitu harus disingkirkan dulu faktor-faktor trauma psikis dan yang lainnya. Karena bisa jadi Anda itu heteroseks tapi karena ada trauma sehingga menjadi homoseks. Kalau sudah berusaha tapi hasilnya tetap sama ya apa boleh buat, terimalah diri Anda. Tentu dengan syarat tidak mengumbar hawa nafsu tadi, karena akan merugikan Anda dan orang lain. Anda juga harus ingat bahwa masih banyak orang lain yang mengalami cobaan yang lebih berat. Jadi kuatkanlah diri Anda dan lakukan hal yang positif. Pendeta dan dokter juga ada yang homoseks tapi mereka bisa tetap bersikap positif. Memang institusi agama dan masyarakat juga harus berubah. Karena yang paling disayangkan adalah jika ditolak mentah-mentah, orang-orang homoseks akan depresi dan akhirnya terjerumus juga.<br /><br />A: "Gitu ya, lalu bagaimana dengan perkawinan sesama jenis? Mengadopsi anak?"<br /><br />B: "Wah, saya masih tidak setuju Mas. Orang normal saja ada yang tidak menikah untuk kepentingan mulia, jadi seorang homoseks juga harus bisa. Lagipula kasihan dengan anak yang diadopsi yang mungkin akan kurang baik perkembangan jiwanya. Karena seorang anak hendaknya diasuh orang tua heteroseks yang baik. Saya katakan yang baik karena banyak juga orang tua heteroseks yang tidak baik. Anak-anak suka meniru, jadi besar kemungkinan mereka juga akan meniru orang tuanya yang homoseksual. Anda juga tidak ingin mereka menjadi homoseks bukan? Dari segi anatomis medis juga memang abnormal jika melakukan hubungan sesama kelamin.<br /><br />A: "Baiklah, terima kasih atas pendapatnya. Saya hanya ingin menanyakan hal itu saja. Saya merasa sudah ada jalan tengahnya sekarang."<br /><br />B: "Saya yakin Anda akan melakukan yang terbaik."<br /><br />A: "Tentu, saya akan berusaha. Terima kasih atas pendapat berharganya."<br /><br />B: "Ya, jika sudah dianggap cukup membahas hal ini, kita lanjut ngobrol tentang hal lain hehehehehe."<br /><br />A: "Iya, tentu saja hahahahahaha."<br /><br />Perbincangan pun beralih ke topik yang lain :)Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-66887007207705177562010-07-07T03:16:00.001-07:002010-07-07T03:16:50.895-07:00Awas Alergi Obat Akibat Stevens Johnson! Atasi dengan IGIVPendahuluan<br />Sindroma Stevens Johnson (SSJ) adalah penyakit kulit yang berpotensi menyebabkan kematian dan sebagian besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Sindroma Stevens Johnson juga bisa disebabkan infeksi (biasanya infeksi virus), penyakit keganasan, radiasi, dan idiopatik.1 Penyakit ini menimbulkan tanda dan gejala yang mirip dengan penyakit eritema multiforme yang berat. 2,3 Sindroma Stevens Johnson terjadi 1 sampai 7 kasus per 1 juta penduduk dunia setiap tahunnya. Sindrom ini dapat terjadi pada setiap ras, bahkan juga dapat terjadi pada anjing, kucing, dan kera. Banyak studi epidemiologi numerik menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami Sindroma Stevens Johnson dibandingkan pria (perbandingan 0.5-0.7). Namun, perbandingan kedua jenis kelamin pada penderita HIV adalah sama. Sedangkan perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah sama.4,5 Sindroma Stevens Johnson dapat terjadi pada semua kelompok umur, termasuk neonatus. Oleh karena paparan obat lebih banyak terjadi seiring pertambahan usia seseorang, maka Sindroma Stevens Johnson dan NET lebih sering terjadi pada orang dewasa, apalagi orang dewasa juga lebih reaktif terhadap obat daripada anak-anak. Akhir-akhir ini, infeksi HIV berkaitan dengan Sindroma Stevens Johnson dan NET. Suatu studi menyatakan bahwa Sindroma Stevens Johnson dan NET cenderung timbul pada usia yang lebih muda pada pasien yang juga menderita HIV, yaitu pada usia 35.4 tahun.4,5 Sindroma Stevens Johnson dapat berlanjut menjadi NET.2,3<br />Prinsip umum tatalaksana Sindroma Stevens Johnson adalah penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Penelitian telah menunjukkan bahwa rujukan yang cepat ke Unit Perawatan Luka Bakar akan menurunkan angka kematian.15 Rawat inap harus dipertimbangkan untuk pasien dengan penampakan gejala awal yang ringan karena tidak mungkin memprediksi pasien Sindroma Stevens Johnson yang akan berkembang mengalami Nekrolisis Epidermal Toksik. 15 Jika obat penyebabnya dapat diidentifikasi, konsumsi obat tersebut harus segera distop. Penghentian segera konsumsi obat penyebabnya (terutama obat yang bekerja dalam jangka pendek), dapat meningkatkan angka harapan hidup. Pasien yang gejalanya disebabkan oleh obat yang bekerja dalam jangka waktu panjang akan lebih berisiko untuk mengalami kematian. 14<br />Obat-obatan juga digunakan, seperti cyclophosphamide dan cyclosporine.7 Akan tetapi, tidak ada obat yang berhasil mengobati Sindroma Stevens Johnson. Padahal angka kematian akibat NET kira-kira 40 %, sedangkan angka kematian akibat Sindroma Stevens Johnson, yaitu sekitar 15 %.2,3,13<br />Akhir-akhir ini, terapi dengan immunoglobulin intravena (IGIV) telah terbukti menngurangi gejala Sindroma Stevens Johnson. 8,9,10,11 Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk membahas penggunaan immunoglobulin intravena untuk mengurangi gejala dan angka mortalitas pasien Sindroma Stevens Johnson.<br /><br />Diskusi<br />Golongan obat yang dapat menimbulkan Sindroma Stevens Johnson12:<br />1. Golongan antiinflamasi nonsteroid (AINS): leflunomide, valdecoxib, celecoxib, sulindac, oxaprozin, etanercept, piroxicam, ibuprofen, naprosyn, naproxen infliximab, oxicam, rofecoxib.<br />2. Golongan antibiotik: amoxicillin, ampicillin, sefalosporin, sephaloxin, ciprofloxacin, doxiciclin, erythromycin, minacycline, peperacillin, penisilin, tetrasiklin, vancomycin, zithromax<br />3. Golongan sulfa: co-trimoxazole, sulfamethoxazole, sulfacoxine, sulfasalazin, pyrimethamine<br />4. Golongan barbiturates antikonvulsan, karbamazepine, dilantin, phenytoin<br />5. Golongan phenobarbital: valporate<br />6. Obat antituberkulosis: ethambutol, rifampisin, streptomycin<br />7. Allopurinol<br /><br />Perjalanan penyakit Sindroma Stevens Johnson 6<br />1. Gejala konstitusi, seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, dapat muncul 3 hari sebelum timbulnya lesi kulit.<br />2. Sensasi terbakar pada mata, fotopobia, dan ruam yang mulai timbul simetris pada wajah dan bagian atas torso.<br />3. Waktu paparan terhadap obat sangatlah penting diketahui, terutama terjadi 1-3 minggu sebelum erupsi pada kulit.<br /><br />Pemeriksaan Fisik pada Pasien dengan Sindroma Stevens Johnson 6<br />a. Lesi Primer<br />Lesi awal Sindroma Stevens Johnson berupa makula kemerahan dengan purpura yang lebih gelap di tengahnya. Lesi-lesi itu berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme karena hanya punya dua zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan makula kemerahan di sekitarnya. Sedangkan lesi target klasik memiliki 3 zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan zona pucat yang mengalami edema di sekitarnya, beserta makula kemerahan di sekitarnya. Lesi-lesi (kecuali bullae di tengahnya) punya ciri khas datar. Sedangkan lesi-lesi eritema multiforme lebih teraba karena tidak datar seperti lesi pada Sindroma Stevens Johnson. Lesi awal pada Sindroma Stevens Johnson juga kadang berupa lesi skarlatiniformis. Lepuhan kendur yang khas muncul dengan nekrosis menyeluruh dari semua lapisan epidermis. Area yang terkelupas memiliki penampakan seperti kertas yang diremas. Juga terdapat Tanda Nikolsky positif yang dengan mudah diperlihatkan dengan menekan bagian lateral dari bula. Makula-makula yang terisolir satu sama lain ditemukan di sekitar area besar dari konfluensi.<br />Lesi-lesi awalnya timbul simetris pada wajah dan bagian atas dari tubuh dan meluas dengan cepat, maksimal dalam 2-3 hari. Pada beberapa kasus, perluasan maksimal dapat terjadi cepat dalam waktu beberapa jam. Lesi lebih banyak pada area kulit yang terkena sinar matahari. Lesi yang mengelupas lebih banyak terjadi pada daerah yang banyak mendapat tekanan, seperti bahu, sakrum, dan pantat. Lesi kemerahan yang mengalami edema dan nyeri dapat muncul pada telapak tangan dan telapak kaki. Kulit kepala yang berambut tetap normal, tapi daerah epidermis yang lain termasuk lapisan kuku dapat terkena.<br />Klasifikasi baru mengemukakan bahwa pengelupasan epidermis pada Sindrom Stevens Johnson terbatas hanya kurang dari 10% luas permukaan tubuh. Sindroma Stevens Johnson dapat muncul bersamaan dengan Nekrolisis Epidermal Toksik sehingga menimbulkan konfluensi makula yang kemerahan dan purpurik. Hal ini menyebabkan pengelupasan epidermis pada 10-30% luas permukaan tubuh. Nekrolisis Epidermal Toksik dapat menyebabkan pengelupasan epidermis lebih dari 30%. Suatu bentuk jarang dari Nekrolisis Epidermal Toksik memiliki lesi yang lebih sedikit dan menyerupai lesi target, serta lepuhan yang berada di atas lesi kemerahan yang berkofluensi. Pengelupasan epidermis lebih dari 10% diperlukan untuk mendiagnosis penyakit ini. Sebaliknya, eritema multiforme yang memiliki lesi bulosa (yang dulu dianggap sejenis dengan Sindroma Stevens Johnson), hanya mengalami pengelupasan kulit kurang dari 10% luas permukaan tubuh, tetapi lesi target yang khas atau yang tidak khas terletak paling banyak di area akral.<br />b. Lesi sekunder<br />Area tubuh yang epidermisnya terkelupas berwarna hitam dengan permukaan yang mengeluarkan pus. Lesi kulit dapat sembuh diikuti hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Jari tangan dan kaki dapat tumbuh abnormal.<br />c. Membran mukosa dapat terkena pada semua pasien dan dapat mendahului lesi kulit, muncul selama masa prodromal.<br />Erosi mulut yang nyeri menimbulkan krusta yang parah pada bibir, meningkatkan pengeluaran air liur dan sukar mengunyah makanan. Sedimen silindris intak yang ada dalam dahak pada epitel bronkus juga bisa ditemukan. Jika area genitalia yang terkena, akan menyebabkan nyeri saat berkemih. Selain itu, lesi juga dapat terjadi pada orofaring, trakea, bronkus, esofagus, saluran cerna, dan anus. Diare profus yang kaya protein juga dapat terjadi. Lesi pada membran mukosa yang ada di dalam tubuh tidak hanya terjadi pada pasien yang mengalami lesi kulit yang luas. Lesi di sistem genitourinaria dapat menyebabkan phimosis dan sinekia vagina.13<br />d. Lesi mata khususnya problematik karena berisiko tinggi menimbulkan gejala sisa.<br />Awalnya, konjungtiva berwarna merah dan nyeri. Kelopak mata sering menyatu satu sama lain, di mana usaha untuk memisahkan keduanya akan menyebabkan pengelupasan epidermis. Erosi konjungtiva pseudomembran dapat membentuk sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva. Erosi konjungtiva juga dapat menyebabkan sikatrik yang menyebabkan bulu mata mengalami inversi, fotopobia, sensasi terbakar pada mata, hiperlakrimasi, sindroma yang menyerupai penyakit sika, serta neovaskularisasi kornea dan konjungtiva. Empatpuluh persen dari pasien yang bertahan hidup dapat mengalami kebutaan. 13<br /><br />Prognosis Sindroma Stevens Johnson<br />Tes SCORTEN adalah tes untuk menskoring derajat keparahan Sindroma Stevens Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Penghitungan dilakukan dalam 24 jam untuk memprediksi kematian. Adanya penampakan dari tiap hal di bawah ini mendapat skor 1, dan jumlah dari poin-poin inilah yang dinamakan angka SCORTEN dengan skor maksimum 7.13 Penampakan yang diukur: umur lebih dari 40 tahun, adanya keganasan, nadi lebih dari 120 kali per menit, kadar glukosa lebih dari 252 mEq/L5, kadar BUN lebih dari 27 mg/dl, kadar bikarbonat kurang dari 20 mEq/L, luas permukaan tubuh yang terkena lebih dari 10%. Angka kematian SCORTEN: skor 0-1 - 3.2%, skor 2 - 12.1% , skor 3 - 35.3%, skor 4 - 58.3%, skor of 5 atau lebih - 90%<br /><br />Penggunaan immunoglobulin intravena (IGIV) dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson dan Nekrosis Epidermal Toksik<br />Prinsip umum tatalaksana Sindroma Stevens Johnson adalah penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Namun, akhir-akhir ini juga digunakan obat-obatan dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson. Sindroma Stevens Johnson dan NET sering diinduksi oleh obat, tetapi mekanisme patofisiologinya belum diketahui.<br />Salah satu teori menyatakan bahwa apoptosis melibatkan interaksi antara reseptor permukaan sel (seperti Fas) dengan ligand untuk membentuk Fas ligand( FasL). Pada tahun 1998, Viard et al mendemonstrasikan adanya konsentrasi tinggi dari Fas ligand yang larut pada serum penderita NET. Secara in vitro, kematian dari sel target dihalangi oleh antibodi yang memblok FasL dan juga dihalangi oleh antibodi yang ada pada immunoglobulin intravena manusia. Intinya, obat-obat tertentu dapat mengaktivasi produksi ligand apoptotik yang berasal dari keratinosit, dikenal sebagai CD95 (fas) ligand. Ligand ini dapat berikatan dengan reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di permukaan keratinosit. Hal ini dapat menyebabkan kematian sel yang terprogram. IGIV dibuktikan memiliki kemampuan memblok ligand apoptotik dari berikatan dengan reseptor ini. Hal ini mencegah apoptosis dari keratinosit dan pengelupasan epidermis. Suatu percobaan menunjukkan adanya perbaikan dalam 24-48 jam pada 10 penderita NET setelah diberikan immunoglobulin intravena sehingga tidak terjadi kematian pada kesepuluh pasien ini.<br /><br />Farmakokinetik dan farmakodinamik dari IGIV<br />Imunoglobulin intravena digunakan untuk memperbaiki gejala klinis dan daya tahan tubuh pasien terhadap penyakit. Obat ini dapat mengurangi autoantibodi dan melarutkan sehingga menghilangkan kompleks imun. Contoh merk IGIV yang beredar di pasaran adalah Gamimune, Gammar-P, Sandoglobulin, Gammagard S/D. Dosisnya 1g/kg BB/ hari selama 3 hari. Sedangkan dosis untuk anak-anak belum diketahui. Kontraindikasi pada hipersensitivitas dan defisiensi IgA. Pemakaian globulin dapat terganggu dan berkurang efektivitasnya oleh respon imun yang disebabkan oleh vaksin (mis: vaksin MMR) sehingga IGIV jangan diberikan dalam kurun waktu 3 bulan setelah pasien divaksinasi. Keamanan penggunaan IGIV untuk ibu hamil belum diketahui.17,18,19,20,21 IGIV didapatkan dari plasma darah dari ratusan pendonor yang sehat sehingga mengandung berbagai antibodi yang bersifat protektif melawan penyakit manusia dan antigen dari luar. Waktu paruh rata-rata dari IGIV dalam tubuh manusia yang imunitasnya baik adalah 3 minggu. Efek imunomodulasi dari IGIV bersifat kompleks, yaitu modulasi ekspresi dan fungsi reseptor-reseptor Fc retikuloendotelial, mengganggu aktivasi komplemen dan sitokin, pengenalan antibody antiidiotipe, dan efek pada aktivasi, diferensiasi, serta fungsi efektor dari sel T dan sel B. Oleh karena IGIV mampu memblok apoptosis yang dimediasi oleh keratinosit, maka IGIV juga bisa digunakan untuk mengatasi reaksi kulit yang berat akibat penggunaan obat. Sebagai contoh, pasien dengan reaksi kulit yang berat akibat penggunaan obat cenderung untuk mengalami komplikasi infeksi di mana IGIV dapat menguranginya melalui mekanisme antiinfeksinya. Selebihnya, IGIV menyimpan protein dan air yang dapat membantu mengurangi bertambahnya kehilangan cairan melalui kulit yang terkelupas.17,18,19,20,21<br />IGIV diberikan sebagai pengganti protein plasma (IgG) untuk pasien dengan defisiensi imun yang kemampuan produksi antibodinya berkurang. Pada pasien dengan defisiensi imun, IGIV diberikan untuk mempertahankan jumlah antibodi yang cukup untuk mencegah infeksi dan memberikan imunitas pasif. Terapi diberikan setiap 3-4 minggu. Untuk pasien dengan penyakit autoimun, IGIV diberikan pada dosis tinggi (umumnya 1-2 gram IGIV / kg / BB) untuk mengurangi tingkat keparahan gejala dari penyakit autoimun.17,18,19,20,21 Mekanisme pasti IGIV dalam menekan inflamasi yang berbahaya, belum bisa dijelaskan, tetapi diyakini bahwa caranya dengan menghambat reseptor Fc.18,19 Target primer IGIV pada penyakit autoimun juga belum jelas. Namun, IGIV dapat bekerja melalui banyak tahap di mana IGIV yang disuntikkan pertama kali membentuk sejenis kompleks imun dalam tubuh pasien.23 Ketika kompleks imun ini terbentuk, kompleks imun berinteraksi dengan reseptor Fc yang aktif pada sel dendritik20 ,kemudian memediasi efek antiinflamasi yang membantu mengurangi keparahan gejala penyakit autoimun atau inflamasi. Selanjutnya, antibodi pendonor dapat berikatan secara langsung dengan antibodi abnormal dalam tubuh resipien sehingga dapat membuang antibodi yang abnormal itu. Selain itu, antibodi yang jumlahnya banyak tersebut dapat merangsang sistem komplemen dalam tubuh pasien sehingga meningkatkan pembuangan semua antibodi yang berbahaya. IGIV juga menghambat reseptor antibodi pada sel imun (sel makrofag), sehingga mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh sel makrofag atau pengaturan fagositosis dari makrofag. IGIV juga dapat mengatur respon imun dengan bereaksi terhadap sejumlah reseptor membran pada sel T, sel B, dan monosit yang bisa menyebabkan autoreaktivitas dan induksi terhadap toleransi tubuh sendiri.17<br />Suatu laporan terbaru menyatakan bahwa penggunaan IGIV untuk mengaktivasi sel T menyebabkan kemampuan sel T untuk berikatan dengan mikroglia berkurang. Akibatnya terjadi penurunan jumlah TNF alfa dan interleukin 10. Hal ini semakin memperdalam pengertian tentang bagaimana efek IGIV terhadap inflamasi pada sistem saraf pusat pada penyakit autoimun.21<br />Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan IGIV 22:<br />Periksa IgA serum sebelum pemakaian IGIV<br />IGIV akan meningkatkan viskositas dan risiko tromboembolik.<br />IGIV akan meningkatkan risiko serangan migraine, meningitis aseptik (10%), urtikaria, pruritus, atau petekie (2-30 hari setelah pemberian IGIV).<br />IGIV juga meningkatkan risiko nekrosis tubular akut pada pasien lanjut usia, diabetes, hipovolemia, dan penyakit ginjal.<br />IGIV menyebabkan perubahan hasil laboratorium di mana titer antibodi yang bersifat antiviral dan antibakterial selama 1 bulan akan meningkat 6 kali lipat pada ESR selama 2-3 minggu. IGIV juga menyebabkan hiponatremia.<br />Komplikasi dan efek samping IGIV, antara lain: sakit kepala, dermatitis sering di telapak tangan dan kaki, infeksi (seperti HIV atau viral hepatitis), kontaminasi dari produk darah, edema paru, alergi/ reaksi anafilaktik, gagal ginjal akut, trombosis vena, meningitis aseptik<br /><br />IGIV lebih efektif daripada kortikosteroid, siklosporin, dan siklofosfamid dalam tatalaksana SSJ dan NET<br />Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial karena bisa meningkatkan risiko infeksi sekunder. Banyak studi retrospektif yang menunjukkan tidak adanya manfaat bahkan malah menaikkan angka morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan sepsis. Risiko sepsis ini mungkin tergantung dari area kulit yang terkelupas.16 Halebian et al menganjurkan untuk tidak memakai kortikosteroid berdasarkan dua studi prospektif yang diacak secara terbuka di mana 30 pasien dirawat di unit perawatan luka bakar. Limabelas pasien menerima kortikosteroid dan sisanya tidak. Sampel pasien yang diambil memiliki kesamaan dari segi rentang usia, lama penyakit sebelum diobati, dan jumlah luas permukaan kulit yang basah. Tigapuluh tiga persen dari pasien yang memakai steroid bertahan hidup, sedangkan jumlah pasien yang bertahan hidup tanpa pemakaian kortikosteroid sebanyak 66%.(P = .057). Sepsis terjadi dengan frekuensi yang serupa pada dua kelompok subjek penelitian tersebut, tetapi 91% pasien sepsis yang memakai kortikosteroid mengalami kematian, sedangkan hanya 56% pasien sepsis yang tidak memakai kortikosteroid mengalami kematian. Steroid yang direkomendasikan untuk sepsis akibat bakteri gram negative, akan menurunkan daya tahan tubuh pasien dan menyebabkan pengenalan gejala klinis sepsis yang terlambat karena gejala sepsis ditekan.16 Obat-obatan lain juga digunakan, seperti siklofosfamid dan siklosporin. Suatu studi terbuka dari literatur tentang trauma, menunjukkan efektivitas dari siklosporin. Arevalo et al meneliti 11 pasien yang dirawat terus-menerus di unit perawatan luka bakar dengan NET yang mengenai luas permukaan tubuh sebesar 83% ± 17% Masing-masing pasien menerima siklosporin dengan dosis 3 mg/kg BB/ hari per oral setiap 12 jam. Kelompok studi ini dibandingkan dengan 6 orang yang berfungsi sebagai kontrol di mana keenamnya diberi siklofosfamid dan kortikosteroid. Perlambatan progresi penyakit dan penyelesaian reepitelisasi sangat cepat pada kelompok yang diberi siklosporin. Semua pasien yang diberi siklosporin bertahan hidup, sedangkan hanya 50% pasien yang bertahan hidup dengan pemakaian siklofosfamid. Siklosporin menurunkan angka mortalitas menjadi kira-kira 30% pada pasien NET yang tidak mengidap HIV, tetapi percobaan terkontrol dan acak masih harus dilakukan untuk menyusun rekomendasi yang definitif.7 Siklofosfamid, N-asetilsistein, dan antibodi monoklonal secara langsung melawan sitokin. Hal ini dibuktikan oleh beberapa laporan kasus yang terpisah beserta studi kecil yang tidak terkontrol. 7<br />Sejumlah studi mendukung pemakaian immunoglobulin intravena (IGIV) dalam tatalaksana NET. Sebuah studi terbuka pada 10 pasien NET yang menerima immunoglobulin intravena menunjukkan bahwa IGIV menghambat progresivitas gejala dalam 24-48 jam sehingga pasien tidak mengalami kematian. Sejak tahun 2000, sejumlah laporan kasus dan 8 studi klinis yang tidak terkontrol meneliti lebih dari 9 pasien, telah menganalisis efektivitas IGIV dalam tatalaksana NET. Beberapa studi tidak menunjukkan adanya manfaat IGIV dalam tatalaksana NET, sedangkan studi yang lain menunjukkan bahwa IGIV bermanfaat untuk menurunkan angka kematian pada penderita NET. Enam dari delapan studi menunjukkan bahwa IGIV bermanfaat jika diberikan dengan dosis sejumlah lebih dari 2g/kg berat badan. Di Rumah Sakit Pendidikan Stony Brook New York, pasien SSJ dan NET diterapi dengan IGIV dosis 1g/kg BB/hari untuk 4 hari berturut-turut.8,9,10,11,12 Dengan menggunakan sampel yang lebih besar ( negara), penelitian Euro Scar menyatakan bahwa penggunaan IGIV untuk tatalaksana Sindroma Stevens Johnson tidak menunjukkan efektivitas yang berarti. Akan tetapi, dalam penelitian ini menggunakan IGIV dalam dosis yang lebih kecil sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa IGIV tidak efektif dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson. 24<br />Kesimpulan<br />Sindroma Stevens Johnson (SSJ) merupakan penyakit kulit yang berpotensi menyebabkan kematian yang sebagian besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Tatalaksana umum SSJ adalah dengan penghentian konsumsi obat yang dicurigai sebagai pencetus, penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Terapi ini dapat disertai dengan pemberian immunoglobulin intravena (IGIV), yang terbukti mengurangi gejala Sindroma Stevens Johnson sehingga dapat mengurangi angka mortalitas. Cara kerjanya adalah dengan memblok CD95 (fas) ligand agar tidak berikatan dengan reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di permukaan keratinosit sehingga mencegah apoptosis keratinosit dan pengelupasan epidermis.<br />Daftar Pustaka<br />1. French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens Johnson syndrome: our current understanding. Allergol Int. Mar 2006;55(1):9-16.<br />2. Auquier-Dunant A, Mockenhaupt M, Naldi L, et al. Correlations between clinical patterns and causes of erythema multiforme majus, Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis: results of an international prospective study. Arch Dermatol. Aug 2002;138(8):1019-24.<br />3. Roujeau JC. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis are severityvariants of the same disease which differs from erythema multiforme. J Dermatol. Nov 1997;24(11):726-9.<br />4. Chan HL, Stern RS, Arndt KA, et al. The incidence of erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome, and toxicepidermal necrolysis. A population-based study with particular referenceto reactions caused by drugs among outpatients. Arch Dermatol. Jan 1990;126(1):43-7.<br />5. Strom BL, Carson JL, Halpern AC, et al. A population-based study of Stevens-Johnson syndrome. Incidence and antecedent drug exposures. Arch Dermatol. Jun 1991;127(6):831-8.<br />6. Roujeau JC. The spectrum of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: aclinical classification. J Invest Dermatol. Jun 1994;102(6):28S-30S.<br />7. Arevalo JM, Lorente JA, Gonzalez-Herrada C, Jimenez-Reyes J. Treatment of toxic epidermal necrolysis with cyclosporin A. J Trauma. Mar 2000;48(3):473-8.<br />8. French LE, Trent JT, Kerdel FA. Use intravenous immunoglobin in toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: our current understanding. Int Immunopharmacol. 2006;6(4):543-9.<br />9. Prins C, Kerdel FA, Padilla RS, et al. Treatment of toxic epidermal necrolysis with high-dose intravenous immunoglobulins: multicenter retrospective analysis of 48 consecutive cases. Arch Dermatol. Jan 2003;139(1):26-32.<br />10. Trent JT, Kirsner RS, Romanelli P, Kerdel FA. Analysis of intravenous immunoglobulin for the treatment of toxic epidermal necrolysis using SCORTEN: The University of Miami Experience. Arch Dermatol. Jan 2003;139(1):39-43.<br />11. Viard I, Wehrli P, Bullani R, et al. Inhibition of toxic epidermal necrolysis by blockade of CD95 with humanintravenous immunoglobulin. Science. Oct 16 1998;282(5388):490-3.<br />12. Roujeau JC, Kelly JP, Naldi L, et al. Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. N Engl J Med. Dec 14 1995;333(24):1600-7.<br />13. Guegan S, Bastuji-Garin S, Poszepczynska-Guegne E, et al. Performance of the SCORTEN during the first five days of hospitalization to predict the prognosis of epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2006;126(2):272-6.<br />14. Garcia-Doval I, LeCleach L, Bocquet H, et al. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: does earlywithdrawal of causative drugs decrease the risk of death?. Arch Dermatol. Mar 2000;136(3):323-7.<br />15. Khalili B, Bahna SL. Pathogenesis and recent therapeutic trends in Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Ann Allergy Asthma Immunol. Sep 2006;97(3):272-80; quiz 281-3, 320.<br />16. Halebian PH, Corder VJ, Madden MR, et al. Improved burn center survival of patients with toxic epidermal necrolysismanaged without corticosteroids. Ann Surg. Nov 1986;204(5):503-12.<br />17. Bayry J, Thirion M, Misra N, Thorenoor N, Delignat S, Lacroix-Desmazes S, Bellon B, Kaveri S, Kazatchkine MD. Mechanisms of action of intravenous immunoglobulin in autoimmune and inflammatory diseases. Neurol Sci. 2003; 24: S217-S221.<br />18. Falk Nimmerjahn and Jeffrey V. Ravetch. The antiinflammatory activity of IgG: the intravenous IgG parado. The Journal of Experimental Medicine. 204(1):11-5.<br />19. James E. Gern, MD. Antiinflammatory activity of IVIG mediated through the inhibitory FC recepto. PEDIATRICS. August 2002;110(2):467-68.<br />20. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16715090 Siragam V, Crow AR, Brinc D, Song S, Freedman J, Lazarus AH. Intravenous immunoglobulin ameliorates ITP via activating Fc gamma receptors on dendritic cells. Nat Med. 2006 Jun;12(6):688-92. PMID: 16715090<br />21. Janke AD, Yong VW. Impact of IVIG on the interaction between activated T cells and microglia. Neurol Res. 2006 Apr;28(3):270-4. PMID 16687052<br />(downloaded on April 30, 2008)<br /><br />22. http://www.fda.gov/cber/recalls.htm (downloaded on April 30, 2008) 24. Schneck J, Fagot J-P, Sekula P. Effects of treatments on the mortality of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: EuroSCAR Study. J Am Acad Dermatol 2008;58:33 - 40<br /><br />23. Christa Prins, et al. Treatment of Toxic Epidermal Necrolysis With High-Dose Intravenous Immunoglobulins: Multicenter Retrospective Analysis of 48 Consecutive Cases Arch Dermatol. 2003;139:26-32.<br />24. Schneck J, Fagot J-P, Sekula P. Effects of treatments on the mortality of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: EuroSCAR Study. J Am Acad Dermatol 2008;58:33 - 40Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-33003883567350812712010-07-07T03:15:00.001-07:002010-07-07T03:15:44.606-07:00Apolipoprotein Epsilon 4 as a Genetic Risk Factor for Nonfamilial (Sporadic) Alzheimer’s DiseaseScientist do not yet fully understand what causes alzheimer’s disease (AD). however the more they learn about AD, the more they become aware of the important function genes play in the development of this disease. More than one gene mutation can cause AD, and genes on multiple chromosomes are involved. The two basic types of AD are familial and nonfamilial (sporadic). Familial AD (FAD) is caused by gene mutations on chromosomes 1, 14 and 21. Researchers are more interested in sporadic AD because it becomes the majority of AD cases. Sporadic AD (nonfamilial AD) shows no obvious inheritanc epattern, however in some families, clusters of cases have been seen. Researchers have identified an increased risk of developing sporadic AD related to the apolupoproteon epsilon (apoE) gene found on chromosome 19. This gene codes for a protein that helps carry cholesterol in the bloodstream. Apo E comes in several different forms, or alleles but three occur most frequently : apoE2(E2), apoE3 (E3), ad apoE4 (E4). Based on many studies, apolipoprotein epsilon 4 (apoE4) is the best kown genetic risk factor for sporadic AD.<br /><br />Link (s):<br /><br />- http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=76053<br /><br />- http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/index/search/titles?searchPage=18Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-75052492023832248752010-07-07T03:14:00.000-07:002010-07-07T03:15:00.517-07:00Nyeri Pascaoperasi Lutut? Tenang, Ada Obat Analgesik KombinasiPENDAHULUAN<br /><br />Artroskopi sendi lutut menimbulkan sinyal nyeri aferen yang memulai perubahan pada sistem saraf sehingga memperkuat dan memperpanjang nyeri pascaoperasi. Pencegahan nyeri ini dilakukan dengan pemberian obat analgesik sebelum timbul rangsangan nyeri. Akhir-akhir ini, regimen obat kombinasi telah direkomendasikan dalam manajemen nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut. Dalam banyak penelitian, bupivakain dan morfin yang diberikan secara intraartikular adalah obat analgesik yang efektif pascaoperasi artroskopi sendi lutut. Ketorolak, kortikosteroid, dan klonidin juga berperan mengurangi nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut. Obat-obat anti inflamasi nonsteroid memegang peranan penting dalam manajemen nyeri pascaoperasi ortopedik, termasuk obat yang spesifik terhadap enzim siklooksigenase-2 yang lebih aman jika digunakan.<br /><br />Teknik kombinasi obat analgesik yang diberikan sebelum timbul rangsangan nyeri, dapat digunakan dalam manajemen nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut. Artroskopi sendi lutut merupakan prosedur yang rutin dilakukan untuk pasien rawat jalan. Umumnya, obat analgesik oral diberikan untuk mengatasi nyeri pascaoperasi, tetapi sering tidak efektif.1 Nyeri pascaoperasi yang tidak teratasi, dapat memperpanjang masa rawat inap pasien, menunda program rehabilitasi, memperlambat penyembuhan, serta memberdayakan lebih banyak tenaga kesehatan.1 Akhir-akhir ini, banyak teknik yang tersedia untuk mengatasi nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut, termasuk penggunaan obat golongan opioid (menimbulkan efek analgesik secara perifer maupun sentral), obat anestesi lokal, obat antiradang nonsteroid, kortikosteroid, klonidin, serta krioterapi (lihat gambar 1). Makalah ini berisi pembahasan mengenai peran obat analgesia kombinasi dalam pencegahan nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut.<br /><br />Gambar 1. Lokasi target obat analgetik sepanjang jalur nyeri dari sistem saraf perifer ke susunan saraf pusat.<br /><br />PEMBAHASAN<br /><br />Fisiologi nyeri<br /><br />Prosedur operasi menimbulkan sinyal nyeri dan respon inflamasi sekunder yang mengakibatkan nyeri pascaoperasi. Sinyal-sinyal ini memulai perubahan di sistem saraf perifer dan susunan saraf pusat, yang akhirnya menguatkan dan memperlama nyeri pascaoperasi.2 Sensitisasi sistem saraf perifer (penurunan ambang nyeri nosiseptor aferen) diakibatkan oleh peradangan di tempat timbulnya luka operasi.3<br /><br />Sensitisasi susunan saraf pusat (perangsangan neuron spinal), disebabkan oleh paparan menetap terhadap input aferen nosiseptif dari neuron-neuron perifer.4 Sensitisasi saraf perifer dan susunan saraf pusat, mengakibatkan keadaan hipersensitivitas setelah dilakukannya operasi. Hal ini menurunkan ambang nyeri, baik pada tempat timbulnya luka (hiperalgesia primer), maupun daerah sekitarnya (hiperalgesia sekunder).5 (lihat gambar 2).<br /><br />Gambar 2. Luka operasi mengakibatkan pelepasan mediator-mediator inflamasi pada tempat luka, mengakibatkan penurunan ambang nyeri pada lokasi operasi( hiperalgesia primer) maupun daerah sekitarnya (hiperalgesia sekunder). Sensitisasi susunan saraf pusat (perangsangan neuron spinal), disebabkan oleh paparan menetap terhadap input aferen nosiseptif dari neuron-neuron perifer.<br /><br />Akhir-akhir ini, kemajuan pemahaman mengenai mekanisme timbulnya nyeri menghasilkan konsep pemberian obat analgesik sebelum timbul rangsangan nyeri. Tujuannya adalah untuk mencegah sensitisasi susunan saraf pusat yang dapat memperkuat nyeri pascaoperasi.5 Konsep ini berdasarkan penelitian pada hewan yang mengungkap bahwa obat anestesi lokal atau opioid dapat mencegah gejala ikutan fisiologis maupun perilaku yang timbul setelah rangsangan nyeri dalam waktu singkat.6, 7, 8 Sebaliknya, obat-obat ini kurang efektif jika diberikan setelah terjadinya rangsangan terhadap susunan saraf pusat. Namun, hasil pada penelitian terhadap manusia lebih kontroversial.9<br /><br />Pengurangan nyeri yang optimal susah didapatkan dengan satu jenis obat atau satu metode.10 Akhir-akhir ini direkomendasikan penggunaan regimen obat analgesik kombinasi (multimodal) yang bekerja melalui mekanisme atau lokasi target yang berbeda. Regimen obat analgesik kombinasi saling bekerja secara sinergis sehingga dosis dapat diperkecil dan efek samping dapat dikurangi. 10 Dewasa ini, banyak teknik analgesia yang digunakan untuk menghambat transmisi nosiseptif postoperasi artroskopi sendi lutut. Pada tingkat susunan saraf perifer, dapat digunakan obat anti inflamasi nonsteroid, kortikosteroid, opioid, atau krioterapi. Obat anestesi lokal menghambat transmisi saraf pada lokasi timbulnya luka, sedangkan obat opioid oral bekerja pada tingkat susunan saraf pusat. (lihat gambar 1).<br /><br />Tujuan utama dari manajemen nyeri terkini adalah untuk mengurangi nyeri pada tingkat sentral maupun perifer dengan penggunaan obat analgesik yang diberikan sebelum timbul rasa nyeri. Strategi ini diikuti dengan program rehabilitasi medik sehingga hasil penyembuhan lebih optimal.<br /><br />Artroskopi sendi lutut<br /><br />Artroskopi sendi lutut mencegah insisi yang luas, serta mengurangi morbiditas dibandingkan dengan prosedur operasi terbuka, tetapi tidak mengurangi rasa nyeri.11 Sebagian besar struktur dalam sendi lutut (termasuk jaringan sendi, bantalan lemak anterior, dan kapsula sendi) memiliki ujung saraf bebas yang dapat bereaksi hebat terhadap rangsang nyeri.12 Prosedur artroskopi dapat menimbulkan nyeri dan bengkak yang dapat menunda program rehabilitasi medik, serta menunda pasien untuk beraktivitas setelah lebih dari dua minggu setelah operasi.13, 14 Pasien yang tidak dapat mengikuti program rehabilitasi secara lengkap, berisiko lebih tinggi untuk mengidap komplikasi pascaoperasi (antara lain penurunan kekuatan, kekakuan lutut, dan nyeri lutut anterior). 13, 15, 16 Oleh karena itu, manajemen nyeri yang agresif pada saat awal pascaoperasi, sangatlah penting dan mempercepat pemulihan setelah dilakukan artroskopi.17<br /><br />Bupivakain intraartikular<br /><br />Anestesi lokal intraartikular sering digunakan untuk manajemen nyeri perioperasi. Bupivakain merupakan obat anestesi lokal yang memiliki gugus amin dan sering digunakan karena memiliki durasi kerja yang panjang.18 Kadar puncaknya dalam serum tercapai dalam waktu tiga puluh sampai enam puluh menit setelah disuntikkan. Bupivakain aman jika disuntikkan kurang dari sama dengan 150 miligram ke dalam sendi lutut.19 Bupivakain intraartikular yang diberikan dengan dosis kurang dari sama dengan 0,5 % tidaklah berbahaya bagi kartilago sendi.20<br /><br />Efisiensi analgesia dari bupivakain yang disuntikkan secara intraartikular, masih kontroversial. Beberapa penelitian telah gagal membuktikan adanya efek analgesia yang baik dari bupivakain yang diberikan secara intraartikular 21,22. Sedangkan penelitian yang lain membuktikan adanya beberapa manfaat dari pemberian bupivakain intraartikular. 23,24,25 Sayangnya penelitian-penelitian ini memiliki kelemahan dalam desain penelitian, pengumpulan data, dan pelaporan data. Selain itu, juga terdapat variasi volume dan konsentrasi dari bupivakain yang disuntikkan secara intraartikular. Namun, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap nyeri postoperasi, antara lain penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid, opioid, turniket, epinefrin, serta anestesi infiltrasi dengan lidokain maupun bupivakain.<br /><br />Dosis bupivakain merupakan faktor yang penting. Smith dkk. menyatakan bahwa dosis 0,25 % mengakibatkan kurangnya efek analgesik bupivakain intraartikular pada penelitian-penelitian sebelumnya. 25 Oleh karena itu, Smith dkk. memberikan bupivakain 0,5 % sebanyak 30 ml (150 mg) kepada 97 pasien yang dibius umum ketika menjalani operasi artroskopik. Pasien dibagi menjadi 2 golongan secara acak, sebagian mendapat bupivakain intraartikular dan yang lainnya mendapat larutan salin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mendapat bupivakain 0,5 % lebih sedikit membutuhkan narkotika pascaoperasi dibandingkan kelompok yang mendapat larutan salin. Bahkan, pasien yang mendapat bupivakain 0,5 % lebih cepat pulih.<br /><br />Faktor visual analog pain scores yang rendah (kurang dari 3,3 cm) juga mengakibatkan kurangnya efek analgesik bupivakain intraartikular pada penelitian-penelitian sebelumnya. Banyak prosedur dalam penetian-penelitian tersebut merupakan tindakan artroskopi diagnostik yang hanya membutuhkan sedikit obat analgesik postoperasi. Penelitian Geutjens dan Hambidge menyatakan bahwa kelompok kontrol yang hanya diberikan larutan salin,ternyata tidak membutuhkan obat analgesik 10 jam postoperasi.24 Faktor lain yang juga tidak diperhatikan adalah hemarthrosis postoperasi yang bisa menambah rasa nyeri dan mengurangi konsentrasi bupivakain dalam sendi lutut.<br /><br />Jadi, sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa bupivakain intraartikular merupakan obat analgesik yang efektif dalam manajemen nyeri postoperasi artroskopi sendi lutut. Akan tetapi, perlu penelitian dengan desain yang lebih baik untuk mendapat kesimpulan akhir.<br /><br />Morfin intraartikular<br /><br />Bupivakain intraartikular memiliki efek analgesia postoperasi yang efektif, tetapi hanya bertahan 2 sampai 4 jam.23,24 Pasien yang pulih dari operasi artroskopi sendi lutut, masih membutuhkan obat analgesia tambahan sebelum dan sesudah pulang dari rumah sakit. Obat analgetik golongan narkotika adalah yang biasanya dipilih, tetapi memiliki efek samping seperti depresi napas, sedasi, pruritus, mual, serta muntah. Hal ini bahkan dapat memperpanjang masa rawat inap pasien, meningkatkan morbiditas, serta meningkatkan risiko ketika pasien sudah pulang ke rumah. Obat golongan opioid yang diberikan secara oral, tidak dapat diabsorpsi karena timbulnya mual, muntah, serta ileus yang terjadi setelah operasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa reseptor opioid yang berada di jaringan perifer, dapat mencegah atau mengurangi nyeri pascaoperasi.<br /><br />Telah lama diketahui bahwa terdapat reseptor opioid di susunan saraf pusat, tetapi penemuan terbaru menyatakan bahwa reseptor opioid juga terdapat di ujung saraf bebas.26 Hal ini telah dianalisis secara imunohistokimia dari spesimen biopsi jaringan sendi meradang, juga telah dibuktikan dengan adanya pengikatan nalokson ke reseptor opioid di lutut.27 Ketiga reseptor opioid (mu, delta, dan kappa) terbukti ada pada saraf-saraf perifer, serta berperan dalam mediasi antinyeri di perifer.28 Reseptor-reseptor ini disintesis di dalam badan sel neuron sensorik primer yang terletak di radix dorsalis ganglion, serta disalurkan ke arah distal oleh akson.29<br /><br />Terdapat teori bahwa opioid yang diberikan secara lokal dapat memberikan efek analgesia pada jaringan yang mengalami inflamasi dan bukan pada jaringan yang sehat.30 Teori pertama adalah bahwa inflamasi menginduksi daerah di sekitar saraf sehingga memudahkan akses opioid mengikat reseptor yang terdapat di neuron. Teori kedua adalah bahwa reseptor opioid yang sebelumnya tidak aktif, dapat menjadi aktif oleh proses inflamasi. 31<br /><br />Mekanisme efek antinyeri opioid di susunan saraf perifer pada jaringan yang mengalami inflamasi, belum dapat secara tepat dijelaskan. Namun, hipotesis menyatakan bahwa terdapat efek antiinlamasi selain efek analgesik.27 Efek analgesik terjadi karena morfin mengurangi perangsangan ujung serat saraf C terhadap nyeri. Hal ini mengurangi pengiriman sinyal nyeri ke susunan saraf pusat. Opioid juga memiliki efek antiinflamasi yang bekerja secara langsung di jaringan perifer. Hal ini terjadi karena pengikatan reseptor opioid di perifer, mengurangi pelepasan neuropeptida hasil dari inflamasi, seperti substansi P.30<br /><br />Stein dkk, telah membuktikan bahwa pemberian morfin intraartikular dalam dosis kecil pada manusia, menimbulkan efek analgesik yang lama.32 Efek lokal morfin dibuktikan dengan rendahnya kandungan morfin dan metabolitnya di plasma darah. Efek lokal morfin juga dibuktikan dengan penelitian yang memberikan dosis rendah morfin melalui jalur sistemik, tetapi tidak memberikan efek analgesia yang berarti.33, 34, 35 Akhirnya, Stein dkk. membuktikan bahwa efek analgesik dari morfin yang diberikan secara intraartikular, dapat dihambat oleh pemberian nalokson intraartikular. Hal ini mengkonfirmasikan adanya efek lokal dari opioid.<br /><br />Banyak penelitian menunjukkan bahwa morfin yang diberikan secara intra artikular juga mengurangi skor nyeri setelah 8 sampai 12 jam penyuntikan.36, 37, 38 Hal ini menyebabkan para peneliti mengkombinasi bupivakain intraartikular dan morfin intraartikular sebagai obat analgesik pascaoperasi.<br /><br />Banyak peneliti gagal membandingkan efek analgesik morfin intraartikular dengan larutan salin ataupun bupivakain intraartikular. Hal ini terjadi karena penggunaan opioid sistemik, obat antiinflamasi nonsteroid, atau obat anestesi regional yang semuanya dapat mengurangi inflamasi akibat pembedahan sehingga mengurangi pengikatan morfin secara intraartikular.39, 40 ,41<br /><br />Anestesi epidural juga dapat mengubah efek morfin yang diberikan secara intraartikular. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena anestesi epidural menghambat respon neuroendokrin terhadap luka operasi, serta mengurangi pelepasan mediator inflamasi.42 Kedua, anestesi epidural dapat mencegah dan memperlama efek analgesik postoperasi.2, 43, 44 Ada satu penelitian yang mengungkap bahwa anestesi epidural memiliki efek analgesik yang lama, yaitu selama 48 jam postoperasi.45<br /><br />Faktor lain yang mempengaruhi efek analgesik morfin intraartikular adalah pelepasan turniket. Makin lama pelepasan turniket setelah penyuntikan morfin intraartikular, maka pengikatan terhadap reseptor opioid akan meningkat sehingga efek analgesik morfin juga meningkat. Whitford dkk. menyatakan bahwa pemasangan turniket selama 10 menit setelah penyuntikan morfin intraartikular, akan meningkatkan efek analgesik morfin, serta mengurangi pemakaian obat analgesik tambahan.46<br /><br />Walau morfin intraartikular biasanya diberikan setelah prosedur artroskopi dilakukan, ada penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian postoperasi juga memberikan manfaat.47, 48<br /><br />Kesimpulannya, sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa pemberian morfin secara intraartikular memberikan efek analgesik yang lama. Efek samping yang terjadi pada pemberian opioid secara sistemik, tidak terjadi pada pemberian morfin secara intraartikular. Peradangan di dalam jaringan sendi akan meningkatkan efek analgesik dari morfin, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui. Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid beserta obat anestesi spinal atau epidural, akan mengaburkan efek analgesik morfin. Hasil penelitian mendukung penggunaan morfin secara intraartikular untuk mengatasi nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut.<br /><br />Ketorolak intraartikular<br /><br />Banyak peneliti yang menyelidiki efek analgesik dari pemberian obat antiinflamasi nonsteroid secara intraartikular. Salah satunya adalah ketorolak yang terbukti efektif mengurangi nyeri pasca artroskopi jika diberikan secara parenteral.49 Reuben dan Connelly membandingkan efek analgesik antara ketorolak yang diberikan secara parenteral dengan intraartikular. Hasilnya ternyata pemberian ketorolak intraartikular memiliki durasi analgesik yang jauh lebih lama. 50 Namun, penelitian ini mengundang kontroversi berkenaan dengan keamanan penggunaan ketorolak intraartikular.51, 52 Walau belum ada penelitian pada manusia, namun penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa pemberian ketorolak secara intraartikular, tidak merusak kartilago tulang sapi. 53 Sebaliknya, ketorolak melindungi kartilago sendi dengan menghambat pelepasan sitokin, termasuk interleukin-1, yang memegang peranan penting dalam kerusakan kartilago. Selain itu, juga ada kewaspadaan terhadap kandungan alkohol dalam ketorolak yang dapat merusak kartilago sendi (10 % dari berat volume).51 Namun, dalam penelitian-penelitiaan tersebut, ketorolak diencerkan dalam 30 ml bupivakain 0,25 % sehingga kandungan alkoholnya hanya 0,7 % dari berat volume. Kandungan alkohol ini lebih rendah daripada kandungan alkohol 0,9 % dalam larutan asetonida triamsinolon yang telah disetujui FDA (Food and Drug Administration) untuk penyuntikan intraartikular.<br /><br />Connelly dan Reuben mendesain suatu penelitian untuk membandingkan efek analgesia ketorolak dengan morfin, serta menentukan apakah kombinasi kedua obat ini memberikan hasil efek analgesik yang lebih baik.54 Delapan puluh pasien yang menjalani meniskektomi dengan artroskopi, secara acak diberikan ketorolak dan morfin yang diberikan secara intravena maupun intraartikular. Hasilnya ternyata morfin dan ketorolak lebih baik tidak dikombinasi jika diberikan secara intraartikular (efek analgesiknya dapat bertahan selama 13 jam). Sedangkan kombinasi morfin dan ketorolak intraartikular tidak menambah efek analgesik, serta tidak memperlama efek analgesik. Hipotesis yang dapat menjelaskan hal ini adalah karena ketorolak mengurangi proses peradangan di dalam jaringan sendi sehingga menghambat pengikatan reseptor opioid. Hipotesis lain menyatakan bahwa morfin atau ketorolak yang dicampur dengan pemberian bupivakain intraartikular, memiliki efek analgesia maksimal yang tidak bisa lagi ditambah.<br /><br />Kortikosteroid intraartikular<br /><br />Wang dkk. membuktikan bahwa suntikan asetonida triamsinolon dalam larutan salin ke dalam sendi lutut, akan mengurangi skor nyeri dan efek samping opioid. 55 Namun, nyeri berkurang setelah 6 jam penyuntikan kortikosteroid intraartikular, serta menetap selama 24 jam. Rasmussen dkk. membandingkan kombinasi bupivakain, morfin, dan metilprednisolon yang diberikan secara intraartikular dengan kombinasi bupivakain, morfin, dan larutan salin. Hasilnya menunjukkan bahwa kombinasi 150 mg bupivakain dan 4 mg morfin, akan mengurangi nyeri serta mempercepat pemulihan pasien. Penambahan 40 mg metilprednisolon akan lebih mengurangi nyeri, mengurangi pembengkakan sendi, mempercepat pemulihan pasien, meningkatkan fungsi otot, serta mengurangi respon inflamasi. Oleh karena itu, Rasmussen merekomendasikan pemberian kombinasi bupivakain, morfin, dan metilprednisolon untuk pasien yang menjalani meniskektomi dengan artroskopi.17<br /><br />Akan tetapi, kortikosteroid memiliki efek samping meningkatkan risiko infeksi, kerusakan kartilago, penyembuhan luka tidak sempurna, dan efek samping sistemik. Namun, dalam penelitian ternyata efek sampingnya sedikit sekali.55, 56, 57<br /><br />Klonidin intraartikular<br /><br />Banyak penelitian yang mengungkap adanya efek analgesik pada klonidin yang diberikan secara intraartikular pascaoperasi artroskopi sendi lutut. 58, 59, 60 Klonidin adalah suatu a-2 agonis yang dapat digunakan sebagai obat anestesi lokal dengan durasi efek analgesik yang panjang karena memblok konduksi serat saraf A d maupun C. 61,62 Selain itu, klonidin juga dapat melepas zat yang menyerupai enkefalin sehingga menimbulkan efek analgesia di jaringan perifer. 63 Gentili dkk. membandingkan efek 150 mg klonidin yang diberikan secara intraartikular dan subkutan dengan larutan salin atau 1 mg morfin intraartikular pada 40 pasien yang menjalani artroskopi sendi lutut. Pasien yang mendapat klonidin intraartikular ternyata merasakan efek analgesia yang lebih lama (533 ± 488 menit) dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapat larutan salin (70 ± 30 menit) atau klonidin subkutan (132 ± 90 menit). Durasi efek analgesia dari klonidin intraartikular ternyata hampir sama dengan penyuntikan morfin intraartikular (300 ± 419 menit). Oleh karena penyuntikan klonidin secara subkutan tidak menghasilkan efek analgesik yang efektif, maka Gentili dkk. menyatakan bahwa klonidin memiliki efek analgesik terhadap jaringan perifer.58<br /><br />Oleh karena klonidin dapat meningkatkan blok saraf perifer dari obat anestesi lokal, maka Reuben dan Connelly meneliti efek analgesik 75 mg bupivakain intraartikular dan klonidin (1 ug/kg BB) pada pasien yang menjalani meniskektomi dengan artroskopi. Ternyata kelompok yang mendapat kombinasi bupivakain dan klonidin intraartikular, lebih kurang membutuhkan obat analgesik pascaoperasi, serta durasi efek analgesiknya juga lebih lama.60<br /><br />Joshi dkk. berusaha untuk menemukan adanya tambahan efek analgesik pada klonidin intraartikular yang dikombinasi dengan morfin intraartikular. Mereka meneliti 60 pasien yang menjalani meniskektomi dengan artroskopi, serta memakai anestesi lokal. Kombinasi kedua obat tersebut menunjukkan peningkatan durasi efek analgesik (1050 ± 227 menit) dibandingkan dengan pemberian klonidin saja (640 ± 113 minutes) atau morfin saja (715 ± 106 minutes).64<br /><br />KESIMPULAN<br /><br />Ketorolak dan kortikosteroid bekerja sebagai obat analgesik poten yang mengurangi respon inflamasi akibat prosedur artroskopi. Sedangkan klonidin intraartikular akan meningkatkan efek morfin dan bupivakain intraartikular. Pengurangan nyeri dan bengkak pada sendi, akan mempercepat pemulihan kekuatan otot, serta mempercepat pemulihan pasien. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa obat antiinflamasi nonsteroid, kortikosteroid, serta klonidin memiliki peranan penting sebagai regimen obat analgesik untuk pasien yang menjalani prosedur artroskopi sendi lutut. Akan tetapi, masih diperlukan penelitian dalam skala yang lebih besar untuk meneliti efek samping dan efek dari regimen ini.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> 1. United States Acute Pain Management Guideline Panel: Acute Pain Management: Operative or Medical Procedures and Trauma. Pub. no. 92-0032. Rockville, Maryland, United States Department of Health and Human Services, Public Health Service Agency for Health Care Policy and Research, 1992.<br /> 2. Woolf, C. J, and Chong, M. S.: Preemptive analgesia - treating postoperative pain by preventing the establishment of central sensitization. Anesth. and Analg., 77: 362-379, 1993.<br /> 3. Raja, S. N.; Meyer, R. A.; and Campbell, J. N.: Peripheral mechanisms of somatic pain. Anesthesiology, 68: 571-590, 1988.<br /> 4. Woolf, C. J.: Evidence for a central component of post-injury pain hypersensitivity. Nature,, 306: 686-688, 1983.<br /> 5. Wall, P. D.: The prevention of postoperative pain. Pain, 33: 289-290, 1988.<br /> 6. Coderre, T. J.; Vaccarino, A. L.; and Melzack, R.: Central nervous system plasticity in the tonic pain response to subcutaneous formalin injection. Brain Res., 535: 155-158, 1990.<br /> 7. Dickenson, A. H, and Sullivan, A. F.: Subcutaneous formalin-induced activity of dorsal horn neurones in the rat: differential response to an intrathecal opiate administered pre or post formalin. Pain,, 30: 349-360, 1987.<br /> 8. Woolf, C. J, and Wall, P. D.: Morphine-sensitive and morphine-insensitive actions of C-fibre input on the rat spinal cord. Neurosci. Lett., 64: 221-225, 1986.<br /> 9. Kissin, I.: Preemptive analgesia. Why its effect is not always obvious. Anesthesiology, 84: 1015-1019, 1996.<br /> 10. Kehlet, H, and Dahl, J. B.: The value of “multimodal” or “balanced analgesia” in postoperative pain treatment. Anesth. and Analg., 77: 1048-1056, 1993.<br /> 11. Highgenboten, C. L.; Jackson, A. W.; and Meske, N. B.: Arthroscopy of the knee. Ten-day pain profiles and corticosteroids. Am. J. Sports Med., 21: 503-506, 1993.<br /> 12. Dye, S. F.; Vaupel, G. L.; and Dye, C. C.: Conscious neurosensory mapping of the internal structures of the human knee without intraarticular anesthesia. Am. J. Sports Med., 26: 773-777, 1998.<br /> 13. Durand, A.; Richards, C. L.; and Malouin, F.: Strength recovery and muscle activation of the knee extensor and flexor muscles after arthroscopic meniscectomy. A pilot study. Clin. Orthop., 262: 210-226, 1991.<br /> 14. St.-Pierre, D. M.: Rehabilitation following arthroscopic meniscectomy. Sports Med., 10: 338-347, 1995.<br /> 15. Moffet, H.; Richards, C. L.; Malouin, F.; Bravo, G.; and Paradis, G.: Early and intensive physiotherapy accelerates recovery postarthroscopic meniscectomy: results of a randomized controlled study. Arch. Phys. Med. and Rehab, 75: 415-426, 1994.<br /> 16. Shelbourne, K. D, and Nitz, P.: Accelerated rehabilitation after anterior cruciate ligament reconstruction. Am. J. Sports Med, 18: 292-299, 1990.<br /> 17. Rasmussen, S.; Larsen, A. S.; Thomsen, S. T.; and Kehlet, H.: Intra-articular glucocorticoid, bupivacaine and morphine reduces pain, inflammatory response and convalescence after arthroscopic meniscectomy. Pain,, 78: 131-134, 1998.<br /> 18. Moore, D. C.; Bridenbaugh, L. D.; Thompson, G. E.; Balfour, R. I.; and Horton, W. G.: Bupivacaine: a review of 11,080 cases. Anesth. and Analg, 57: 42-53, 1978.<br /> 19. Meinig, R. P.; Holtgrewe, J. L.; Wiedel, J. D.; Christie, D. B.; and Kestin, K. J.: Plasma bupivacaine levels following single dose instillation for arthroscopy. Am. J. Sports Med., 16: 295-300, 1988.<br /> 20. Nole, R.; Munson, N. M.; and Fulkerson, J. P.: Bupivacaine and saline effects on articular cartilage. Arthroscopy, 1: 123-127, 1985.<br /> 21. Henderson, R. C.; Campion, E. R.; DeMasi, R. A.; and Taft, T. N.: Postarthroscopy analgesia with bupivacaine. A prospective, randomized, blinded evaluation. Am. J. Sports Med., 18: 614-617, 1990.<br /> 22. Milligan, K. A.; Mowbray, M. J.; Mulrooney, L.; and Standen, P. J.: Intra-articular bupivacaine for pain relief after arthroscopic surgery of the knee joint in daycase patients. Anaesthesia,, 43: 563-564, 1988.<br /> 23. Chirwa, S. S.; MacLeod, B. A.; and Day, B.: Intraarticular bupivacaine (Marcaine) after arthroscopic meniscectomy: a randomized double-blind controlled study. Arthroscopy, 5: 33-35, 1989.<br /> 24. Geutjens, G, and Hambidge, J. E.: Analgesic effects of intraarticular bupivacaine after day-case arthroscopy. Arthroscopy, 10: 299-300, 1994.<br /> 25. Smith, I.; Van Hemelrijck, J.; White, P. F.; and Shively, R.: Effects of local anesthesia on recovery after outpatient arthroscopy. Anesth. and Analg, 73: 536-539, 1991.<br /> 26. Levine, J. D., and Taiwo, Y. O.: Involvement of the mu-opiate receptor in peripheral analgesia. Neuroscience, 32: 571-575, 1989.<br /> 27. Lawrence, A. J.; Joshi, G. P.; Michalkiewicz, A.; Blunnie, W. P.; and Moriarty, D. C.: Evidence for analgesia mediated by peripheral opioid receptors in inflamed synovial tissue. European J. Clin. Pharmacol., 43: 351-355, 1992.<br /> 28. Stein, C.; Millan, M. J.; Shippenberg, T. S.; Peter, K.; and Hertz, A.: Peripheral opioid receptors mediating antinociception in inflammation. Evidence for involvement of mu, delta and kappa receptors. J. Pharmacol. and Exper. Ther., 248: 1269-1275, 1989.<br /> 29. Stein, C.: The control of pain in peripheral tissue by opioids. New England J. Med., 332: 1685-1690, 1995.<br /> 30. Stein, C.: Peripheral mechanisms of opioid analgesia. Anesth. and Analg., 76: 182-191, 1993.<br /> 31. Stein, C., and Yassouridis, A.: Peripheral morphine analgesia. Pain,, 71: 119-121, 1997.<br /> 32. Stein, C.; Comisel, K.; Haimerl, E.; Yassouridis, A.; Lehrberger, K.; Herz, A.; and Peter, K.: Analgesic effect of intraarticular morphine after arthroscopic knee surgery. New England J. Med., 325: 1123-1126, 1991<br /> 33. Boden, B. P.; Fassler, S.; Cooper, S.; Marchetto, P. A.; and Moyer, R. A.: Analgesic effect of intraarticular morphine, bupivacaine, and morphine/bupivacaine after arthroscopic knee surgery. Arthroscopy, 10: 104-107, 1994.<br /> 34. Cepeda, M. S.; Uribe, C.; Betancourt, J.; Rugeles, J.; and Carr, D. B.: Pain relief after knee arthroscopy: intra-articular morphine, intra-articular bupivacaine, or subcutaneous morphine?. Reg. Anesth., 22: 233-238, 1997.<br /> 35. Reuben, S. S, and Connelly, N. R.: Postarthroscopic meniscus repair analgesia with intraarticular ketorolac or morphine. Anesth. and Analg., 82: 1036-1039, 1996.<br /> 36. Dalsgaard, J.; Felsby, S.; Juelsgaard, P.; and Froekjaer, J.: Low-dose intra-articular morphine analgesia in day case knee arthroscopy: a randomized double-blinded prospective study. Pain, 56: 151-154, 1994.<br /> 37. Heine, M. F.; Tillet, E. D.; Tsueda, K.; Loyd, G. E.; Schroeder, J. A.; Vogel, R. L.; and Yli-Hankala, A.: Intra-articular morphine after arthroscopic knee operation. British J. Anaesth., 73: 413-415, 1994.<br /> 38. Jaureguito, J. W.; Wilcox, J. F.; Cohn, S. J.; Thisted, R. A.; and Reider, B.: A comparison of intraarticular morphine and bupivacaine for pain control after outpatient knee arthroscopy. A prospective, randomized, double-blinded study. Am. J. Sports Med., 23: 350-353, 1995.<br /> 39. Aasbo, V.; Raeder, J. C.; Grogaard, B.; and Roise, O.: No additional analgesic effect of intra-articular morphine or bupivacaine compared with placebo after elective knee arthroscopy. Acta Anaesth. Scandinavica, 40: 585-588, 1996.<br /> 40. Björnsson, A.; Gupta, A.; Vegfors, M.; Lennmarken, C.; and Sjöberg, F.: Intraarticular morphine for postoperative analgesia following knee arthroscopy. Reg. Anesth., 19: 104-108, 1994.<br /> 41. Dierking, G. W.; Ostergaard, H. T.; Dissing, C. K.; Kristensen, J. E.; and Dahl, J. B.: Analgesic effect of intra-articular morphine after arthroscopic meniscectomy. Anaesthesia, 49: 627-629, 1994.<br /> 42. Rutberg, H.; Hakanson, E.; Anderberg, B.; Jorfeldt, L.; Martensson, J.; and Schildt, B.: Effects of extradural administration of morphine, or bupivacaine, on the endocrine response to upper abdominal surgery. British J. Anaesth, 56: 233-238, 1984.<br /> 43. Katz, J.; Clairoux, M.; Kavanagh, B. P.; Roger, S.; Nierenberg, H.; Redahan, C.; and Sandler, A. N.: Pre-emptive lumbar epidural anaesthesia reduces postoperative pain and patient-controlled morphine consumption after lower abdominal surgery. Pain,, 59: 395-403, 1994.<br /> 44. McQuay, H. J.; Carroll, D.; and Moore, R. A.: Postoperative orthopaedic pain - the effect of opiate premedication and local anesthetic blocks. Pain,, 33: 291-295, 1988.<br /> 45. Katz, J.; Clairoux, M.; Kavanagh, B. P.; Roger, S.; Nierenberg, H.; Redahan, C.; and Sandler, A. N.: Pre-emptive lumbar epidural anaesthesia reduces postoperative pain and patient-controlled morphine consumption after lower abdominal surgery. Pain,, 59: 395-403, 1994.<br /> 46. Whitford, A.; Healy, M.; Joshi, G. P.; McCarroll, S. M.; and O’Brien, T. M.: The effect of tourniquet release time on the analgesic efficacy of intraarticular morphine after arthroscopic knee surgery. Anesth. and Analg., 84: 791-793, 1997.<br /> 47. Denti, M.; Randelli, P.; Bigoni, M.; Vitale, G.; Marino, M. R.; and Fraschini, N.: Pre- and postoperative intra-articular analgesia for arthroscopic surgery of the knee and arthroscopic-assisted anterior cruciate ligament reconstruction. A double-blind randomized prospective study. Knee Surg Sports Traumat. Arthrosc., 5: 206-212, 1997.<br /> 48. El-Mansouri, M.; Reuben, S. S.; Sklar, J.; Gibson, C.; and Maciolek, H.: Preemptive analgesic effect of intraarticular morphine for arthroscopic knee surgery. Anesthesiology, 91: 953, 1999.<br /> 49. Smith, I.; Shively, R. A.; and White, P. F.: Effects of ketorolac and bupivacaine on recovery after outpatient arthroscopy. Anesth. and Analg., 75: 208-212, 1992.<br /> 50. Reuben, S. S, and Connelly, N. R.: Postoperative analgesia for outpatient arthroscopic knee surgery with intraarticular bupivacaine and ketorolac. Anesth. and Analg., 80: 1154-1157, 1995<br /> 51. Finnegan, M. A.: Off-label use of ketorolac. Anesth. and Analg., 83: 197, 1996.<br /> 52. Wilkinson, D. J.: Intraarticular ketorolac. Anesth. and Analg., 82: 433, 1996.<br /> 53. Ball, H. T.; Moore, J.; and Treadwell, B. V.: Ketorolac injectable NSAID effect on in vitro bovine cartilage degradation. Trans. Orthop. Res. Soc., 18: 726, 1993.<br /> 54. Reuben, S. S, and Connelly, N. R.: Postarthroscopic meniscus repair analgesia with intraarticular ketorolac or morphine. Anesth. and Analg., 82: 1036-1039, 1996.<br /> 55. Wang, J. J.; Ho, S. T.; Lee, S. C.; Tang, J. J.; and Liaw, W. J.: Intraarticular triamcinolone acetonide for pain control after arthroscopic knee surgery. Anesth. and Analg., 87: 1113-1116, 1998.<br /> 56. Gray, R. G.; Tenenbaum, J.; and Gottlieb, N. L.: Local corticosteroid injection treatment in rheumatic disorders. Sem. Arthrit. and Rheumat., 10: 231-254, 1981.<br /> 57. Grillet, B, and Dequeker, J.: Intra-articular steroid injection. A risk-benefit assessment. Drug Safety, 5: 205-211, 1990.<br /> 58. Gentili, M.; Juhel, A.; and Bonnet, F.: Peripheral analgesic effect of intra-articular clonidine. Pain, 64: 593-596, 1996.<br /> 59. Joshi, W.; Reuben, S. S.; Kilaru, P. R.; Sklar, J.; and Maciolek, H.: Postoperative analgesia for outpatient arthroscopic knee surgery with intraarticular clonidine and/or morphine. Anesth. and Analg., 90: 1102-1106, 2000.<br /> 60. Reuben, S. S, and Connelly, N. R.: Postoperative analgesia for outpatient arthroscopic knee surgery with intraarticular clonidine. Anesth. and Analg., 88: 729-733, 1999.<br /> 61. Gaumann, D. M.; Brunet, P. C.; and Jirounek, P.: Clonidine enhances the effects of lidocaine on C-fiber action potential. Anesth. and Analg., 74: 719-725, 1992.<br /> 62. Butterworth, J. F V, and Strichartz, G. R.: The alpha 2-adrenergic agonists clonidine and guanfacine produce tonic and phasic block of conduction in rat sciatic nerve fibers. Anesth. and Analg., 76: 295-301, 1993.<br /> 63. Nakamura, M, and Ferreira, S. H.: Peripheral analgesic action of clonidine: mediation by release of endogenous enkephalin-like substances. European J. Pharmacol, 146: 223-228, 1988.<br /> 64. Joshi, W.; Reuben, S. S.; Kilaru, P. R.; Sklar, J.; and Maciolek, H.: Postoperative analgesia for outpatient arthroscopic knee surgery with intraarticular clonidine and/or morphine. Anesth. and Analg., 90: 1102-1106, 2000.Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-5288224052623360292010-07-07T03:13:00.000-07:002010-07-07T03:14:14.014-07:00Jangan Remehkan Perlindungan Kepala, Cegahlah Cedera Kepala!*<br /> Pendahuluan<br /> Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan sekitar 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak kenaikan frekuensi cedera kepala. 1,2<br /> Kasus cedera kepala paling banyak mengenai kelompok usia produktif antara 15–44 tahun dan lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. 2<br /><br /> Anatomi dan Fisiologi Kepala<br /> Anatomi Kepala<br /> A. Kulit Kepala<br /> Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium (3,5).<br /> Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak (6,3).<br /><br /> Gambar 1. Lapisan Kranium<br /> Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii (2,7). Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital (5,8). Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (3).<br /> C. Meningen<br /> Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :<br /> 1. Dura mater<br /> Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal (5). Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat (3).<br /> Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media) (3).<br /> 2. Selaput Arakhnoid<br /> Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang (3). Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis (5). Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (3).<br /> 3. Pia mater<br /> Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri (3). Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (5).<br /> D. Otak<br /> Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg (8). Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum (5).<br /> Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus (8). Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (3,9).<br /><br /> Gambar 2. Lobus-lobus Otak<br /><br /> E. Cairan serebrospinalis<br /> Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial (3). Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari (11).<br /> F. Tentorium<br /> Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (3).<br /> G. Perdarahan Otak<br /> Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (5).<br /> Fisiologi Kepala<br /> Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg (8). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap (3).<br /> Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie (3).<br /> Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup (8). Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya (3,12). ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO (3).<br /> -<br /> Cedera Kepala<br /> Definisi dan Epidemiologi<br /> Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri (6,13,14). Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (15). Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada kepala (16).<br /> Klasifikasi<br /> Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi (3,17).<br /> Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;<br /> 1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul (3,17). Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak (2).<br /> 2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (3,17).<br /> Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;<br /> 1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak (3,17). Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak (11).<br /> 2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan (3,17).<br /> Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma Scale (GCS) (3,17). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15 (6,18,19). Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi (3,7,17,18):<br /> 1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.<br /> 2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,<br /> 3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.<br /> Patofisiologi<br /> Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala (6). Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri (20).<br /> Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu (6):<br /> 1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,<br /> 2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,<br /> 3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).<br /> Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak (6).<br /> Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan (22). Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan (22).;<br /> Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil. Otak pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak bagian depan.<br /> Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi pergerakan kepala ke depan.<br /> Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala skunder (1,23). Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal (1,23,24,25).<br /> Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik (1). Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita (3).<br /> Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi) (1,23).<br /> Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serenri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak (6,23,26).<br /> Pemeriksaan klinis<br /> Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan (6,27). Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional (6,26,28).<br /> Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (3,6,17)<br /> Glasgow Coma Scale Nilai<br /> Respon membuka mata (E)<br /> Buka mata spontan<br /> Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara<br /> Buka mata bila dirangsang nyeri<br /> Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun<br /> 4<br /> 3<br /> 2<br /> 1<br /> Respon verbal (V)<br /> Komunikasi verbal baik, jawaban tepat<br /> Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang<br /> Kata-kata tidak teratur<br /> Suara tidak jelas<br /> Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun<br /> 5<br /> 4<br /> 3<br /> 2<br /> 1<br /> Respon motorik (M)<br /> Mengikuti perintah<br /> Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan<br /> Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan<br /> Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal<br /> Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal<br /> Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi<br /> 6<br /> 5<br /> 4<br /> 3<br /> 2<br /> 1<br /> Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3<br /> Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala didak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita (6,28).<br /> CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala (29,30). CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>(3). CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak (29,30,31). Selain itu juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi (6,30). Pada pasien cedera kepala berat, penundaan transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting (3).<br /> *<br /> Transportasi penderita cedera kepala<br /> Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera kepala sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan medis yang cepat, tepat dan aman (2,32). Karena keterlambatan sampai di rumah sakit, 10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika Serikat meninggal (3). Pada penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan pernafasan, syok hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial meninggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler, karena itu perlu penanganan yang cepat (6). Tindakan gawat darurat yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan penderita yaitu; menjaga kelancaran jalan nafas (air way), oksigenasi yang adekuat, resusitasi cairan, melindungi vertebra servikalis dan torakolumbal, identifikasi dan stabilisasi perdarahan ekstrakranial, dan menilai tingkat kesadaran penderita (26).<br /> Dalam penganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat penting, karena berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera kepala sekunder yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah hipoksia dan hipotensi (3). Waktu tunggu penderita dirumah sakit untuk penanganan penderita cedera kepala untuk cedera kepala berat <5>(33). Pada penderita cedera kepala berat dengan perdarahan subdural sebaiknya interval waktu kejadian trauma dan tindakan yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan interval waktu lebih dari 12 jam prognosis buruk (17). Seelig et al telah melakukan penelitian tentang pentingnya penanganan dan transportasi yang cepat pada penderita dengan cedera kepala berat tertutup dan perdarahan subdural akut. Penderita dengan hematoma yang dievakuasi lebih kurang 4 jam, angka kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik. Sedangkan penderita yang dioperasi diatas 4 jam, angka kematiannya 90% dan kurang dari 10 % dengan keluaran baik (4).<br /> Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera kepala yaitu; terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya delakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang lain (1).<br /> Pengukuran keluaran penderita cedera kepala<br /> Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20% (19). Sebagian besar penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas mencapai 75% (3).<br /> Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera, lokasi cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses sensorik (melihat, mendengar, meraba, mengecap dan menghidu), berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang, dan keadaan sosial yang tidak normal) (27).<br /> Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit (32,34). Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala (1). Untuk keluaran penderita, pengukuran standar yang biasa digunakan adalah Glasgow Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan Bond (1975) (2,26,35).<br /> Tabel 2.2 glasgow outcome scale (35)<br /> Skore Kategori Keterangan<br /> 1<br /> 2<br /> 3<br /> 4<br /> 5 Death (meninggal)<br /> Vegetative state<br /> Severe disability<br /> Moderate disability<br /> Good recovery Merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Penderita menjadi sadar kembali dan meninggal setelah itu karena komplikasi skunder dan penyebab lain.<br /> Penderita tidak memberikan respon dan tidak bisa berbicara untuk beberapa waktu kedepan. Penderita mungkin dapat membuka mata dan menunjukkan siklus tidur dan bangun tetapi fungsi dari korteks serebral tidak ada.<br /> Membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari disebabkan karena kecacatan mental atau fisik, biasanya kombinasi antara keduanya. Kecacatan mental yang berat kadang-kadang juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini pada penderita dengan kecacatan fisik sedikit atau tidak ada.<br /> Dapat berjalan-jalan menggunakan transportasi umum dan bekerja di tempat-tempat tertentu (dengan perlindungan) dan dapat beraktifitas bebas sejauh kegiatan tersebut tidak mengkhawatirkan. Ketidakmampuan(kecacatan) penderita mencakup perubahan derajat dari dispasia, hemiparise, atau ataksia maupun berkurangnya intelektual dan daya ingat dan perubahan personalitas. Lebih mampu untuk melakukan hal-hal protektif diri.<br /> Dapat melanjutkan kehidupan normal sekalipun terjadi keadaan defisit neurologis<br /> Evaluasi/taksiran penilaian praktis dari keluaran penderita cedera kepala berat.<br /> GOS dibagi menjadi 5 skala yaitu: good recovery, moderate disability, severe disability, vegetative dan death (2,26,35). Dari skala di atas dapat dibagi menjadi keluaran baik/favorable outcome (good recovery dan moderate disability) dan keluaran buruk/unfavorable outcome (severe disability, vegetative dan dead) (26). Cederatic Coma Data Bank menganalisa 760 penderita cedera kepala dan mengidentifikasi 5 faktor yang berhubungan dengan keluaran buruk yaitu; umur penderita diatas 60 tahun, GSC <5,>(29).<br /> Data dari Rosner, Marion and rekan kerjanya melaporkan total penderita 241 orang dengan GCS <7,>(26).<br /> Dari data Journal of Nuerotaruma ada beberapa penelitan terbaru yang berhubungan dengan tingkat keparahan ataupun keluaran penderita cedera kepala terutama penderita cedera kepala berat. Kadar magnesium serum yang rendah berhubungan dengan keluaran buruk pada penderita setelah cedera kepala berat. Respon stres berperan oenting dalam penurunan konsentrasi magnesium. Serum hipomagnesemia menjadi independent marker untuk beratnya cedera kepala (36). Penderita cedera kepala dengan usia 75 tahun atau lebih secara signifikan tidak dapat bertahan hidup setelah tindakan bedah dari pada penderita muda (14-64 tahun) (37). Von Willebrand Factor (VWF) dikenal sebagai biomaker dari cedere pada endotelial. Peningkatan dari kadar serum VWF terjadi karena aktivasi endotelial pada cedera kepala berat. Peningkatan serum VWF pada cedera kepala cerat merupakan tanda dari keluaran buruk dari penderita (38). High intracranial pressure (HICP) adala komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya dari cedera kepala, berat dan durasi HICP berhubungan dengan keluaran buruk penderita dan memerlukan terapi yang intensif (39).<br /> Komplikasi<br /> Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh (6,31).<br /> Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy (6,31).<br /> Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain (6,31).<br /> Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda (6,31).<br /> Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran (6,31).<br /> Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan terjadinya penyakit alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera (6,31).<br /> 2.2.8 Penatalaksanaan<br /> Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit (1). Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Advanced Cardiac Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat (3).<br /> Penatalaksanaan penderita cedera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak (3).<br /> Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal (1).<br /> Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka (1).<br /> Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial (1).<br /> Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea (3,29).<br /> Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>(3).<br /> Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan (3).<br /> Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm (3,29).<br /><br /> DAFTAR PUSTAKA<br /> 1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeon, 1997 : 195-227.<br /> 2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998 : 147-176.<br /> 3. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.<br /> 4. Mc Khann GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital Care of the Head-Injuried Patient. Dalam : Textbooks of Neurotrauma. Mc Graw Hill. 103-112<br /> 5. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.<br /> 6. Markam S, Atmadja DS, Budijanto A. Cedera Kepala Tertutup. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999; 4-112<br /> 7. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System LLC, 2003.<br /> 8. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of Surgery. 4th ed. Elsevier Churchill Livingstone, 2007; 551-61.<br /> 9. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier Saunders, 2006; 685-97.<br /> 10. Putz R, Pabst R. Sobotta:Atlas der Anatomie des Menschen. 22nd ed. Suyono J, Sugiharto L, Novrianti A, Liena, penerjemah. Sobotta:Atlas Anatomi Manusia. Edisi 22. Jilid 1. Jakarta: EGC, 2007.<br /> 11. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th ed. McGraw-Hill, 2005; 1615-20.<br /> 12. Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic 929: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm<br /> 13. Bedong MA. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan Penetalaksanaannya. Mei 2001 [31 Agustus 2007];. Diunduh dari: http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm<br /> 14. Perez E. Head Injury.University of Maryland Medical Center, 1 Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 28: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.umm.edu/ ency/ article/000028.htm<br /> 15. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006 [4 September 2007]. Diunduh dari: http://www.biausa.org/pages/type_of_brain_injury_ .htm<br /> 16. Olson DA. Head Injury. 2 Oktober 2006 [20 September 2007]; Topic 153: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/neuro/topic153.htm<br /> 17. Valadka BA, Narayan RK. Emergency Room Management of the Head Injuried Patient. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill.119-134.<br /> 18. Stein SC. Classification of the Head Injury. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill. 31-38.<br /> 19. Batjer HH, Loftus CM, Textbook of Neurological Surgery. Principles and Practise. Volume 3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003; 2795-2814.<br /> 20. Homeier BP. Head Injuries. Durani Y, reviewer. Mei 2007 [20 September 2007]. Diunduh dari: http://www.kidshealth.org/parent/firstaid_safe/emergencies/ head_injury.htm<br /> 21. Mt. Drablo Adult Educaation. TBI Backgraoud Information. Juli 2007 [17 Desember 2007]. Diunduh dari: http://www.mdusd.k12.ca.us/adulted/ontrack/ brain.htm<br /> 22. Gerdes SL. Some Mechanism of Traumatic Brain Injury. 2007 [17 Desember 2007]. Diunduh dari: http://www.nebraskabraininjurylawyer.com/how.html<br /> 23. Miller JD, Piper IR, Jones PA. Pathophysiology of Head Injury. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill. 61-68.<br /> 24. Bhangu AA, Keighley MR. Head Injury. Dalam: Flesh and Bones of Surgery. Mosby Elsevier, 2007; 16-17.<br /> 25. Rappaport WA, Brannan S. Head injury. Dalam: Surgery. Mosby Elsevier, 2005; 216-18.<br /> 26. Yaumans JR. Trauma. Dalam: Neorological surgery. 4th ed. Volume 3. WB Saunders Company, 1996; 1531-1618.<br /> 27. National Institude of Neurological Disorders and stroke. Traumatic Brain Injury:Hope Through Research. 24 Agustus 2007 [20 September 2007]. Diunduh dari: http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/detail_tbi.htm<br /> 28. Lu JJ, Dacey RG. Neurosurgical Emergencies. Dalam: The Washington Manual of Surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002.<br /> 29. Shepard S. Head Trauma. 20 Agustus 2004 [20 September 2007]; Topic 2820: [9 screens]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/med/topic2820.htm<br /> 30. Aldrich EF, Chin LS, Dipatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery:Traumatic Head Injury. Dalam: Sabiston Textbook of Surgery:The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 16th ed. WB Saunders Company, 2001; 1529-33.<br /> 31. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Traumatc Brain Injury. 20 September 2006 [20 September 2007]. Diunduh dari: http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552<br /> 32. Hatfield R, Simpson B, Sutcliffe J. Head Injury and Concussion:A Guide for Patients and cares. The brain trauma Foundation. 19 Juli 2005 [18 September 2007]. Diunduh dari: http://www.brainandspine.org.uk/information/ publications/brain_and_spine_booklets/head_injury_and_concussion/introduction.html<br /> 33. Wijanarka A, Dwiphrahasto. Implementasi Clinical Governance: Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat. Desember 2005 [4 September 2007]; volume 8; [8 screens]. Diunduh dari: http://jmpk-online.net/files/05agus.pdf<br /> 34. Turkington CA. Head Injury:Gale Encyclopedia of Medicine. 14 Agustus 2006 [18 September 2007]. Diunduh dari: http://www.healthatoz.com/healthatoz/ Atoz/common/standard/transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/head_injury.jsp<!–[endif]–><br /> 35. Whyte J, Hart T, Laborde A, Rosenthal M. Rehabilitation Issues in Traumatic Brain Injury. Dalam: Physical Medicine and Rehabilitation, Principles and Practice. 4th ed. Volume 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1640-85.<br /> 36. Stippler M, Fischer MR, Puccio AM, Wisniewski SR, Carson-walter EB, Dixon CE, et al. Serum and cerebrospinal Fluid Magnesium in Severe Traumatic Brain Injury Outcome. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 277 [1347-54]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus /10.1089/neu.2007.0277<br /> 37. Bouras T, Stranjalis G, Korfias S, Andrianakis I, Pitaridis M, Sakas DE. Head Injury Mortality in a Geriatric Population:Differentiating an “Edge” Age Group with Better Potential for Benefit than Older Poor-Prognosis Patients. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 370 [1355-61]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus/10.1089/ neu.2005.370<br /> 38. Oliveira COD, Reimer AG, Da Rocha AB, Grivicich I, Schneider RF, Roisenberg I, et al. Plasma von Willebrand Factor Levels Correlate with Clinical Outcome of Severe Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 159 [1331-38]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus /10.1089/neu.2006.0159<br /> 39. Stocchetti N, Colombo A, Ortolano F, Videtta W, Marchesi R, Longhi L, et al. Time Course of Intracranial Hypertension after Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 300 [1339-46]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus/10.1089/ neu.2007.0300<br /> 40. Ghazali MV, Sastromihardjo S, Soedjerwo SR, Soelaryo T, Pramulyo H. Studi Cross Sectional. Dalam: Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto, 2002; 97-109Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-35300417331121426492010-07-07T03:12:00.001-07:002010-07-07T03:13:06.756-07:00LoveLOVE comes from ETERNITY<br />Initial of creation<br />Ending of nothing<br />The LIFE of universe<br /><br />GOD is LOVE<br />LOVE is GOD<br />Believe in LOVE when alone<br />Believe in GOD when He is silentErfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-11590314373536217722010-07-07T03:11:00.000-07:002010-07-07T03:12:33.016-07:00Aneurisma Otak: Bom Waktu di KepalaPendahuluan<br />Aneurisma serebral (aneurisma otak) adalah kelainan di mana terjadi kelemahan pada dinding pembuluh darah otak, baik pembuluh darah nadi maupun pembuluh darah balik (tunika media dan tunika intima dari arteri maupun vena) yang menyebabkan penggelembungan pembuluh darah otak tersebut secara terlokalisir. 1<br /><br />Pembuluh darah nadi (arteri) normal memiliki 3 lapisan 2:<br />1. Tunika intima (lapisan terdalam yang merupakan lapisan endotelial)<br />2. Tunika media (terdiri dari otot polos)<br />3. Tunika adventisia (terdiri dari jaringan ikat)<br /><br />Dinding kantung aneurisma terdiri hanya terdiri dari tunika intima dan tunika adventisia. Sedangkan tunika media berakhir pada daerah pertemuan kantung aneurisma dengan pembuluh darah induk. Tunika intima biasanya normal walau di bawahnya sering terjadi proliferasi sel. Namun, membran elastik di dalam tunika intima, berkurang jumlahnya atau bahkan tidak ada. Sedangkan tunika adventisia pada aneurisma biasanya terinfiltrasi oleh sel-sel radang seperti limfosit dan fagosit. 2<br /><br />Kantung aneurisma sendiri sering berisi sisa-sisa pembekuan darah (trombotik) dan pembuluh darah induk dari kantung aneurisma seringkali mengalami penumpukan lemak dan pengapuran (aterosklerotik) . 2<br />Sebenarnya aneurisma dapat terjadi di pembuluh darah mana saja di tubuh kita. Apabila aneurisma terjadi pada pembuluh darah di dada, beberapa gejalanya adalah rasa sakit di dada, batuk yang menetap, dan kesulitan untuk menelan. Pada perokok sering terjadi aneurisma pada pembuluh darah di lutut, yang menimbulkan gejala seperti tertusuk-tusuk di belakang lutut. 1<br />Apabila aneurisma ini terjadi pada pembuluh darah di dasar tengkorak, gejalanya dapat berupa sakit kepala yang hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai atau tidak disertai dengan muntah. Komplikasi dari aneurisma otak dapat menyebabkan terjadinya pecahnya pembuluh darah di otak sehingga terjadi perdarahan subaraknoid, intraserebral, subdural, infark serebri, atau hidrosefalus. 1<br />Lokasi aneurisma biasanya terjadi pada pembuluh darah nadi (arteri) di dasar otak, yaitu di bagian depan Sirkulus Wilisi (kira-kira 85%) yang memberi suplai darah ke area depan dan tengah otak 1:<br />1. Arteri serebri anterior dan komunikans anterior (30-35%)<br />2. Percabangan Arteri karotis interna dan Arteri komunikans posterior (30–35%)<br />3. Percabangan Arteri serebri media (20%)<br />4. Arteri vertebro-basilaris (15%)<br />Aneurisma yang terjadi pada bagian belakang pembuluh darah otak, biasanya disebabkan oleh trauma. 1<br /><br />Insidensi dan etiologi/penyebab<br />Umumnya diderita oleh orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun dengan persentase 6% di seluruh dunia dan angka kematian lebih dari 50%. Aneurisma menimbulkan gejala setelah umur 40-60 tahun. Wanita dewasa lebih banyak mengalami aneurisma serebral dibandingkan pria dewasa (3: 2). 1,3 Aneurisma dapat juga terjadi pada anak-anak dengan jumlah anak laki-laki sedikit lebih banyak daripada anak perempuan. Pada anak-anak biasa disebabkan oleh kejadian setelah trauma atau jamur. Sedangkan pada dewasa disebabkan oleh proses degeneratif.<br />Penyebab tersering dari aneurisma serebral 2:<br />1. Trauma pembuluh darah yang diinduksi oleh kelainan hemodinamika dan degeneratif seperti tekanan darah tinggi.<br />2. Penumpukan lemak dan pengapuran pembuluh darah (aterosklerosis), terutama pada aneurisma tipe fusiformis.<br />3. Kelainan pembuluh darah seperti displasia fibromuskular.<br />4. Keadaan di mana aliran darah sangat tinggi, seperti malformasi arteri vena dan fistula<br />Penyebab lain yang jarang terjadi antara lain karena trauma, infeksi, obat-obatan, dan tumor (neoplasma primer maupun metastasis).<br /><br />Klasifikasi<br />Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat dibedakan menjadi 2:<br />1. Aneurisma tipe fusiformis (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami kelemahan dinding melingkari pembuluh darah setempat sehingga menyerupai badan botol. Paling sering disebabkan oleh aterosklerosis (penumpukan lemak dalam pembuluh darah<br />2. Aneurisma tipe sakuler atau aneurisma kantong (90–95%). Pada aneurisma ini, kelemahan hanya pada satu permukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk seperti kantong dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma dasar tengkorak, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler. Berdasarkan diameternya aneurisma sakuler dapat dibedakan atas:<br />- Aneurisma sakuler kecil dengan diameter < 15 mm.<br />- Aneurisma sakuler sedang dengan diameter antara 15- 25 mm.<br />- Aneurisma sakuler besar dengan diameter > 25-50 mm.<br />- Aneurisma sakuler raksasa dengan diameter > 50 mm.<br />Aneurisma Berry adalah aneurisma sakular yang leher dan batangnya menyerupai buah beri.<br />3. Aneurisma tipe disekting ( < 1% ).<br /><br />Patofisiologi.<br />Aneurisma sakular berkembang dari defek lapisan otot (tunika muskularis) pada arteri. Perubahan elastisitas membran dalam (lamina elastika interna) pada pembuluh nadi (arteri) otak, dipercayai melemahkan dinding pembuluh darah dan mengurangi daya tahan mereka terhadap perubahan dalam pembuluh darah. Perubahan ini banyak terjadi pada pertemuan pembuluh darah, dimana aliran darah turbulen dan tahanan aliran darah pada dinding arteri paling besar. 2<br />Aneurisma fusiformis berkembang dari arteri serebri yang berliku yang biasanya berasal dari pembuluh darah vertebro basiler dan diameternya bisa mencapai beberapa sentimeter. Pasien aneurisma fusiformis khas mengalami gejala kompresi saraf otak, tetapi tidak selalu disertai perdarahan subaraknoid. 2<br />Aneurisma yang disebabkan oleh diseksi terjadi karena adanya nekrosis atau trauma pada arteri. Berbentuk seperti gumpalan darah sepanjang pembuluh darah sehingga lumen (rongga) pembuluh darah membuka, padahal harusnya kolaps (tertutup) secara otomatis. 2<br />Aneurisma serebral dapat berjumlah lebih dari (multipel) pada 10-30 % kasus. Kira-kira 75 % dari kasus multipel aneurisma tersebut memiliki 2 aneurisma, 15 % memiliki 3 aneurisma, dan 10 % memiliki lebih dari 3 aneurisma. Aneurisma multipel lebih banyak diidap oleh wanita daripada pria, yaitu sekitar 5:1, di mana perbandingan ini akan meningkat menjadi 11:1 pada pasien yang memiliki lebih dari 3 aneurisma. 3<br />Aneurisma multipel juga berhubungan dengan vaskulopati, seperti penyakit fibromuskuler dan penyakit jaringan ikat yang lain. Aneurisma multipel dapat terjadi simetris bilateral (disebut aneurisma cermin) atau terletak asimetris pada pembuluh darah yang berbeda. Multipel aneurisma dapat terjadi pada satu pembuluh darah nadi (arteri) yang sama.<br /><br />Gejala<br />Aneurisma serebral hampir tidak pemah menimbulkan gejala, kecuali terjadi pembesaran dan menekan salah satu saraf otak sehingga memberikan gejala sebagai kelainan saraf otak yang tertekan.<br />Aneurisma yang kecil dan tidak progresif, hanya akan menimbulkan sedikit bahkan tidak menimbulkan gejala. Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah. Sebelum aneurisma berukuran besar mengalami ruptur (pecah), pasien akan mengalami gejala seperti 1:<br />- Sakit kepala berdenyut yang mendadak dan berat<br />- Mual dan muntah<br />- Gangguan penglihatan (pandangan kabur/ganda, kelopak mata tidak membuka)<br />- Kaku leher<br />- Nyeri daerah wajah<br />- Kelumpuhan sebelah anggota gerak kaki dan tangan<br />- Denyut jantung dan laju pernapasan naik turun<br />- Hilang kesadaran (kejang, koma, kematian)<br />- Tidak mengalami gejala apapun<br /><br />Pecahnya aneurisma serebral adalah berbahaya dan biasanya menimbulkan perdarahan di dalam selaput otak (meninges) dan otak sehingga mengakibatkan perdarahan subaraknoid (PSA) dan perdarahan intraserebral (PIS) yang keduanya mirip gejala stroke. Juga dapat terjadi perdarahan ulang, hidrosefalus (akumulasi berlebihan dari cairan otak), vasospasme (penyempitan pembuluh darah), dan aneurisma multipel.<br /><br />Risiko ruptur (pecahnya) aneurisma serebral tergantung pada besarnya ukuran aneurisma. Makin besar ukurannya, makin tinggi risiko untuk pecah. Angka ruptur aneurisma serebral kira-kira 1,3% per tahun. 3 Sebenarnya dapat dilakukan skrining pencitraan, tetapi tidak efektif dari segi pembiayaan. 4<br /><br />Tingkat keparahan dari perdarahan subaraknoid (PSA) yang terjadi pada ruptur aneurisma serebral, dapat menggunakan Skala Hunt-Hess 1:<br /><br />1. Grade 1: asimtomatik (tidak bergejala) atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk ringan (angka harapan hidup sebesar 70 %)<br />2. Grade 2: sakit kepala ringan sampai sedang, kaku kuduk, tidak ada gangguan saraf selain kelumpuhan saraf otak (angka harapan hidup sebesar 60 %)<br />3. Grade 3: somnolen (mengantuk) dengan gangguan saraf minimal (angka harapan hidup 50%)<br />4. Grade 4: stupor, hemiparesis (lumpuh separuh tubuh), awal dari kekakuan deserebrasi, dan gangguan vegetatif (angka harapan hidup 20 %)<br />5. Grade 5: koma dalam, kekakuan deserebrasi (angka harapan hidup 10%)<br />6. Grade 6: mati batang otak (sesuai dengan kriteria perdarahan subaraknoid grade 6)<br />Klasifikasi Fisher Grade mengelompokkan penampakan perdarahan subaraknoid berdasarkan pemeriksaan CT scan 1:<br />1. Grade 1: Tidak ada perdarahan.<br />2. Grade 2: perdarahan subaraknoid dengan ketebalan < 1 mm<br />3. Grade 3: perdarahan subaraknoid dengan ketebalan >1 mm<br />4. Grade 4: perdarahan subaraknoid tanpa memandang tebal perdarahan tetapi disertai perdarahan intraventrikuler atau perluasan perdarahan ke jaringan otak (lapisan parenkim otak)<br />Klasifikasi Fisher Grade lebih jelas mendeskripsikan perdarahan subaraknoid (PSH), tetapi kurang berguna dalam hal prognostik dibandingkan dengan Skala Hunt-Hess.<br /><br />Diagnosis.<br />Di negara maju, aneurisma pada stadium dini lebih banyak ditemukan. Hal ini karena banyak orang yang menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) sehingga aneurisma pada tingkat awal dapat terlihat jelas. 1<br />Kadang aneurisma tidak sengaja ditemukan saat ”check up” dengan menggunakan seperti CT scan, MRI atau angiogram. Diagnosis pasti aneurisma pembuluh darah otak, beserta lokasi dan ukuran aneurisma dapat ditetapkan dengan menggunakan pemeriksaan angiogram yang juga dipakai sebagai panduan dalam pembedahan. 1<br />Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan, kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Jika diperlukan, bisa dilakukan pungsi lumbal untuk melihat adanya darah di dalam cairan serebrospinal. Kemungkinan juga bisa terjadi leukositosis yang tidak terlalu berarti.1<br />Vasospasme (penyempitan pembuluh darah)<br />Vasospasme (penyempitan pembuluh darah) merupakan komplikasi dari perdarahan subaraknoid yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma serebral. Biasa terjadi kira-kira 1 sampai 2 minggu setelah terjadinya perdarahan awal di mana terjadi spasme pembuluh darah yang akhirnya menyebabkan stroke. Penyebab dari vasospasme tersebut diperkirakan terjadi secara sekunder akibat proses inflamasi ketika darah dalam ruang subaraknoid mengalami penyerapan. Terlihat sel-sel makrofag dan netrofil yang masuk ke dalam ruang subaraknoid untuk memfagositosis eritrosit dan hemoglobin ekstrakorpuskuler, terjebak dalam subaraknoid, mati dan mengalami degranulasi 3-4 hari setelahnya, serta mengeluarkan banyak endotelin dan radikal bebas yang menginduksi vasospasme. Namun, penyempitan pembuluh darah hanyalah satu komponen dari proses inflamasi yang akan berlanjut lagi. 5,6<br />Vasospasme diamati dengan banyak cara. Salah satunya dengan metode noninvasif seperti Doppler transkranial, merupakan suatu metode yang mengukur aliran darah dalam arteri otak menggunakan gelombang ultrasonik. Ketika pembuluh darah menyempit karena vasospasme, aliran darah juga akan terdeteksi meningkat. Jumlah darah yang mencapai otak juga dapat diukur dengan CT scan atau MRI atau nuclear perfusion scanning. Pemeriksaan definitif, tetapi invasif untuk mendeteksi vasospasme adalah dengan angiografi serebral. 5<br />Secara umum disepakati bahwa untuk mencegah atau mengurangi risiko kerusakan saraf permanen, bahkan kematian, maka vasospasme harus diterapi secara agresif. Hal ini dilakukan dengan pemberian obat dan cairan secara dini, dikenal sebagai terapi “Tripel H” untuk mengendalikan aliran darah yang menuju dan beredar di sekitar pembuluh nadi (arteri) otak yang tersumbat5:<br />1. Hipertensi (tekanan darah tinggi)<br />2. Hipervolemi (kelebihan cairan)<br />3. Hemodilusi (pengenceran darah)<br />Untuk pasien yang tidak efektif diterapi dengan “Tripel H”, dapat diterapi dengan memasukkan balon angioplasti ke dalam pembuluh darah nadi (arteri) yang tersumbat untuk melebarkan pembuluh darah nadi tersebut sehingga meningkatkan aliran darah ke otak. Direkomendasikan bahwa evaluasi aneurisma dilakukan pada pusat-pusat spesialistik yang menyediakan tenaga ahli bedah saraf maupun ahli radiologi intervensi, yang keduanya sama-sama dapat melakukan angioplasti tanpa harus saling merujuk. 5<br />Terapi<br />Untuk aneurisma yang belum pecah (ruptur), terapi ditujukan untuk mencegah agar aneurisma tidak pecah, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut dari aneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah pecah (ruptur), tujuan terapi adalah untuk mencegah perdarahan lebih lanjut dan untuk mencegah atau membatasi terjadinya vasospasme. Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan. 1<br />Terapi darurat untuk pasien yang mengalami ruptur (pecah) aneurisma serebral mencakup pemulihan fungsi pernapasan dan mengurangi tekanan dalam rongga tengkorak (tekanan intrakranial). Akhir-akhir ini, ada dua alternatif terapi untuk tatalaksana aneurisma serebral, yaitu kliping operatif dan koiling endovaskuler. Jika memungkinkan, kedua jenis terapi ini dilakukan pada 24 jam pertama setelah perdarahan untuk mengatasi aneurisma yang pecah, serta mengurangi risiko perdarahan ulang.6,7<br /><br />Kliping operatif<br />Kliping operatif diperkenalkan pada tahun 1937. Terapi ini mencakup kraniotomi (pembukaan tengkorak), melihat aneurismanya, dan menutup dasar aneurisma dengan klip yang dipilih khusus sesuai dengan area terjadinya aneurisma. Pemasangan klip logam kecil di dasar aneurisma bertujuan supaya bagian dari pembuluh darah yang menggelembung itu tertutup dan tidak bisa dilalui oleh darah. 1 Teknik operasi ini telah berkembang dan menurunkan angka kekambuhan aneurisma.<br />Koiling endovaskuler<br />Koiling endovaskuler diperkenalkan tahun 1991. Teknik ini dilakukan dengan pemasangan kateter melalui pembuluh nadi paha (Arteri femoralis) menuju aorta, pembuluh nadi otak, dan akhirnya ke aneurismanya. Dengan bantuan sinar X, dipasang koil logam di tempat aneurisma pembuluh darah otak tersebut. Ketika kateter berada di dalam aneurisma, koil platina didorong masuk ke dalam aneurisma, lalu dilepaskan. Setelah itu dialirkan arus listrik ke koil logam tersebut, dan diharapkan darah di tempat aneurisma itu akan membeku dan menutupi seluruh aneurisma tersebut. 1<br />Koil-koil ini akan merangsang reaksi pembekuan di dalam aneurisma sehingga dapat menghilangkan aneurisma itu sendiri. Teknik ini hanya memerlukan insisi kecil sebagai tempat masuknya kateter. Pada kasus di mana aneurismanya memiliki dasar yang lebar, sebuah sten dipasang pada pembuluh darah nadi sebagai pemegang kumparan, namun studi pemasangan sten jangka lama dalam pembuluh darah otak belum dilakukan.<br /><br />Manfaat dan risiko terapi kliping operatif dan koiling endovaskuler<br />Keduanya memiliki risiko yang sama dalam menimbulkan stroke dan kematian. 8 Namun, percobaan ISAT menunjukkan bahwa risiko ruptur (pecah) aneurisma turun 7% lebih rendah setelah dilakukan terapi koiling endovaskuler daripada terapi kliping operatif. Akan tetapi, terapi koiling endovaskuler memiliki angka kekambuhan yang lebih tinggi setelah dikonfirmasi dengan angiografi.<br />Contohnya, penelitian tahun 2007 di Paris mengindikasikan bahwa 28,6% kekambuhan aneurisma terjadi setelah satu tahun dilakukan koiling endovaskuler dan kekambuhan akan meningkat sejalan lamanya waktu. Akan tetapi, koiling endovaskuler memiliki angka kesembuhan 22,6% lebih tinggi daripada kliping operatif. Hasil penelitian tersebut hampir sama dengan grup penelitian yang lain. 9<br />Namun, tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa semakin tinggi angka kekambuhan setelah koiling endovaskuler, maka semakin tinggi pula risiko perdarahan ulang. Sejauh ini, penelitian ISAT menggarisbawahi bahwa tidak ada peningkatan risiko perdarahan ulang dan angka kematian akibat perdarahan subaraknoid turun 7% setelah terapi koiling endovaskuler. Pada penelitian ISAT, perlunya terapi ulang aneurisma dengan koiling endovaskuler sebesar 6,9 kali lebih besar daripada terapi kliping operatif. 10<br />Oleh karena itu, terlihat bahwa koiling endovaskuler menyebabkan pemulihan pasien aneurisma lebih cepat daripada kliping operatif, tetapi meningkatkan angka kekambuhan setelah terapi. Data untuk aneurisma yang tidak ruptur (pecah), sedang dikumpulkan.<br />Pasien yang menjalani koiling endovaskuler perlu menjalani serangkaian pemeriksaan (seperti MRI/MRA, CTA, atau angiografi) untuk mendeteksi kekambuhan dini. Jika terdeteksi adanya kekambuhan, aneurisma harus diterapi ulang, baik dengan kliping operatif maupun koiling endovaskuler lagi. Risiko kliping operatif sangat tinggi pada pasien yang sebelumnya menjalani terapi koiling endovaskuler. Pada akhirnya, keputusan apakah terapi menggunakan kliping operatif atau koiling endovaskuler, harus dilakukan oleh tim yang telah berpengalaman memakai kedua teknik terapi tersebut.<br /><br />Dilema terapi aneurisma yang tidak ruptur (pecah)<br />Aneurisma yang sudah pecah, harus diterapi untuk mencegah perdarahan ulang (kecuali terjadi ketidakstabilan hemodinamika, usia yang sangat lanjut, atau mati batang otak). Akan tetapi, jika aneurisma tersebut tidak pecah, ini akan menjadi dilema tersendiri. Bahkan jika ingin diterapi, timbul dilema tentang jenis terapi apa yang dipilih.<br />Keputusan dalam memberikan terapi bersifat individualistik dan harus ditetapkan oleh dokter yang berpengalaman. Pemilihan terapi harus memperhatikan riwayat pasien atau risiko jika tidak diterapi. Risiko terapi dan risiko tidak diterapi, bervariasi tergantung faktor pasien atau faktor aneurismanya sendiri. Faktor pasien, misalnya usia dan penyakit penyerta. Sedangkan faktor aneurisma terdiri dari ukuran, lokasi, dan bentuk aneurisma.<br /><br />Risiko riwayat pecahnya aneurisma yang belum pecah, tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, penelitian ISUIA menunjukkan bahwa risiko pecahnya aneurisma berukuran kecil hanya 0,05 % per tahun. 11 Kemudian penelitian ISUIA yang lain menunjukkan bahwa aneurisma berukuran < 7 mm pada pembuluh darah otak bagian depan, memiliki risiko 0% untuk mengalami ruptur (pecah) dalam jangka waktu 5 tahun. Akan tetapi, jika dulunya telah pernah mengalami aneurisma dan jika lokasi aneurisma berada di lokasi lain, (misalnya daerah basalis dan posterior / belakang) tentu risiko ruptur jauh lebih besar.<br /><br />Penelitian ISUIA juga menyatakan bahwa angka kecacatan dan kematian 1 tahun setelah operasi tanpa perdarahan subaraknoid, sebesar 6,5 % untuk pasien berusia < 45 tahun, 14,4 % untuk pasien berusia 45-65 tahun, dan 32 % untuk pasien > 64 tahun. Peneliti menyimpulkan bahwa risiko operasi lebih besar daripada manfaatnya jika pasien memiliki aneurisma <10 mm tanpa perdarahan subaraknoid sebelumnya. Risiko kecacatan dan kematian akibat operasi aneurisma yang belum ruptur (pecah), diperkirakan masing-masing sebesar 4-10,9% dan 1-3 %. 12,13<br /><br />Pada studi bersama aneurisma serebral dan perdarahan subaraknoid, ditemukan bahwa diameter aneurisma yang kritis untuk pecah adalah berukuran 7-10 mm. Penelitian lain banyak juga yang mengungkap tingginya angka pecah aneurisma yang sebelumnya belum pecah. 14, 15 melakukan terapi atau tidak pada aneurisma yang belum ruptur (pecah), memerlukan pertimbangan yang sangat besar. Dokter harus melihat semua data relevan dari penelitian dan riwayat penelitian. Semua ini harus dikonsultasikan dengan pasien, termasuk kondisi khusus, penyakit penyerta, dan keinginan pasien. Beberapa pasien senang memilih terapi logis berdasarkan data statistik. Sebagian pasien lain lebih mengandalkan terapi alternatif. Keputusan membutuhkan waktu, kesabaran, pengalaman, dan pertemuan berulang kali dengan pasien.<br /><br />Prognosis<br />Prognosis pasien dengan aneurisma serebral yang pecah, tergantung luas dan lokasi aneurisma, umur pasien, kesehatan umum, dan kondisi neurologis. 1 Beberapa orang dengan aneurisma serebral yang ruptur (pecah), meninggal setelah perdarahan awal. Orang lain dengan aneurisma serebral, pulih dengan sedikit atau bahkan tidak ada gangguan saraf. Faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan prognosis adalah skala Hunt-Hess dan usia pasien. Umumnya, pasien dengan skala Hunt-Hess grade 1 dan 2 atau berusia lebih muda, memiliki prognosis baik karena dapat terhindar dari kematian ataupun cacat permanen. Sebaliknya, pasien yang berusia lebih tua dengan skala Hunt-Hess yang jelek, memiliki prognosis yang buruk. Secara umum, dua pertiga pasien memiliki prognosis yang buruk, meninggal atau mengidap cacat permanen. 16,17<br /><br />Daftar Pustaka<br />1. Ropper AH, Brown RH. The cerebrovascular diseases. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2005: 718-22.<br />2. Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The central nervous system. In: Kumar V, Abbas A, Fausto N [ed.]. Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadeplhia: Saunders ; 2005:1411–1412..<br />3. Brisman JL, Song JK, Newell DW (August 2006). Cerebral aneurysms. N Engl J Med 355 (9): 928–39.<br />4. Appel, Jacob M. Health care hard to recognize, tough to define, Albany Times Union, Nov. 12, 2009<br />5. Gallo, GL; Rafael Tamargo (October 2006). Leukocyte-endothelial cell interactions in chronic vasospasm after subarachnoid hemorrhage. Neurol. Res 28 (7): 750–8..<br />6. Bederson J, Connolly E, Batjer H, et al. Guidelines for the management of aneurysmal subarachnoid hemorrhage : a statement for healthcare professionals from a special writing group of the Stroke Council, American Heart Association. Stroke. Mar;40(3) 2009;994-1025.<br />7. Subarachnoid Hemorrhage. In: Goldstein L. A Primer on Stroke Prevention and Treatment - An Overview based on AHA/ASA Guidelines. Dallas, TX: Wiley-Blackwell; April 2009.<br />8. Raja PV, Huang J, Germanwala AV, Gailloud P, Murphy KP, Tamargo RJ. Microsurgical clipping and endovascular coiling of intracranial aneurysms: A critical review of the literature. Neurosurgery 62: 1187-1202, June 2008<br />9. Piotin, M; Spelle, L, Mounayer, C, Salles-Rezende, MT, Giansante-Abud, D, Vanzin-Santos, R, Moret, J (May 2007). “Intracranial aneurysms: treatment with bare platinum coils—aneurysm packing, complex coils, and angiographic recurrence.”. Radiology 243 (2): 500–8.<br />10. Campi, A; Ramzi N, Molyneaux AJ, Summers, PE, Kerr, RS, Sneade, M, Yarnold, JA, Rischmiller, J, Byrne, JV (May 2007). “Retreatment of ruptured cerebral aneurysms in patients randomized by coiling or clipping in the International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT).”. Stroke 38 (5): 1538–44.<br />11. Unruptured intracranial aneurysms–risk of rupture and risks of surgical intervention. International Study of Unruptured Intracranial Aneurysms Investigators. N Engl J Med. Dec 10 1998;339(24):1725-33.<br />12. Cloft HJ, Kallmes DF. Aneurysm packing with HydroCoil Embolic System versus platinum coils: initial clinical experience. AJNR Am J Neuroradiol. Jan 2004;25(1):60-2.<br />13. Solomon RA, Fink ME, Pile-Spellman J. Surgical management of unruptured intracranial aneurysms. J Neurosurg. Mar 1994;80(3):440-6.<br />14. Juvela S, Porras M, Heiskanen O. Natural history of unruptured intracranial aneurysms: a long-term follow-up study. J Neurosurg. Aug 1993;79(2):174-82.<br />15. Tsutsumi K, Ueki K, Morita A, et al. Risk of rupture from incidental cerebral aneurysms. J Neurosurg. Oct 2000;93(4):550-3<br />16. Hop, Jeanette; Gabriel Rinkel, Ale Algra, Jan van Gijn (March 1997). “Case-Fatality Rates and Functional Outcome after Subarachnoid Hemorrhage: A Systematic Review.”. Stroke 28 (3): 660–4.<br />17. Ljunggren, B; Sonesson B, Säveland H, Brandt L (1985). Cognitive impairment and adjustment in patients without neurological deficit after aneurysmal SAH and early operation. Journal of Neurosurgery 62 (5): 673–9.Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-54870917758093554912010-07-07T03:08:00.001-07:002010-07-07T03:08:44.967-07:00“Aku”<p>Wahai aku yang menyembah “AKU”,<br />Tidakkah engkau malu telah menyebut dirimu “AKU”?<br />Lihatlah betapa bodohnya dirimu<br />Keangkuhanmu menunjukkan kebodohanmu</p> <p>Wahai aku yang memberkati “AKU”,<br />Engkau laksana anak durhaka pada orangtuamu<br />Karena menganggap dirimu sehakikat dengan SANG PENCIPTA<br />Banyaknya milenium yang kaulewati, tak menghapus kebodohanmu</p> <p>Wahai aku yang menganggap “AKU” bijak,<br />Engkau merasa bijak, padahal tetaplah bodoh<br />Engkau masih tertipu dengan ia yang meliukkan perutnya di atas tanah<br />Sekarang pun engkau tertipu, dan tertipu lagi olehnya</p> <p>Wahai “AKU”yang tertipu oleh malaikat jatuh,<br />Tipuan terbesarnya adalah sembunyi darimu<br />Membuatmu menganggapnya tidak ada<br />Membuatmu menganggap Sang Pencipta juga sirna</p> <p>Wahai “AKU” yang angkuh,<br />Engkau menganggap KEBENARAN ada di dalam dirimu<br />Padahal kau tak lebih dari debu tanah tiada arti<br />Tetapi DIA telah mengangkatmu, sayangnya kembali kau tak berbudi</p> <p>Wahai “AKU” yang berasal dari debu tanah,<br />Kapankah kau berbalik dari kedurhakaanmu?<br />Semua utusan-Nya kau tolak, bahkan kau tertawakan<br />Tidak kau tertawakan, tetapi kau hiraukan</p> <p>Wahai “AKU” yang dikasihi oleh DIA,<br />Berbaliklah dari langkah yang kau anggap bijak<br />Karena pengejaran hikmat adalah sia-sia<br />Tetapi takut akan DIA adalah permulaan pengetahuan</p> <div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30180094&op=1&view=all&subj=319696740207&aid=-1&auser=0&oid=319696740207&id=1023848844"><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/photos-ak-snc1/v2689/19/55/1023848844/n1023848844_30180094_8203915.jpg" alt="" /></a></div>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-17078170023869703962010-07-07T03:06:00.000-07:002010-07-07T03:08:05.314-07:00Apakah Yesus Seorang Yogi?<div class="fsize14 lh20"> <p>Pembahasan yang semakin marak akhir-akhir ini. Sesungguhnya wajar timbul motivasi untuk menghubungkan Yesus dengan kepercayaan apapun karena Yesus adalah tokoh yang sangat populer, tetapi tentu akan menjadi salah jika ini tidak disikapi secara objektif. Seperti penganut kepercayaan Gnostik yang telah kalah di Mahkamah Internasional karena telah membuat injil palsu demi mencampur ajaran Yesus dengan kepercayaan mistik lokal mereka. Mereka membuat injil yang mencatut nama-nama rasul Yesus seperti injil Tomas, injil Maria Magdalena, dsb. Sedangkan keempat injil telah terbukti ditulis oleh rasul Yesus sendiri. Bukankah kerukunan antarumat beragama / keyakinan tidak perlu dengan cara mencampuradukkan doktrin khusus dari tiap agama?. Oleh karena kita dapat dipersatukan oleh ajaran umum tiap agama dan kepercayaan, yaitu KASIH. Menyatukan doktrin khusus justru membentuk “Unity in Uniformity” tatkala kita berusaha untuk membentuk “Unity in Diversity”.</p> <p>Dari umat Islam, Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Radikal bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Radikal sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme radikal juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Radikal memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain.</p> <p>Tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II sudah menolak paham Pluralisme Radikal dengan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’. Dari kalangan Protestan di Indonesia juga muncul penolakan keras terhadap paham ini, dengan keluarnya buku Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul ‘’Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini”, (Malang: Gandum Mas, 2004). Frans Magnis Suseno tokoh Katolik terkenal di Indonesia dan Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara) mendukung “Dominus Jesus” itu, dan menyatakan, bahwa “Dominus Jesus” itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya pula, ‘Pluralisme Radikal’ hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dari pada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini.Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, mari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.¨Karena itu, sebagai seorang rohaniwan Katolik, wajar jika Frans Magnis Suseno menolak keras-keras paham tersebut.</p> <p>Penganut agama Hindu ternyata juga menolak paham ‘Pluralisme Radikal’. Paham ini, katanya, sebagai ‘Universalisme Radikal’. Telah terbit buku yang berjudul ”Semua Agama Tidak Sama”, terbitan Media Hindu tahun 2006. Buku yang berisi kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu ini secara tajam mengupas dan mengritisi paham Pluralisme Radikal yang biasanya dengan sederhana diungkapkan dengan ungkapan ‘’semua agama adalah sama’’. Buku ini diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), yang merupakan induk umat Hindu di Indonesia. Catatan ini dibuat karena ingin berbagi masukan, bukan untuk pembelaan karena pengikut Kristus tentu tidak akan pernah goyah oleh ajaran apapun karena kebenaran tidaklah perlu dibela.</p> <p>Kembali lagi ke pertanyaan, “Apakah ajaran Yesus berhubungan dengan mistisisme Timur?” Bagi orang Kristen yang telah mendalami ajaran-Nya (apalagi orang Kristen yang juga mantan penganut mistisisme Timur), maka jelas jawabannya TIDAK. Mengapa? Karena Yesus jelas mengajarkan doa secara langsung kepada Tuhan dengan bercakap-cakap kepada Tuhan dan bukan dengan meditasi / yoga, salah satunya adalah Doa Bapa Kami yang terkenal itu. Belum lagi dari Firman-Nya yang jelas mengajarkan wahyu Tuhan dalam Taurat. Mungkin banyak yang mengira Yesus adalah pemberontak terhadap Taurat padahal Ia sendiri mengaku tidak meniadakan hukum Taurat. Ia hanya membaharui penerapan hukum Taurat yang tidak dilakukan ahli Taurat karena ahli Taurat di zaman itu lebih sibuk dengan penafsiran kaku terhadap ayat Taurat. Ia bahkan melawan iblis dengan ayat-ayat Taurat tatkala dicobai iblis di padang gurun. Jadi, anggapan kekristenan terpaku pada ayat-ayat yang ‘mati’ sangatlah keliru. Oleh karena kekristenan mementingkan inti dari ayat itu. Oleh karena itu, Alkitab diterjemahkan ke dalam banyak bahasa agar semua orang dapat membaca sehingga lebih mudah untuk mendapatkan intinya. Apabila kekristenan kaku pada ayat, tidaklah mungkin Alkitab diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Beli alat elektronik saja perlu buku petunjuk pemakaiannya, termasuk ajaran spiritualitas. Akan tetapi, tentu penerjemahan dan penafsiran juga tidak bisa sembarangan karena harus berpatokan pada bahasa aslinya sehingga sesuai konteks. Janganlah kiranya ‘kebebasan penerjemahan Alkitab’ ini tidak disikapi secara bertanggungjawab. Yang paling penting tidak kehilangan inti dari ajaran itu, dan yang lebih penting lagi adalah mempraktikkan ajaran itu dalam tindakan nyata.</p> <p>Anggapan bahwa kekristenan adalah agama langit yang kaku adalah juga SALAH. Oleh karena Yesus tidak mengajarkan agama, apalagi agama langit!. Namun, kelembagaan dalam kekristenan diperlukan karena keterpaksaan. Karena Yesus mengajarkan taat pada pemerintah sedangkan pemerintah sering mewajibkan agama untuk dilembagakan, lengkap dengan atribut tempat suci, kitab suci, dll. Ini menunjukkan kekristenan tidak mengancam keutuhan suatu negara. Di sisi lain, tentu manajemen kelembagaan diperlukan untuk mengatur manusia, karena Yesus sendiri menunjuk Petrus sebagai pemimpin para rasul, bahkan menunjuk Yudas (yang akhirnya mengkhianati-Nya) sebagai bendahara.</p> <p>Apakah Yesus ke India dan Tibet? Mungkin saja tetapi buktinya belum jelas. Karena dalam tayangan Discovery Channel, penduduk asli di sana saja meragukan. Bukannya tidak mungkin isu ini dihembuskan oleh orang dari luar India dan Tibet untuk maksud tertentu. Lihat saja Dan Brown yang membuat novel fiktif saja masih banyak percaya akan novel itu, terutama mereka yang selama ini pada dasarnya tidak senang dengan kekristenan. Betapa gereja sering ingin dijatuhkan. Namun, tentu karena itu semua hanya rekaan subjektif untuk memuaskan ego, maka jarang ada pengikut Kristus yang murtad setelah diserang oleh berbagai pihak secara doktrin, bahkan secara fisik. Anggaplah Yesus pernah ke Timur, ada kabar bahwa Ia ditolak karena mengajarkan Weda kepada kaum selain Brahmana padahal hanya kaum Brahmana yang berhak berdasarkan kasta. Lagipula saat usia 12 tahun, Ia telah mengajar para ahli Taurat yang usianya tentu jauh lebih tua! Kemungkinan besar yang diajarkan Yesus adalah injil, bukan Weda karena injil memang mengabarkan pembebasan. Oleh karena itu, negara yang mayoritas penduduknya Kristen menjadi pelopor demokrasi, penegakan HAM, dan emansipasi wanita tanpa harus menjadi negara agama. Oleh karena Yesus sendiri menganjurkan pemisahan agama dengan negara. Sayangnya demokrasi yang diterapkan itu berubah menjadi liberalisme yang melenceng jauh dari demokrasi dalam injil. Tetapi, terlepas dari manusianya, jelas yang diajarkan injil adalah demokrasi dan penegakan HAM yang murni tanpa berlatar belakang politik yang kerap dilakukan negara Barat.</p> <p>DIMANAKAH YESUS KETIKA BERUSIA 12-30 TAHUN?</p> <p>Dari deskripsi tersebut di atas, jelas bahwa semua teori yang mencari-cari “the silent period” Yesus itu, akan tinggal sebagai spekulasi cerdik belaka. Bahkan teori-teori seperti itu sebenarnya tidak akan mucul apabila kita memahami dengan baik kebudayaan dan agama Yahudi, yang menjadi latarbelakang kehidupan Yesus, “yang lahir<br />dari seorang perempuan yang takluk kepada hukum Taurat” (Galatia 4:4).</p> <p>Mengapa Yesus hanya ditampilkan hanya kelahiran-Nya, usia 12 tahun dan baru ditulis lagi setelah berusia 30 tahun? Dari perspektif Yahudi, hal itu bukan hal yang aneh, sebab menurut budaya Yahudi seorang laki-laki baru boleh mengajar di depan umum pada usia 30 tahun.</p> <p>Menurut hukum Yahudi, usia seorang anak digolongkan dalam 8 tahapan:</p> <p>1) YELED, “usia bayi”;<br />2) YONEK, “usia menyusu”;<br />3) OLEL, “lebih tua lagi dari menyusu”;<br />4) GEMUL, “usia disapih”;<br />5) TAPH, “usia mulai berjalan”;<br />6) ULEM, “anak-anak”;<br />7) NA’AR, “mulai tumbuh remaja”; dan<br />8) BAHAR, “usia remaja”.</p> <p>Dari catatan tentang kehidupan Yesus dalam Injil, kita hanya membaca tiga klasifikasi usia saja yang dimuat, yaitu bayi (YELED), usia disapih (GEMUL), ketika ia diserahkan di Bait Allah di hadapan Simeon dan Anna, dan remaja (BAHAR, 12 tahun) ketika Yesus diajak Yusuf dan Maria, kedua orang tuanya, ke Yerusalem.</p> <p>Mengapa Yesus muncul pada usia 12 tahun? Karena usia 12 bagi tradisi Yahudi zaman Yesus begitu penting, karena seorang anak laki-laki Yahudi harus melakukan upacara yang disebut BAR MITSVAH (anak Hukum).</p> <p>Menurut catatan Yahudi, pada usia 12 tahun Nabi Musa meninggalkan rumah putri Firaun, Samuel menerima suara yang berisi visi Ilahi, Salomo (Nabi Sulaiman) mulai menerima Hikmat Allah dan Raja Yosia menerima visi reformasi agung di Yerusalem. Dalam rangkaian ritus Yahudi itu Yesus harus melakukan ‘ALIYAH (naik) dan BEMAH (menghadap mimbar untuk menerima kuk hukum Taurat). Upacara ini dilakukan pada hari Sabat, karena itu disebut juga THEPILIN SHABAT.</p> <p>Sejak abad-abad Pertengahan, usia BAR MITSVAH dilakukan pada usia 13 tahun. Menurut literatur Yahudi abad pertengahan Sepher Gilgulim, semua anak Yahudi sejak usia 12 tahun, mulai menerima ruah (roh hikmat) dan pada usia 20 tahun ditambahkan baginya NISHAMA (reasonable soul, “jiwa akali”).</p> <p>Mulai usia 20 tahun tersebut seseorang harus memasuki sekolah khusus Yahudi (BET MIDRASH). Sedangkan tahapan-tahapan pendidikan Yahudi adalah sebagai berikut: MIKRA (membaca Taurat) mulai usia 5 tahun, MISHNA mulai usia 10 tahun, TALMUD pada usia 13 tahun (zaman Yesus 12 tahun); MIDRASH (madarasah) pada usia 20 tahun, dan sejak usia 30 tahun baru boleh mengajar di depan umum.</p> <p>Dari tahapan-tahapan pendidikan Yahudi pada zaman Yesus serta latar belakang agama dan budayanya, jelas bahwa spekulasi-spekulasi mengenai 18 tahun kehidupan Yesus yang hilang, sama sekali tidak mempunyai landasan sejarah. Jadi, kemana Yesus selama 12 tahun sampai 30? Jawabannya, berdasarkan data-data Injil sendiri (Matius 13:55; Markus 6:3), Yesus menjalani kehidupan sebagaimana layaknya anak-anak Yahudi dan ia bersama keluarganya bekerja di Nazaret sebagai tukang kayu.</p> <p>Mengapa kisah kehidupan-Nya baru dicatat setelah usia 30 tahun? Karena memang demikianlah lazimnya kehidupan orang Yahudi, sedangkan usia 12 tahun juga disinggung karena sebagai usia BAR MITSVAH.</p> <p>Alkitab cukup memberikan informasi bahwa sejak kecil hingga berusia ± 30 tahun, Yesus Kristus tinggal di Nazaret :</p> <p>* Lukas 2:51<br />Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.</p> <p>Dengan ini Alkitab merujuk bahwa usia 30 tahun merupakan usia yang sering dirujuk dalam Alkitab untuk seseorang memulai “tugas”nya. Yusuf mulai menjadi penguasa muda Mesir saat berusia 30 tahun. Orang Yahudi yang “wajib tugas” ditentukan mulai usia 30 tahun hingga 50 tahun (Bilangan 4), Daud mulai menjadi raja saat berusia 30 tahun. Maka, adanya spekulasi-spekulasi Yesus sampai di India untuk belajar yoga bersama guru-guru dari Timur jauh, adalah fiksi yang hanya menarik didengar, ketimbang dibuktikan secara historis.</p> <p>Ada juga anggapan bahwa Yesus tidak menderita saat disalibkan karena telah belajar Yoga. Ini kesalahan yang sangatlah besar! Ia sudah menderita sebelum disalibkan, dalam hidup sehari-harinya Ia pernah marah, menangis, dsb karena ulah manusia. Inilah prinsip dasar kekristenan bahwa Tuhan itu berkepribadian, tidak seperti ketuhanan dalam prinsip kepercayaan Timur di mana kesempurnaan itu digambarkan sebagai kelepasan dari semua hal-hal yang sifatnya emosional. Di Taman Getsemani, Yesus sampai berkeringat darah, yang dalam dunia medis hal ini bisa terjadi akibat ketakutan yang luar biasa. Ia juga jatuh berkali-kali sepanjang perjalanan dalam membawa salib-Nya ke Bukit Golgota. Akhirnya, Ia berteriak menjelang kematian-Nya yang menunjukkan betapa menderita-Nya Ia. Ini dasar kekristenan yang menjadikan umat Kristen memegang teguh iman-Nya walau diintimidasi sekalipun karena tidak pernah ada tuhan lain, nabi, atau avatar yang berkorban sedemikian besar bagi manusia. Kita yang harusnya disalibkan, tetapi Tuhan yang Suci malah yang berkorban. Ada anggapan juga bahwa umat Kristen ‘memaksa’ dalam menginjili padahal itu justru menunjukkan ketidakegoisan karena ingin agar rekan-rekan yang lain juga mengetahui Kabar Baik ini. Namun, apabila memang ada pengikut Kristus yang menjadi batu sandungan, itu tentu perihal lain yang terlepas dari kebenaran injil itu sendiri.</p> <p>Apakah pengabaran injil berlatarbelakang politik? Mengabarkan Tuhan yang disalibkan dan mengajarkan kasih tanpa syarat, adalah suatu hal yang tidak menguntungkan secara politik! Salah-salah malah menambah musuh dan diintimidasi. Namun, hal ini tidak menjadi halangan apabila itu memang suatu kebenaran. Apakah injil diubah? Walau ada pengikut Kristus yang menjadi batu sandungan seperti para pejuang perang salib, tetapi tidak ada yang berani mengubah bahwa Yesus mengajarkan KASIH, bukan perang. Tentu ini pemeliharaan Tuhan terhadap injilnya. Jika umat Kristen ingin mengubah injil, tentu yang paling pertama diubah adalah penyangkalan bahwa Yesus disalib. Mengapa? Karena mengabarkan injil tentang Tuhan Yang Disalibkan tentu adalah kekonyolan bagi orang lain. Namun, kenyataannya hal-hal tersebut tidak diubah karena memang itu kenyataannya! Bahkan banyak aib para nabi pun ditulis, termasuk kisah Nabi Daud yang berselingkuh! Skandal yang lain juga banyak tertulis. Itu semua menunjukkan objektivitas injil supaya bisa menjadi pelajaran bagi manusia. Hanya Yesus yang sempurna di dalam injil, sedangkan nabi yang lain juga ditulis memiliki banyak kekurangan. Begitu juga fitnah terhadap Rasul Paulus memalsukan injil, sangatlah tidak berdasar. Oleh karena sebelum menjadi penginjil, Paulus adalah perwira Romawi yang membunuh orang-orang Kristen. Ketika ia bertobat, ia malah balik menjadi penginjil, bahkan dihukum mati karena penginjilannya. Apabila ia mau, maka ia bisa saja terus naik pangkat dengan membunuh lebih banyak orang Kristen. Lantas mengapa ia menjadi penginjil yang tidak ada keuntungan dari segi politik maupun ekonomi? Karena ia mengetahui kebenaran dari injil itu sendiri sehingga membelanya sampai mati walau tanpa dengan kekerasan tentunya.</p> <p>Banyak juga anggapan yang keliru, terutama perihal ajaran Kristen juga digabungkan dengan kepercayaan lain. Kekristenan menghargai budaya lokal asalkan budaya tersebut tidak dijadikan wahana penyembahan terhadap leluhur, dsb. Banyak gereja yang seperti ini, misalnya Gereja Kristen Jawa, HKBP, dll. Mungkin inilah yang menyebabkan ajaran Kristen ’seolah-olah’ juga hasil percampuran ajaran kepercayaan lain. Termasuk juga tradisi pohon Natal, dsb yang merupakan ‘penghargaan’ terhadap budaya lokal Eropa. Karena itu banyak aliran Kristen karena Yesus memang tidak mengajar ritual, tidak mengajar berapa kali harus berdoa, tidak mengajar berapa kali harus ke gereja, tidak mengatur masalah bentuk fisik gedung gereja atau masalah musik. Patokan suatu gereja dinamakan gedung gereja hanyalah ajarannya yang tetap mengajar bahwa Yesus sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat yang telah mati menebus dosa manusia, serta akan kembali di akhir zaman untuk menghakimi alam semesta. Selebihnya dapat dilihat kekristenan tidak pernah mensakralkan tempat karena yakin Tuhan bersemayam di hati manusia, dan justru manusia adalah gereja sejati. Gedung gereja hanyalah sarana perkumpulan umat seiman untuk saling menguatkan dan bersilaturahmi. Jadi jangan heran ada kebaktian di mall, auditorium, hotel, bahkan lapangan sepak bola! Simbol salib dll juga hanyalah lambang belaka. Malah gereja yang di mall/hotel tidak ada lambang salibnya.</p> <p>Anggapan bahwa Yesus mengajarkan reinkarnasi dan karma juga keliru. Banyak ayat yang disalahtafsirkan termasuk ketika Yesus mengatakan bahwa Yohanes Pembaptis adalah Nabi Elia yang datang kembali. Ayat itu hanya kiasan karena ketika orang banyak menanyakan kepada Yohanes Pembaptis secara langsung, dengan tegas Yohanes Pembaptis berkata, “Bukan.” Lagipula Nabi Elia tidaklah mati sebelumnya, ia diangkat langsung ke surga dan akan turun lagi ke dunia sebelum kedatangan Yesus yang kedua kali. Padahal reinkarnasi mengandung pengertian manusia itu mati kemudian akan lahir menjadi manusia lagi di masa datang. Kekristenan hanya mengenal inkarnasi, yaitu ketika Allah menjelma menjadi Yesus Kristus, dan itu pun hanya terjadi satu kali saja. Ayat ketika Yesus berkata, “Aku dan Bapa adalah Satu.” juga sering disalahtafsirkan padahal artinya adalah Yesus adalah Allah itu sendiri.</p> <p>Mujizat yang dilakukan Yesus juga bukan hasil dari pertapaan-Nya di padang gurun selama 40 hari atau selama ‘masa hilangnya’. Pengikut Kristus juga bisa melakukan mujizat itu sampai sekarang tanpa meditasi/ yoga! Banyak kesaksian para mantan pemimpin spiritual Timur yang sekarang menjadi Kristen dalam bentuk DVD / youtube, antara lain Pdt. Daud Toni dan Pdt. Theodores Tabaraka. Pdt. Daud Toni bahkan bisa berpindah tempat dalam waktu sekejap tatkala dia belum bertobat dan masih menjadi ahli kebatinan, seperti yang dilakukan Satya Sai Baba (spiritualis yang dipuja di India sekarang).</p> <p>BAGAIMANA PANDANGAN KRISTEN TENTANG KEPERCAYAAN LAIN?<br />Orang zaman dahulu yang mencari jalan spiritualitas di jalan lain selain Yesus, tidaklah bersalah karena belum pernah mendengar injil. Penghargaan tetaplah tinggi karena bagaimana pun mereka juga berkehendak baik mencari jalan keselamatan, bahkan juga berdasarkan keyakinan itu juga merumuskan ajaran-ajaran moral demi kebaikan alam semesta. Namun, setelah injil tersebar ke seantero dunia maka keselamatan di dalam Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan tetapi disebarkan dengan tidak memaksa oleh karena manusia diciptakan dengan kehendak bebas. Apabila tetap berbeda keyakinan di zaman sekarang, maka semua harus kembali ke ajaran umum semua keyakinan, yaitu kasih. Kasih berdasarkan pada altruisme dan volunterisme yang menjadi ‘The Golden Ethic of Human Being’, serta harus dipegang oleh seorang atheis sekalipun. Tentunya kasih yang juga diterapkan dalam kerjasama nyata di berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, dsb.</p> <p>Yang sangat disayangkan adalah apabila ada orang Kristen yang memiliki paham pluralisme radikal ini. Oleh karena berarti ia telah meremehkan kematian Tuhan yang diyakini umat Kristen sebagai Penebus. Tidaklah mungkin kematian Tuhan itu sia-sia dan tidak mungkin Ia sengaja datang ke dunia untuk bertamasya! Biarlah orang lain menganut pluralisme radikal karena memang beberapa keyakinan mengajarkan paham itu, tetapi apabila orang Kristen juga menganut paham ini, jelas ia tidak layak lagi sebagai pengikut Kristus. Seperti Yesus pernah bersabda, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 10:32-33)</p> <p>Dari semua pembahasan di atas, jelas Kristen bukanlah agama tetapi spiritualitas juga. Bahkan ‘pencapaian kesadaran’ dan ‘pembebasan terhadap agama’ yang dirindukan oleh kaum spiritualis Timur justru ada dalam Yesus Kristus. Apabila menganggap kekristenan sebagai kemunduran justru salah. Secara fakta saja kekristenan muncul di abad yang lebih baru, belum lagi ajaran tentang Allah yang disalibkan untuk menebus dosa manusia. Justru apakah kaum spiritualis Timur berani ‘keluar dari zona nyamannya’ untuk menerima semua masukan ini. Mengikut Yesus sangatlah sederhana. Sebagai contoh tatkala penjahat yang disalibkan di samping Yesus mengaku Yesus sebagai Juruselamatnya, maka Yesus berkata kepada orang itu, “Hari ini juga engkau bersama dengan Aku di dalam Firdaus. ” Sesederhana itu! Jadi, menganggap Yesus sebagai penganut kepercayaan mistisisme Timur bukanlah kemajuan, tetapi kemunduran karena mistisisme Timur mengajarkan ritual, dsb. Sedangkan penjahat yang di samping Yesus itu masuk surga bersama Yesus di saat detik terakhir kehidupannya tanpa sempat ia berdoa, dibaptis, berbuat amal, memperbaiki karmanya, meditasi, dll. Ini juga yang menjadi bantahan bahwa yang disalibkan itu Yudas oleh karena tidak tertulis dalam catatan manapun bahwa Orang Yang Disalibkan itu berteriak dirinya adalah Yudas, tetapi malah mengampuni orang yang menyalibkannya. Bahkan orang Romawi yang tadinya membunuh orang-orang Kristen malah sekarang menjadi negara dengan penganut Kristen terbesar. Padahal Roma memiliki banyak filsuf yang logis dan mengerti sejarah yang benar. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.</p> <br /> <p><br /><a href="http://www.kompasiana.com/tag/Yesus/"></a></p> </div>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-8849128657254030602010-07-07T03:05:00.002-07:002010-07-07T03:06:30.692-07:00Ateisme Berkedok PluralismeJudul yang aneh? Tentu saja aneh karena orang umumnya mengganggap positif istilah pluralisme, sedangkan ateisme umumnya mendapat konotasi negatif , tetapi mengapa keduanya digabungkan? Tentu saja bagi mereka yang kritis akan segera menemui jawabannya, yaitu karena yang mendapat konotasi negatif itu ingin menyamar dalam bentuk yang lebih positif. Ya, ateisme memakai kedok pluralisme untuk menutupi misinya. Lagipula, apakah ateisme senegatif itu? Dan apakah pluralisme sepositif itu? Setidaknya itulah yang terjadi di masyarakat, walau bisa saja ada yang menganggap sebaliknya. <p>Mungkin ada lagi yang bertanya, “Bukankah sah-sah saja orang menjadi ateis?” Tentu saja sah secara HAM walau di negara ini tidak diizinkan, tetapi akan menjadi berbahaya jika ia menjalankan misi tertentu di luar ateismenya itu sendiri, misalnya ateisme yang ditujukan untuk kepentingan politik.</p> <p>Politik dapat dikuasai jika manusia dapat dikuasai, sedangkan selama ini bisa dikatakan agama menjadi “penguasa” manusia. Agama menjadi “penguasa” karena telah mendarah daging turun temurun dan menjadi tuntutan pola tingkah laku manusia. Sehingga inilah pemikiran politik busuk saat ini bahwa jika ingin menguasai manusia, harus menghilangkan agama.</p> <p>Timbul lagi pertanyaan, “Bukankah justru agama yang sering dijadikan kedok politik sehingga wajar jika ada gerakan untuk menghilangkan agama?” Jawabnya benar bahwa agama juga sering dijadikan komoditas politik. Dan benar bahwa orang juga sudah mulai bosan dengan agama karena hal-hal ini. Namun, bukankan penganutnya yang salah dan bukan agamanya? Oleh karena itu, para penganut agama juga harus berbenah diri dan sadar bahwa agama bisa dipolitisasi. Dalam bahasan ini, kita fokus bukan pada politisasi agama yang telah diketahui banyak orang, tetapi fokus kepada politisasi terhadap ateisme dan pluralisme. Wah, mengapa terjadi hal ini? Bukankah ateisme dan pluralisme justru menjadi pengimbang kaum agamis yang konon suka mempolitisasi agama? Karena itu mari kita simak uraian di bawah ini.</p> <p>Bagi para politikus busuk, ia harus mengubah strategi dengan memakai kesempatan untuk menggunakan ateisme sebagai kendaraan politik setelah puas memakai agama sebagai kendaraan politik. Timbul suatu gerakan balik yang menarik bukan? Dari menggunakan agama sebagai kendaraan politik, sekarang karena masyarakat dunia banyak yang bosan dengan agama malah berganti memakai ateisme sebagai kendaraan politik.</p> <p>Akan tetapi, para politikus busuk ini menyadari bahwa yang melanda para pemeluk dunia saat ini bukanlah ateisme, tetapi hanya karena para penganut agama kecewa dengan agama. Padahal ini juga disebabkan oleh para politikus busuk itu sendiri yang suka mempolitisasi agama. Ini menyebabkan para politikus busuk memakai kedok pluralisme untuk menjerat orang-orang yang kecewa dengan agamanya tersebut supaya masuk dalam perangkap ateisme. Dengan isu ateisme, masyarakat akan lebih mudah dikuasai. Ya, ternyata politik bisa memakai semua kesempatan, baik itu agama bahkan yang ekstrim melawan agama, yaitu ateisme.</p> <p>Apakah ini hanya asumsi tanpa bukti? Banyak data yang bisa ditelusuri dan banyak fakta di lapangan yang tidak terbantahkan. Orang-orang ini menyusup ke tiap agama dan tetap beragama padahal mereka berbeda dengan ajaran agama yang dianut. Mereka selalu menghasut pemeluk agama untuk tidak mempercayai pemimpin agama, institusi agama, dll. Padahal kalau pun memang ada yang salah, jelas yang salah adalah oknum pemimpin agama, bukan agama secara keseluruhan. Tetapi mereka ini membesar-besarkan isu bahwa agama adalah perusak dan harus dihilangkan.</p> <p>Ini dilakukan pelan-pelan dengan halus karena mereka tidak ingin didepak di fase awal. Mereka harus bisa membujuk, terutama dengan isu kasih universal. Lucunya, sumbangsih mereka terhadap kemanusiaan saja tidak bisa menyaingi pemeluk agama tauhid seperti Ibu Teresa, tetapi mereka sok lebih mengasihi. Yang ada justru mereka menimbulkan perpecahan internal umat beragama karena perbedaan ajaran tersebut. Yang lebih berbahaya adalah mereka bisa mengadu domba antarpemeluk agama yang berbeda pula.</p> <p>Bagaimana bisa mereka mengadu domba antarumat beragama? Misalkan saja mereka menyusup ke gereja dan menyebarkan paham liberalisme ke dalam gereja sehingga banyak juga umat gereja yang terpengaruh. Lama-lama budaya liberalisme berkembang sehingga meresahkan teman-teman muslim yang dalam ajarannya tidak mengajar liberalisme. Ini menyebabkan rekan muslim mengidentikkan liberalisme dengan kekristenan. Padahal liberalisme bukan ajaran gereja, bahkan gereja juga terancam dengan paham ini karena Kristus sendiri memang mengajarkan demokrasi dan HAM, tetapi bukan liberalisme. Tetapi sekali lagi mereka berkilah bahwa seakan Kristus juga seliberal itu. Benar-benar memperbesar jurang kesalahpahaman kaum nasrani dengan kaum muslim. Dan yang paling parah, mereka terang-terangan mengaku nasrani tetapi mencaci rekan muslim secara kasar.</p> <p>Yang paling populer adalah mereka mengangkat isu demokrasi, HAM, emansipasi wanita, gerakan pelestarian lingkungan, meditasi, vegetarian, pseudosains, kembali ke ajaran nenek moyang (seperti mistisisme, pengobatan alternatif). Tentu saja tidak ada yang salah dengan semua ini, tetapi dipakai sebagai kedok dan disalahgunakan. Pola ini dipakai untuk menyusup ke semua agama sehingga tidak susah mendeteksi keberadaan mereka.</p> <p>Yang menarik adalah pseudosains. Ya! Mereka memakai pengetahuan palsu untuk mendukung paham-paham mereka. Ilmu kedokteran saraf dan ilmu fisika kuantum yang paling sering disalahgunakan oleh mereka. Yang paling terkenal adalah teori evolusi yang sering dipakai oleh mereka juga. Namun, bagi ilmuwan sejati tentu langsung bisa mengetahui bahwa teori ilmiah yang diajukan oleh mereka hanyalah omong kosong belaka. Mereka menyela umat beragama karena tidak logis padahal mereka sendiri tidak logis, tetapi berpura-pura logis dengan memakai pseudosains.</p> <p>Bagaimana pula mereka mengadu domba umat beragama yang seagama? Mereka mengajak umat untuk tidak mempercayai pemimpin agama, institusi agama, ajaran agama, bahkan kitab suci. Mereka mengajak orang-orang untuk tidak sholat tetapi malah meditasi (khusus agama Islam), tidak ke gereja dan meditasi menyimpang (khusus agama nasrani), meditasi yang menyimpang (untuk agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, dan aliran kepercayaan lain). Masalah penyusupan ini, telah diklaim oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Di luar negeri juga sedang “berperang” melawan hal ini. Koordinasi di dalam negeri juga sedang digalakkan.</p> <p>Mereka mencampur semua ajaran agama dengan dalih semua agama adalah sama. Awalnya memang terdengar indah, tetapi akhirnya mengarah kepada ateisme. Tentu saja bagi mereka, semua agama adalah sama karena bagi mereka agama itu tidak ada. Semua agama sama konyolnya bagi mereka. Jadi jangan dikira mereka menghargai persamaan agama secara hakiki, tetapi agama justru dalam arti sama-sama ditertawakan oleh mereka.</p> <p>Di satu sisi mereka memang benar bahwa agama tidak sebatas ritual ibadah dan doktrin, tetapi nyatanya agama juga memang hanya menggunakan ritual ibadah dan doktrin sebagai media. Namun, mereka menggembor-gemborkan bahwa agama hanya sebatas ritual ibadah dan doktrin. Ini tentu fitnah.</p> <p>Di sini akan memakai contoh penyusupan mereka di dalam gereja karena penulis sebagai nasrani. Sedangkan penyusupan mereka di tempat ibadah lain, tentu umat beragama yang bersangkutanlah yang lebih berhak menceritakan.</p> <p>Misalkan saja mereka menyela pentingnya bangunan gereja karena Tuhan Mahaada. Tentu saja dalam ajaran nasrani, Tuhan Mahaada. Akan tetapi, bangunan gereja diperlukan sebagai sarana berkumpul umat seiman untuk bersekutu dan saling menguatkan. Lagipula, setelah kebaktian selesai, bangunan gereja dapat dipakai untuk keperluan lain. Bahkan, di kota-kota besar gereja memakai auditorium hotel yang jika kebaktian usai, auditorium itu dipakai untuk keperluan lain. Jadi, jelas bahwa ajaran gereja juga mengajarkan gereja hanyalah sarana, tidak seperti yang dituduhkan.</p> <p>Lucunya, mereka sendiri memakai tempat-tempat pertemuan, punya doktrin, serta “kitab suci” sendiri di luar gereja. Ya! Mereka memakai standar ganda, di satu sisi menyela gereja, ajaran gereja, dan injil, ternyata mereka sendiri memakai komponen-komponen itu dalam pertemuan mereka. Mereka juga tetap mengambil ajaran Kristus, tetapi “dimodifikasi”. Hal ini juga dikeluhkan rekan-rekan muslim di mana mereka juga memakai Alquran yang “dimodifikasi”. “Dimodifikasi” sesuai versi mereka. Mereka sering menyela umat beragama padahal mereka sendiri lebih munafik!</p> <p>Ajaran dan kitab suci mereka adalah gabungan dari semua ajaran agama. Padahal sudah jelas agama-agama berbeda secara doktrin dan masing-masing berhak mengklaim kebenaran agama masing-masing yang dijamin UU. Namun, mereka melarang pengklaiman kebenaran dari agama. Ya! Mereka melarang agama, tetapi memaksa paham mereka untuk diterima. Standar ganda lagi yang dipakai oleh mereka.</p> <p>Lagipula lucu sekali, mereka mengklaim “doktrin baru” mereka tersebut sebagai kebenaran mutlak di saat mereka sendiri menolak agama untuk mengklaim kebenaran agama masing-masing. Standar ganda lagi yang dipakai oleh mereka. Alasannya karena jika masing-masing agama mengklaim ajarannya benar, maka inilah yang menjadi akar perpecahan bangsa dan perpecahan dunia. Padahal jelas tidak masalah jika pengklaiman itu dilakukan masing-masing ajaran sejauh tidak melanggar hukum yang diatur UU. Lagipula mereka sendiri mengklaim pahamnya yang paling benar. Tidak dapat diterima secara logika.</p> <p>Sebenarnya siapa mereka ini? Tanpa bermaksud menghakimi, kita tentu mengetahui siapa di balik ini semua. Yang penting umat beragama harus bersatu karena perpecahan antarumat beragama menjadi celah empuk sasaran mereka. Sesungguhnya dalam kitab-kitab sudah ada nubuat akan munculnya gerakan ini. Dinubuatkan bahwa mereka akan makin berjaya, tetapi kita tetap tidak akan pernah gentar untuk melawan!</p> <p>Namun, bagaimana melawannya? Tentu bukan dengan kekerasan karena justru kekerasan yang dilakukan umat beragama dewasa inilah yang membuat bertambah suburnya gerakan ini. Ibarat pengentasan narkoba yang sulit memberantas jaringannya, maka kita harus menangkal supaya diri kita tidak terjebak dalam narkoba. Maka ini juga berlaku untuk mengatasi gerakan ini, yaitu dengan penegasan doktrin tiap agama dan senantiasa merangkul rekan-rekan yang “menyeleweng” tersebut. Perkuat juga kerukunan internal maupun antarumat beragama. Dengan demikian terlihat jelas perbedaan mereka dari ajaran agama induk dan kita tidak terpecah belah sesuai keinginan mereka.</p> <p>Sesungguhnya tulisan ini tidak mendukung fanatisme dan tidak anti terhadap pluralisme dan ateisme , tetapi mengingatkan akan bahaya politisasi terhadap gerakan pluralisme atau ateisme. Karena seperti yang dibahas di atas, bahwa politik bisa memakai semua kendaraan, baik kendaraan agama, ateisme, maupun pluralisme. Selama -isme tidak melanggar UU atau menimbulkan keresahan, tentunya tidak menjadi masalah. Akan tetapi, sebenar-benarnya gerakan pluralisme untuk melawan fanatisme sempit, sesungguhnya kedua paham tersebut tidak ada. Oleh karena keadaan plural (keanekaberagaman) adalah suatu fakta, sedangkan fanatisme sempit juga tidak diajarkan dalam agama. Sesuatu yang menjadi -isme sesungguhnya sudah mewakili kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu pula sehingga rentan dipolitisasi.</p> <p>Sekarang yang terpenting adalah menganut agama secara proporsional, tidak ekstrim kanan atau kiri, tetapi juga tidak berada di wilayah abu-abu. Tidak mengarah ke fanatisme sempit, ateisme, ataupun indiferentisme, tetapi murni dengan hati ikhlas merangkul semua. Oleh karena satu gerakan muncul karena kekecewaan terhadap gerakan yang lain sehingga timbul dua kutub berlawanan yang tidak akan bertemu di satu titik. Bagaimana sekarang kita menyatukan kembali kutub pluralis dengan kutub fanatik sempit? Tentu dengan memperbaiki masing-masing kesalahan sehingga tidak lagi menjadi dua kutub, tetapi satu kutub menuju tujuan yang sama, yaitu beragama dengan benar.</p> <br /> <p><br /><a href="http://www.kompasiana.com/tag/ateisme/"></a></p>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-28254272638220713112010-07-07T03:05:00.001-07:002010-07-07T03:05:41.783-07:00Kenikmatan Seks, Berguna untuk Penanggulangan HIV/AIDS<div class="fsize14 lh20"> <p>Judul yang kontroversial? Tunggu dulu, harus membaca artikel ini sampai tuntas baru bisa mengetahui apa inti pesan dalam artikel ini.</p> <p>Seminar Nasional HIV/ AIDS 2010 dibuka oleh Menteri Kesehatan yang sempat mengomentari tidak dipakainya kondom dalam video mesum yang sedang top beredar. Ya, ternyata dari data terbaru terungkap bahwa seks bebas menjadi faktor risiko utama penularan HIV/AIDS daripada pemakaian narkoba melalui jarum suntik. Mengapa bisa begitu? Terlepas dari lebih mudahnya penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik karena langsung melalui darah, ternyata penggunaan narkoba melalui jarum suntik telah mencapai titik jenuh. Hal ini mungkin kesadaran masyarakat akan bahaya jarum suntik. Namun, ini tidak berlaku untuk seks yang adalah suatu kebutuhan dan lebih “menyenangkan” daripada jarum suntik hehehehe.</p> <p>Seks adalah kebutuhan? Tentu saja. Oleh karena jika tidak disalurkan dengan benar, akan mengakibatkan berbagai masalah psikis yang akhirnya mengarah kepada masalah fisik. Terutama bagi kaum pria yang tinggi kadar testosteronnya. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa selama ini para pria kurang menjadi target yang diperhatikan dalam program penanggulangan HIV/AIDS. Padahal data terbaru menunjukkan bahwa seks menjadi faktor utama penularan HIV/AIDS sehingga pria memegang peranan terpenting.</p> <p>Lho? Bukankah peranan terpenting justru ada pada Pekerja Seks Komersial (PSK)? Di sinilah letak kesalahan kita selama ini. Kita selalu fokus pada PSK, terutama PSK perempuan padahal juga ada PSK laki-laki (gigolo). Jelas terkadang diskriminasi gender masih kental di negara kita. Adanya keegoisan yang sepertinya “disengaja” untuk mendeskreditkan perempuan dengan kedok agama, adanya budaya paternalistik yang kental, dsb. Padahal dari data terbaru terungkap bahwa jumlah PSK hanya 20 ribuan dan jumlah tersebut cenderung menetap. Mengapa bisa menetap? Karena mereka menjadi PSK biasanya terdorong oleh motif ekonomi. Setelah ekonomi membaik, mereka meninggalkan pekerjaan tersebut, tetapi diimbangi oleh jumlah PSK yang baru. Bisa dikatakan bahwa PSK memiliki regenerasi secepat artis sinetron hehehehe. Apalagi tentu PSK yang lebih “fresh” akan lebih “menjual”.</p> <p>Memang kaum wanita pun banyak yang memakai jasa gigolo, tetapi jumlah pria pelanggan PSK jauh lebih banyak. Oleh karena wanita berselingkuh lebih kepada pemenuhan kebutuhan psikologis daripada seksual, walau akhirnya bisa terjerumus ke hubungan seksual. Yang menyesatkan tentu pandangan bahwa emansipasi wanita membuat wanita juga bebas berselingkuh dan berhubungan seks. Padahal jika ingin konsisten, justru emansipasi itu ditunjukkan dengan pembatasan wanita terhadap pria dalam menjelajahi tubuhnya, dan bukan sebaliknya.</p> <p>Yang menarik justru jumlah pelanggan PSK yang mencapai 2 jutaan orang (100 kali lipat dari jumlah PSK). Bagaimana bisa timpang seperti ini? Karena PSK mengalami regenerasi yang cepat, tetapi pelanggannya justru terakumulasi. Terakumulasi karena pelanggan yang lama masih menjadi pelanggan, sedangkan pelanggan yang baru juga bertambah. Bayangkan jumlah 2 juta pelanggan ini yang nanti akan menulari istri-istri mereka yang baik-baik, dan bahkan menulari anak-anak mereka. Jelas akan terjadi ledakan angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia.</p> <p>Dari uraian di atas, jelas yang harus menjadi fokus kita sekarang juga adalah kaum pelanggan PSK yang lebih banyak berjenis kelamin pria. Mereka mencakup pria dari berbagai tingkat pendidikan dan ekonomi. Bahkan yang “alim’ pun bisa terjerumus. Mengapa bisa demikian? Tak pelak lagi seperti yang disebutkan di atas bahwa seks adalah suatu kebutuhan dan kesenangan.</p> <p>Nah, sekarang permasalahan selanjutnya adalah bagaimana bisa menyalurkan kegiatan yang dibutuhkan dan disenangi ini secara benar? Mungkin banyak isu beredar bahwa kalangan medis memfasilitasi seks bebas dengan sosialisasi kondom dll. Padahal dari kalangan medis sendiri menganjurkan untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum pernikahan dan melakukan hubungan seks hanya dengan pasangan resmi. Sosialisasi kondom hanya suatu “keterpaksaan” karena ternyata sulit sekali mencegah hubungan seks sebelum pernikahan dan setia dengan pasangan.</p> <p>Tentu permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mencegah hubungan seks sebelum pernikahan dan tips agar setia dengan pasangan? Jawaban klisenya adalah agama. Ternyata ini tidak efektif untuk masyarakat hedonis dan logis dewasa ini. Maka mau tidak mau, kesalahan agama harus diperbaiki.</p> <p>Lho koq agama bisa salah? Tentu saja agama bisa salah karena penganutnya. Ya, penafsiran kaku terhadap agama bisa menjerumuskan walau ayat dalam firman-firman itu tidak bermaksud demikian. Misalkan tentang masalah seks di mana agama selalu menganggap tabu untuk mendiskusikannya, padahal dalam ayat-ayat berbagai kitab justru ada bagian yang mengeksplorasi masalah ini. Mengapa lantas dijadikan tabu? Karena budaya kemunafikan yang tentu tidak ada hubungannya dengan agama. Budaya munafik lebih berpengaruh daripada budaya yang ditawarkan agama itu sendiri. Kemunafikan mempengaruhi penafsiran agama.</p> <p>Waduh, malah masuk ke ranah agama. Lha iya, soalnya koq Indonesia yang terkenal religius ternyata tertinggi angka penularan HIV/AIDS-nya di Asia. Sedangkan dari data terbaru jelas bahwa penularan paling banyak terjadi melalui seks bebas. Kita sering tabu membicarakan seks bebas sehingga lebih sering membahas jarum suntik. Itu tanda dari salah satu kemunafikan yang akhirnya berdampak seks bebas semakin berkembang sehingga penularan HIV/AIDS di Indonesia melonjak tajam. Data ketidakperawanan yang tinggi dan maraknya video mesum yang dibuat kaum awam termasuk pelajar, menunjukkan bahwa kita lengah karena saking tabunya membicarakan seks.</p> <p>Lalu apa solusinya? Jelas adalah pendidikan seks. Pendidikan seks bagi semua kalangan, bahkan mulai dari kalangan pelajar SD. Karena menstruasi sekarang juga sudah banyak dialami pelajar SD berusia 9 tahun di mana tentu sudah memiliki dorongan seksual. Nah, untuk pasangan suami-istri sudah harus dibahas terbuka bagaimana cara menyenangkan pasangan di atas ranjang karena dari penelitian jelas masalah seks adalah salah satu faktor terpenting dalam keharmonisan rumah tangga. Jika ini lebih intens dilakukan, tentu banyak pria yang tidak akan menjadi pelanggan PSK. Walau memang bukan hanya masalah seks semata yang mendasari kesetiaan, tetapi hendaknya masalah keharmonisan seks harus diperhatikan sejalan dengan pendidikan agama, moral, dan psikologi. Sudah saatnya diskusi keharmonisan seks dilakukan dalam lingkungan ibadah. Agar tidak terjadi lagi kemunafikan, agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman bahwa ketaatan agama diidentikkan dengan antiseks. Juga agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman bahwa agama melarang salah satu kebutuhan dan kesenangan manusia yang paling mendasar, yaitu SEKS sehingga kita bisa memadukan agama, kesenangan, dan kesehatan, ehmmmm………..</p> <br /> <p><br /><a href="http://www.kompasiana.com/tag/HIV/"></a></p> </div>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-39964905724080844272010-07-07T03:04:00.001-07:002010-07-07T03:04:51.894-07:00Kebenaran Teori Evolusi Spesies<div class="fsize14 lh20"> <p>Pendahuluan</p> <p>Evolusi memang terjadi dalam dunia, tetapi tidak terbukti mengarah ke evolusi spesies. Evolusi hanya terjadi sebatas variasi, misalkan pasangan berbeda ras akan menghasilkan keturunan lain yang merupakan variasi di antara keduanya. Begitu juga dengan evolusi alam yang semakin rusak. Untuk selanjutnya, artikel ini menggunakan istilah “EVOLUSI” dalam konteks “EVOLUSI SPESIES”, bukan variasi dan perubahan alam. Karena variasi dan perubahan alam jelas terjadi, tetapi tidak demikian dengan evolusi spesies.</p> <p>Kelemahan umum teori Evolusi<br />Hukum utama Ilmu Pengetahuan Alam: “Jika sebuah teori tidak menerangkan dan tidak tepat pada bukti-bukti, maka teori itu dinyatakan gagal atau tidak berlaku.”</p> <p>Tiga kelemahan fatal di dalam Teori Evolusi:</p> <p>Kelemahan fatal ke-1: Tidak ada rumus matematik.<br />Rumus adalah satu-satunya cara yang tersedia untuk menguji sebuah teori. Setiap teori ilmiah memiliki sebuah rumusan, kecuali Teori Evolusi.</p> <p>* Teori Evolusi bukanlah sebuah Hukum dan tidak juga sebuah Bukti<br />* Teori Evolusi telah gagal untuk menghasilkan sebuah rumusan kerja<br />* Teori Evolusi kehilangan rumus dan tidak berlaku secara ilmiah</p> <p>Kelemahan fatal ke-2: Tidak adanya mekanisme genetika.</p> <p>Bakteri yang paling dasar memiliki 500 gen, sedangkan manusia memiliki lebih dari 22 ribu gen. Untuk sebuah bakteri berevolusi menjadi manusia, ia harus mampu menambah gen mereka. Tetapi tidak ada mekanisme genetik yang menambah sebuah gen. Penemuan DNA membuat Teori Darwin semakin jauh dari ilmiah.</p> <p>Kelemahan fatal -3: Lahirnya bayi yang tak berdaya</p> <p>Menurut Darwin, hanya yang terkuat yang akan bertahan. Namun, pada kenyataannya, mamalia dan burung melahirkan bayi-bayi yang tidak berdaya.</p> <p>Darwin sengaja mengabaikan bayi-bayi yang tak berdaya untuk menyelamatkan teorinya. Mungkin wajar Darwin mengemukakan teori ini karena keterbatasannya di masa lalu. Namun, dengan perkembangan ilmu dewasa ini, sulit mempertahankan teori Darwin. Yang mempertahankan secara ilmiah sepertinya hanya ingin mencari kemungkinan kebenaran teori ini. Namun, banyak juga yang mempertahankannya secara tidak ilmiah, yaitu kaum ateis dan materialis. Padahal mungkin Darwin sendiri tidak berpikir mengaitkan teorinya ini ke arah paham tertentu.</p> <p>Ada lagi keanehan, Dr. Richard Dawkins (pendukung teori Darwin) menjabarkan proses evolusi mulai dari makhluk hidup paling sederhana hingga manusia:<br />* Prokaryotes (4 milyar tahun lalu)<br />* Eukaryotes (2 milyar tahun lalu)<br />* Organisme multiseluler (1 milyar tahun lalu)<br />* Hewan sederhana (600 juta tahun lalu)<br />* Arthropoda (nenek moyang serangga dan krustasea) 570 juta tahun lalu<br />* Hewan yang lebih kompleks (550 juta tahun lalu)<br />* Ikan(500 juta tahun lalu)<br />* Protoamphibi (kurang dari 500 juta tahun)<br />* Serangga (400 juta tahun lalu)<br />* Amphibi (360 juta tahun lalu)<br />* Reptil (300 juta tahun lalu)<br />* Mammalia (200 juta tahun lalu)<br />* Burung (150 juta tahun lalu)<br />* Manusia (termasuk hominid) 2 juta tahun lalu</p> <p>Jika benar mahluk hidup berasal dari dari sel, lalu berevolusi menjadi binatang dan kemudian menjadi manusia, maka muncul beberapa pertanyaan sehubungan Teori ‘penciptaan’ Darwin di atas:</p> <p>* Mengapa kuman, bakteri, ikan, katak, reptil, binatang memamah biak dan burung-burung tetap ada sampai sekarang?<br />* Jika proses metamorfosis dipakai sebagai contoh berevolusinya kehidupan mahluk hidup, mengapa itu hanya terjadi pada katak dan kupu-kupu saja?<br />* Jika benar bahwa manusia berasal dari kera, mengapa kera /monyet dengan segala jenisnya dan manusia dengan segala rasnya tetap ada?</p> <p>Pada tanggal 22 Desember 1938, terjadi sebuah penemuan yang sangat menarik di Samudera Hindia. Di sana berhasil ditangkap hidup-hidup salah satu anggota famili Coelacanth, yang sebelumnya diajukan sebagai bentuk “transisi ikan menjadi amphibi” yang telah punah 70 juta tahun lalu! Tak diragukan lagi, penemuan prototipe Coelacanth “hidup” ini menjadi pukulan hebat bagi para evolusionis. Seorang ahli paleontologi evolusionis, J.L.B. Smith, mengatakan bahwa ia tak akan sekaget ini jika bertemu dengan seekor dinosaurus hidup. Pada tahun-tahun berikutnya, 200 ekor Coelacanth berhasil ditangkap di berbagai penjuru dunia. Nelayan Indonesia bernama Yustinus Lahama menemukan ikan coelacanth (Latimeria chalumnae) tahun 2007.</p> <p>A. Kelemahan teori evolusi tentang manusia</p> <p>Para pendukung teori Darwin berkesimpulan bahwa bentuk awal spesies manusia berawal di Asia sejak 500.000 ribu tahun yang lalu. Penemuan di Afrika Timur menambah informasi bahwa transisi dari bentuk tersebut ke bentuk kera yang menyerupai manusia (homonids) terjadi pada 14 juta tahun yang lalu. Setelah melewati proses sangat lamban (11 juta tahun kemudian), muncul bentuk yang diklasifikasikan sebagai Homo.</p> <p>Jenis pertama dalam klasifikasi ini adalah Advanced Australophitecus dari Afrika, sekitar 2 juta tahun yang lalu. Setelah sekitar 1 juta tahun, muncul Homo Erectus dan ditambah lagi 900.000 tahun (50.000 SM) barulah muncul jenis manusia primitif pertama yaitu, Neanderthal. Yang perlu dicatat adalah perkakas primitif seperti batu tajam yang dipergunakan Advanced Australophitecus dan Neandertha berbentuk hampir mirip, padahal rentang waktu antara kedua jenis tersebut adalah 2 juta tahun. Artinya selama rentang masa itu, perkembangan peradaban dan intelektualitas berjalan dalam percepatan yang sangat lambat.</p> <p>Lalu secara mendadak dan tiba-tiba 35.000 tahun lalu muncul suatu species baru yaitu Homo Sapiens (manusia berpikir) di wilayah Mediterania, setelah punahnya species Neanderthal dengan sebab yang diperkirakan oleh para ahli akibat kondisi iklim yang memburuk pada waktu itu. Spesies baru ini yang disebut Homo Sapiens atau Cro Magnon sudah memiliki bentuk fisik seperti kita sekarang ini, dan memiliki peradaban yang lebih maju dibandingkan spesies sebelumnya. Mereka hidup di gua-gua, sudah mengenal pakaian dan perkakas yang lebih halus dan fungsional yang dibuat dari kayu dan tulang. Lukisan2 yang ditemukan di dinding2 gua tersebut menunjkan bahwa mereka sudah memiliki cita rasa seni, emosi dan religi.</p> <p>Disinilah letak kelemahan prinsip “The Missing Link” teori Darwin, Mengapa bisa terjadi lonjakan spesies, peradaban, kebudayaan dan teknologi seperti itu.? Menurut Prof. Theodosius Dobhansky (pengarang buku Mankind Evolving) yang paling mengherankan adalah bukan keterbelakangan manusia purba, tetapi adalah kemajuan kita, manusia modern yang sangat pesat. Menurutnya, dengan percepatan evolusi normal manusia sekarang harusnya masih dalam tahap primitif, untuk mengembangkan perkakas batu saja diperlukan 2 juta tahun lagi. Bahkan, mungkin dengan evolusi 10 juta tahun lagi manusia baru mencapai dasar ilmu astronomi dan matematika. Tapi justru kita, manusia yang hanya berselisih sekitar 50.000 tahun saja sudah dapat mendaratkan pesawat di bulan dengan teknologi komputer.</p> <p>Ralph Solecki, arkeolog yang menemukan penemuan yang sangat mengejutkan di gua Shanidar Timur tengah pada tahun 1957. Pada saat penggalian tersebut terkuak bukti-bukti bahwa peradaban manusia tidak menunjukkan kemajuan seiring dengan perjalanan waktu, melainkan malah menunjukan kemunduran.dari tahun 27.000 SM hingga 11.000 SM ditemukan bukti bahwa populasi manusia menyusut dan hampir punah dari seluruh area tersebut selama masa 16.000 tahun. Lalu di titik 11.000 SM itulah muncul jenis Homo Sapiens yang langsung dan sekaligus membawa peradaban, budaya, dan teknologi yang jauh lebih maju.</p> <p>Lalu akan timbul pertanyaan dalam benak kita, “ Apakah kita atau leluhur kita bisa mencapai peradaban dan teknologi tersebut dengan usaha sendiri atau ada campur tangan pihak lain, ( misalnya pewarisan) teknologi dari peradaban lain yang lebih maju?”</p> <p>Kebudayaan yang sudah maju pada jaman dahulu, mis: peradaban Lembah Sungai Nil dan kebudayaan Maya & Inca. Dari mana semua ini berasal?</p> <p>Ahli purbakala Graham Hancock dalam esainya tahun 2000 mengemukakan teori bahwa kompleks kuil Angkor Wat di Kamboja merefleksikan susunan rasi bintang Draco, dan dalam risetnya mengenai kota yang hilang Atlantis berpendapat bahwa kemungkinan besar penduduk Atlantislah yang pada saat itu telah memiliki pengetahuan yang sangat luas dan mewariskan pengetahuan tersebut ke bangsa lainnya. Sebelum akhirnya mereka musnah akibat Atlantis tenggelam. Teori yang menarik, mengingat rata2 bangunan ini dibangun pada rentang waktu 12.000 – 3.000 tahun yang lalu. Di kala manusia pada saat itu masih pada jaman batu. Ahli arkeologis Kristen berasumsi bahwa penduduk Atlantis tenggelam karena air bah, tetapi hanya Nuh sekeluarga yang diselamatkan dan meneruskan kebudayaan Atlantis.</p> <p>Dengan asumsi teori Darwin, maka sulit dipercaya manusia yang masih primitif memiliki metode konstruksi bangunan raksasa dengan keakuratan geometri mengagumkan dan salah satu motifnya adalah pengamatan astronomi, tanpa bantuan alat2 berat atau mesin canggih yang dimiliki manusia modern sekarang. Bahkan, saking rumit dan besarnya bangunan tersebut, diragukan jika manusia sekarang bisa meniru pembuatan struktur tersebut.</p> <p>Manusia Piltdown: Rahang Orang Utan dan Tengkorak Manusia!<br />Seorang dokter terkenal yang juga ahli paleoantropologi amatir, Charles Dawson, menyatakan bahwa ia telah menemukan tulang rahang dan fragmen tengkorak di dalam sebuah lubang di Piltdown, Inggris, pada tahun 1912. Tulang rahang tersebut lebih mirip tulang rahang kera, tetapi gigi dan tengkorak-nya seperti milik manusia. Spesimen ini dinamakan “Manusia Piltdown”. Fosil ini diduga berusia 500 ribu tahun, dan dipajang di beberapa museum sebagai bukti mutlak evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun, telah banyak artikel ilmiah mengenai “Manusia Piltdown” ditulis, sejumlah penafsiran dan gambar dibuat, dan fosil tersebut dikemukakan sebagai bukti penting evolusi manusia.</p> <p>Akan tetapi, dalam analisis terperinci yang diselesaikan oleh Weiner, ternyata semua adalah kepalsuan. Hal ini diumumkan pada tahun 1953. Tengkorak tersebut milik manusia yang berusia 500 tahun, dan tulang rahangnya milik kera yang baru saja mati! Kemudian gigi-gigi disusun berderet dan ditambahkan pada rahangnya secara khusus, dan sendinya dirancang menyerupai sendi manusia. Lalu semua bagian diwarnai dengan potasium dikromat agar tampak tua. Warna ini memudar ketika dicelup dalam larutan asam. Dengan terungkapnya fakta ini, “Manusia Piltdown” kemudian segera disingkirkan dari British Museum setelah lebih dari 40 tahun dipajang di sana.</p> <p>Bagaimana dengan berbagai jenis manusia purba yang lain?<br />Menurut skema rekaan evolusionis, evolusi internal spesies Homo adalah sebagai berikut: pertama Homo erectus, kemudian Homo sapiens purba dan Manusia Neandertal, lalu Manusia Cro-Magnon dan terakhir manusia modern. Akan tetapi, semua klasifikasi ini ternyata hanya ras-ras asli manusia. Perbedaan di antara mereka tidak lebih dari perbedaan antara orang Inuit (eskimo) dengan negro atau antara pigmi dengan orang Eropa. Sedangkan fosil-fosil lainnya adalah spesies kera.</p> <p>B. Kelemahan teori Evolusi berdasarkan ilmu genetika</p> <p>DNA ( Deoxyribo Nucleic Acid ) sebagai susunan struktur dasar pembentuk kehidupan sudah dikenal dalam ilmu biologi dan genetika abad 20. Dicetuskan oleh ilmuwan pemenang Nobel Biologi bernama Francis Crick yang menemukan struktur double helix dari DNA. Melalui teorinya yang mencengangkan, yaitu Directed Panspermia pada tahun 1973, Crick mendeklarasikan “ ASAL MULA DNA BUKANLAH DARI BUMI ” melainkan datang dari suatu tempat di luar bumi. Crick menemukan bahwa asal mula bentuk kehidupan di dunia ini berasal dari sumber yang tunggal bukan dari sumber yang jamak. Dan dalam kasus DNA manusia unsur-unsur kimia pembentuknya justru lebih banyak terdiri dari unsur-unsur yang tidak banyak terdapat dibumi. Sungguh aneh memang jika DNA diasumsikan terjadi karena proses kimia dan fisika dibumi, kenapa justru DNA itu sendiri banyak mengandung unsur2 yang justru langka di bumi.</p> <p>Hipotesis Crick :<br />1. Kode genetik adalah identik pada semua mahluk hidup<br />2. Bentuk2 kehidupan awal muncul secara tiba-tiba dibumi ini, tanpa adanya tanda2 eksistensi dari nenek moyang sebelumnya.</p> <p>Mungkinkah DNA ini berasal dari luar bumi sana? Mungkin sekali dan sampai saat ini belum ada bantahan mengenai teori Crick ini, malah beberapa ilmuwan justru menguatkan teori tersebut. Dan DNA ini tidak mungkin terbawa secara tidak sengaja oleh komet atau meteor karena sesuatu yang hidup akan mengalami kematian di perjalanan tersebut. Kemungkina lain juga bahwa DNA ini di bawa dengan transportasi khusus ke bumi dan siapapun yang membawanya kemudian melakukan penanaman genetik. Dan apakah munculnya Homo sapiens secara tiba2 akibat dari penanaman kode genetik ini? Seakan ada kuasa adikodrati yang melakukan hal itu.</p> <p>Akan tetapi, pengikut Darwin berfokus kepada pertanyaan tentang asal usul variasi menguntungkan yang diasumsikan menjadi penyebab makhluk hidup berevolusi sebuah masalah yang tidak mampu dijelaskan oleh Darwin sendiri dan dielakkan dengan bergantung pada teori Lamarck. Gagasan mereka kali ini adalah “mutasi acak” (random mutations). Mereka menamakan teori baru ini “Teori Evolusi Sintetis Modern” (The Modern Synthetic Evolution Theory), yang dirumuskan dengan menambahkan konsep mutasi pada teori seleksi alam Darwin. Dalam waktu singkat, kaum ateis dan materialis yang berusaha mempertahankan pahamnya dengan teori ini, dikenal sebagai “neo-Darwinisme” dan mereka yang mengemukakannya disebut “neo-Darwinis”.</p> <p>Teori ini dapat kita anggap sebagai teori evolusi yang “paling diakui” saat ini, menyatakan bahwa kehidupan telah mengalami perubahan atau berevolusi melalui dua mekanisme alamiah: “seleksi alam” dan “mutasi”. Dasar teori ini sebagai berikut: seleksi alam dan mutasi adalah dua mekanisme yang saling melengkapi. Modifikasi evolusioner berasal dari mutasi secara acak yang terjadi pada struktur genetis makhluk hidup. Sifat-sifat yang ditimbulkan oleh mutasi kemudian diseleksi melalui mekanisme seleksi alam dan dengan demikian makhluk hidup berevolusi.</p> <p>Beberapa dekade berikutnya menjadi era perjuangan berat untuk membuktikan kebenaran teori evolusi sintetis modern. Telah diketahui bahwa mutasi atau “kecelakaan” yang terjadi pada gen-gen makhluk hidup selalu membahayakan. Ilmuwan berupaya memberikan contoh “mutasi yang menguntungkan” dengan melakukan ribuan eksperimen mutasi. Akan tetapi semua upaya mereka berakhir dengan kegagalan total.</p> <p>Mereka juga berupaya membuktikan bahwa makhluk hidup pertama muncul secara kebetulan di bawah kondisi-kondisi bumi primitif, seperti yang diasumsikan teori tersebut. Akan tetapi eksperimen-eksperimen ini pun menemui kegagalan. Setiap eksperimen yang bertujuan membuktikan bahwa kehidupan dapat dimunculkan secara kebetulan telah gagal. Perhitungan probabilitas membuktikan bahwa tidak ada satu pun protein, yang merupakan molekul penyusun kehidupan, dapat muncul secara kebetulan. Begitu pula sel, yang menurut anggapan evolusionis muncul secara kebetulan pada kondisi bumi primitif dan tidak terkendali, tidak dapat disintesis oleh laboratorium-laboratorium abad ke-20 yang tercanggih sekalipun.</p> <p>Eksperimen Miller<br />Tujuan Stanley Miller adalah mengajukan penemuan eksperimental yang menunjukkan bahwa asam amino, bahan pembangun protein, dapat muncul “secara kebetulan” di bumi yang tidak berkehidupan miliaran tahun lalu.</p> <p>Dalam eksperimennya, Miller menggunakan campuran gas yang diasumsikan terdapat di bumi purba (yang kelak terbukti tidak realistis) terdiri dari amonia, metan, hidrogen dan uap air. Karena dalam kondisi alamiah gas-gas ini tidak saling bereaksi, Miller memberikan stimulasi energi untuk memulai reaksi antara gas-gas tersebut. Dengan menganggap energi ini bisa berasal dari kilat dalam atmosfir purba, ia menggunakan sumber penghasil listrik buatan untuk menyediakan energi tersebut.</p> <p>Miller mendidihkan campuran gas ini pada suhu 100°C selama seminggu, dan sebagai tambahan dia mengalirkan arus listrik. Di akhir minggu, Miller menganalisis senyawa-senyawa kimia yang terbentuk di dasar gelas percobaan dan menemukan tiga dari 20 jenis asam amino, bahan dasar protein telah tersintesis.</p> <p>Eksperimen ini membangkitkan semangat evolusionis dan dianggap sebagai sukses besar. Dalam luapan kegembiraan, berbagai terbitan memasang tajuk utama seperti “Miller menciptakan kehidupan”. Akan tetapi, molekul-molekul yang berhasil disintesis Miller ternyata hanya beberapa molekul “tidak hidup”.</p> <p>Didorong oleh eksperimen ini, evolusionis segera membuat skenario baru. Hipotesis tahap lanjutan tentang pembentukan protein segera dirumuskan. Menurut mereka, asam-asam amino kemudian bergabung dalam urutan yang tepat secara kebetulan untuk membentuk protein. Sebagian protein-protein yang terbentuk secara kebetulan ini menempatkan diri mereka dalam struktur seperti membran yang “entah bagaimana” muncul dan membentuk sel primitif. Sel-sel kemudian bergabung dan membentuk organisme hidup.</p> <p>Akan tetapi, eksperimen Miller hanya akal-akalan dan telah terbukti tidak benar dalam segala aspek. Keseluruhan eksperimen ini tidak lebih dari sebuah eksperimen laboratorium yang terkontrol dan terarah untuk mensintesis asam amino. Jumlah dan jenis gas dalam eksperimen ini secara ideal ditentukan agar asam amino terbentuk. Jumlah energi yang disalurkan ke dalam sistem diatur dengan tepat agar reaksi yang diperlukan terjadi. Peralatan eksperimen diisolasi sehingga tidak terkontaminasi unsur-unsur lain yang berbahaya, destruktif, atau menghalangi pembentukan asam amino. Padahal unsur-unsur seperti ini kemungkinan besar ada dalam kondisi bumi purba. Unsur-unsur, mineral atau senyawa kimia yang ada pada kondisi purba dan berkemungkinan mengubah reaksi tidak dimasukkan dalam eksperimen. Oksigen yang mencegah pembentukan asam amino dengan oksidasi hanya salah satu dari unsur-unsur destruktif ini. Bahkan dalam kondisi laboratorium ideal, mustahil asam amino yang terbentuk bertahan dan terhindar dari kerusakan tanpa mekanisme cold trap.</p> <p>Teori evolusi sintesis modern telah diperlemah pula oleh catatan fosil. Tidak pernah ditemukan di belahan dunia mana pun “bentuk-bentuk transisi” yang diasumsikan sebagai bukti evolusi bertahap pada makhluk hidup dari spesies primitif ke spesies lebih maju. Begitu pula perbandingan anatomi menunjukkan bahwa spesies yang diduga telah berevolusi dari spesies lain ternyata memiliki ciri-ciri anatomi yang sangat berbeda, sehingga mereka tidak mungkin menjadi nenek moyang dan keturunannya. Dan ada satu hal lagi yang menjadi masalah, yaitu model evolusi mana yang “benar” dari sekian banyak model yang diajukan.</p> <p>Seleksi Alam tidak mengarah ke proses evolusi<br />Sebagai suatu proses alamiah, seleksi alam telah dikenal ahli biologi sebelum Darwin. Seleksi alam menyatakan bahwa makhluk-makhluk hidup yang lebih mampu menyesuaikan diri dengan kondisi alam habitatnya akan mendominasi dengan cara memiliki keturunan yang mampu bertahan hidup, sebaliknya yang tidak mampu akan punah. Sebagai contoh, dalam sekelompok rusa yang hidup di bawah ancaman hewan pemangsa, secara alamiah rusa-rusa yang mampu berlari lebih kencang akan bertahan hidup. Itu memang benar. Akan tetapi, hingga kapan pun proses ini berlangsung, tidak terbukti membuat rusa-rusa tersebut menjadi spesies lain. Rusa akan tetap menjadi rusa.</p> <p>Seleksi alam terbukti hanya mengeliminir individu-individu suatu spesies yang cacat, lemah atau tidak mampu beradaptasi dengan habitatnya. Mekanisme ini tidak terbukti dapat menghasilkan spesies baru, informasi genetis baru, atau organ-organ baru. Dengan demikian, seleksi alam tidak terbukti menyebabkan apa pun berevolusi. Darwin menerima kenyataan ini dengan mengatakan: “Seleksi alam tidak dapat melakukan apa pun sampai variasi-variasi menguntungkan berkebetulan terjadi”. Karena itulah evolusionis harus mengangkat mutasi sejajar dengan seleksi alam sebagai “penyebab perubahan-perubahan menguntungkan”. Akan tetapi, seperti yang akan kita lihat, mutasi hanya terbukti menjadi “penyebab perubahan-perubahan merugikan”.</p> <p>Mutasi mengarah kepada penurunan kualitas makhluk hidup, tidak terbukti mengarah ke evolusi<br />Mutasi didefinisikan sebagai pemutusan atau penggantian yang terjadi pada molekul DNA, yang terdapat dalam inti sel makhluk hidup dan berisi semua informasi genetis. Pemutusan atau penggantian ini diakibatkan pengaruh-pengaruh luar seperti radiasi atau reaksi kimiawi. Setiap mutasi adalah “kecelakaan” dan merusak nukleotida-nukleotida yang membangun DNA atau mengubah posisinya. Hampir selalu, mutasi menyebabkan kerusakan dan perubahan yang sedemikian parah sehingga tidak dapat diperbaiki oleh sel tersebut.</p> <p>Akibat langsung mutasi sungguh berbahaya. Perubahan-perubahan akibat mutasi hanya akan berupa kematian, cacat dan abnormalitas, seperti yang dialami oleh penduduk Hiroshima dan Nagasaki. Alasannya sangat sederhana: DNA memiliki struktur teramat kompleks, dan pengaruh-pengaruh yang acak hanya akan menyebabkan kerusakan pada struktur tersebut. Penyakit kanker dan penyakit lain dewasa ini juga akibat mutasi yang merugikan itu. Penyakit sekarang yang merajalela kebanyakan mutasi DNA yang merugikan. Alih-alih menjadi spesies yang lebih sempurna malah menimbulkan penyakit dalam spesies yang sama. Dalam dunia medis sekarang malah berusaha menghentikan mutasi tersebut yang katanya ‘proses evolusi’.</p> <p>B.G. Ranganathan menyatakan:<br />Mutasi bersifat kecil, acak dan berbahaya. Mutasi pun jarang terjadi dan kalaupun terjadi, kemungkinan besar mutasi itu tidak berguna. Empat karakteristik mutasi ini menunjukkan bahwa mutasi tidak dapat mengarah pada perkembangan evolusioner. Suatu perubahan acak pada organisme yang sangat terspesialisasi bersifat tidak berguna atau membahayakan. Perubahan acak pada sebuah jam tidak dapat memperbaiki, malah kemungkinan besar akan merusaknya atau tidak berpengaruh sama sekali. Gempa bumi tidak akan memperbaiki kota, tetapi menghancurkannya.</p> <p>Agar dapat diwariskan pada generasi selanjutnya, mutasi juga terjadi pada sel-sel reproduksi organisme tersebut. Perubahan acak yang terjadi pada sel biasa atau organ tubuh tidak dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sebagai contoh, mata manusia yang berubah akibat efek radiasi atau sebab lain, tidak akan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya.</p> <p>C. Catatan Fosil tidak membuktikan evolusi</p> <p>Menurut teori evolusi, setiap spesies hidup berasal dari satu nenek moyang. Spesies yang ada sebelumnya lambat laun berubah menjadi spesies lain, dan semua spesies muncul dengan cara ini. Menurut teori tersebut, perubahan ini berlangsung sedikit demi sedikit dalam jangka waktu jutaan tahun. Dengan demikian, maka seharusnya pernah terdapat sangat banyak spesies peralihan selama periode perubahan yang panjang ini.</p> <p>Sebagai contoh, seharusnya terdapat beberapa jenis makhluk setengah ikan setengah reptil di masa lampau, dengan beberapa ciri reptil sebagai tambahan pada ciri ikan yang telah mereka miliki. Atau seharusnya terdapat beberapa jenis burung-reptil dengan beberapa ciri burung di samping ciri reptil yang telah mereka miliki. Evolusionis menyebut makhluk-makhluk imajiner yang mereka yakini hidup di masa lalu ini sebagai “bentuk transisi”.</p> <p>Jika binatang-binatang seperti ini memang pernah ada, maka seharusnya mereka muncul dalam jumlah dan variasi sampai jutaan atau milyaran. Lebih penting lagi, sisa-sisa makhluk-makhluk aneh ini seharusnya ada pada catatan fosil. Jumlah bentuk-bentuk peralihan ini pun semestinya jauh lebih besar daripada spesies binatang masa kini dan sisa-sisa mereka seharusnya ditemukan di seluruh penjuru dunia.</p> <p>Dalam The Origin of Species, Darwin menjelaskan:</p> <p>“Jika teori saya benar, pasti pernah terdapat jenis-jenis bentuk peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang mengaitkan semua spesies dari kelompok yang sama…. Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lampau hanya dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan fosil.”</p> <p>Bahkan Darwin sendiri sadar akan ketiadaan bentuk-bentuk peralihan tersebut. Ia berharap bentuk-bentuk peralihan itu akan ditemukan di masa mendatang. Namun di balik harapan besarnya ini, ia sadar bahwa rintangan utama teorinya adalah ketiadaan bentuk-bentuk peralihan.</p> <p>Karena itulah dalam buku The Origin of Species, pada bab “Difficulties of the Theory” ia menulis:<br />… Jika suatu spesies memang berasal dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak melihat sejumlah besar bentuk transisi di mana pun? Mengapa alam tidak berada dalam keadaan kacau-balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies hidup dengan bentuk sebaik-baiknya? Menurut teori ini harus ada bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah tidak terhitung? Dan pada daerah peralihan, yang memiliki kondisi hidup peralihan, mengapa sekarang tidak kita temukan jenis-jenis peralihan dengan kekerabatan yang erat? Telah lama kesulitan ini sangat membingungkan saya.”</p> <p>Satu-satunya penjelasan Darwin atas hal ini adalah bahwa catatan fosil yang telah ditemukan hingga kini belum memadai. Ia menegaskan jika catatan fosil dipelajari secara terperinci, mata rantai yang hilang (The Missing Link) akan ditemukan.</p> <p>Karena mempercayai ramalan Darwin, kaum evolusionis telah berburu fosil dan melakukan penggalian mencari mata rantai yang hilang di seluruh penjuru dunia sejak pertengahan abad ke-19. Walaupun mereka telah bekerja keras, tak satu pun bentuk transisi ditemukan. Bertentangan dengan kepercayaan evolusionis, semua fosil yang ditemukan justru membuktikan bahwa kehidupan muncul di bumi secara tiba-tiba dan dalam bentuk yang telah lengkap. Usaha mereka untuk membuktikan teori evolusi justru tanpa sengaja tidak membuktikan teori itu sendiri.</p> <p>Ahli paleontologi evolusionis lainnya, Mark Czarnecki, berkomentar sebagai berikut:<br />Kendala utama dalam membuktikan teori evolusi selama ini adalah catatan fosil; jejak spesies-spesies yang terawetkan dalam lapisan bumi. Catatan fosil belum pernah mengungkapkan jejak-jejak jenis peralihan hipotetis Darwin. Sebaliknya, spesies muncul dan musnah secara tiba-tiba. Anomali ini menguatkan argumentasi kaum kreasionis.</p> <p>Bagaimana bumi ini dipenuhi berbagai jenis binatang secara tiba-tiba dan bagaimana spesies-spesies yang berbeda-beda ini muncul tanpa nenek moyang yang sama adalah pertanyaan yang masih belum terjawab oleh evolusionis.</p> <p>Richard Dawkins, ahli zoologi Oxford, salah satu pembela evolusionis terkemuka di dunia, berkomentar mengenai realitas ini:<br />“Sebagai contoh, lapisan batuan Kambrium yang berumur sekitar 600 juta tahun, adalah lapisan tertua di mana kita menemukan sebagian besar kelompok utama invertebrata. Dan kita dapati sebagian besarnya telah berada pada tahap lanjutan evolusi, saat pertama kali mereka muncul. Mereka seolah-olah ditempatkan begitu saja di sana, tanpa proses evolusi. “Tentu saja, kesimpulan tentang kemunculan tiba-tiba ini menggembirakan kreasionis.</p> <p>Dawkins terpaksa mengakui, “Ledakan Kambrium adalah bukti kuat adanya penciptaan, karena penciptaan adalah satu-satunya penjelasan mengenai kemunculan bentuk-bentuk kehidupan yang sempurna secara tiba-tiba di bumi ini.”</p> <p>Douglas Futuyma, ahli biologi evolusionis terkemuka mengakui fakta ini dan mengatakan: “Organisme muncul di muka bumi dengan dua kemungkinan: dalam bentuk yang telah sempurna atau tidak sempurna. Jika muncul dalam bentuk tidak sempurna, mereka pasti telah berkembang dari spesies yang telah ada sebelumnya melalui proses modifikasi. Jika mereka memang muncul dalam keadaan sudah berkembang sempurna, mereka pasti telah diciptakan oleh suatu kecerdasan dengan kekuasaan tak terbatas.”</p> <p>Darwin sendiri menyadari kemungkinan ini ketika menulis: “Jika banyak spesies benar-benar muncul dalam kehidupan secara serempak dari genera atau famili-famili yang sama, fakta ini akan berakibat fatal bagi teori penurunan dengan modifikasi perlahan-lahan melalui seleksi alam.”</p> <p>D. Kekeliruan tentang Organ-Organ Peninggalan</p> <p>Menurut evolusionis, di dalam tubuh beberapa jenis makhluk hidup terdapat sejumlah organ-organ tubuh yang tidak fungsional. Organ-organ ini diwarisi dari nenek moyang mereka dan perlahan-lahan menjadi peninggalan karena tidak digunakan.</p> <p>Semua asumsi ini sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan pada pengetahuan yang tidak memadai. “Organ-organ tidak fungsional” ini pada kenyataannya adalah organ-organ yang “fungsinya belum diketahui”. Ini ditunjukkan dengan berkurangnya organ peninggalan sedikit demi sedikit tetapi pasti dari daftar panjang evolusionis.</p> <p>Daftar organ peninggalan yang dibuat ahli anatomi Jerman R. Wiedersheim pada tahun 1895 terdiri dari sekitar 100 organ, termasuk usus buntu dan tulang ekor. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, ternyata semua organ dalam daftar ini diketahui berfungsi penting dalam tubuh. Misalnya, usus buntu yang semula dianggap sebagai organ peninggalan ternyata merupakan organ limfoid yang memerangi infeksi dalam tubuh. Fakta ini menjadi jelas pada tahun 1997: “Organ-organ dan jaringan tubuh lainnya - kelenjar timus, hati, limpa, usus buntu, sumsum tulang, sejumlah jaringan limfatis seperti amandel dan lempeng Peyer pada usus kecil - juga merupakan bagian dari sistem limfatis. Semuanya membantu tubuh memerangi infeksi.</p> <p>Ditemukan bahwa amandel, yang juga digolongkan organ peninggalan, berperan penting dalam melindungi kerongkongan dari infeksi, khususnya sampai usia dewasa. Tulang ekor pada bagian bawah tulang belakang ternyata menyokong tulang-tulang di sekitar panggul dan merupakan titik temu dari beberapa otot kecil. Tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa kelenjar timus memicu sistem kekebalan tubuh dengan mengaktifkan sel-sel T; kelenjar pineal berperan dalam sekresi beberapa hormon penting; kelenjar gondok menunjang pertumbuhan yang baik pada bayi dan anak-anak; dan kelenjar pituitari mengendalikan banyak kelenjar-kelenjar hormon agar berfungsi dengan benar. Sebelumnya, semua organ ini dianggap sebagai “organ peninggalan”. Lipatan cekung di ujung mata yang diajukan Darwin sebagai organ peninggalan ternyata berperan membersihkan dan melumasi bola mata.</p> <p>Ahli biologi terkenal, H. Enoch, penentang teori organ peninggalan, menyatakan kesalahan logika ini sebagai berikut:<br />Kera memiliki usus buntu, sedangkan kerabat terdekat di bawahnya tidak; usus buntu ini muncul lagi pada hewan mamalia lain yaitu oposum. Bagaimana evolusionis dapat menjelaskan kenyataan ini?<br />Dalam tubuh manusia tidak ada organ peninggalan yang diwariskan karena manusia tidak berevolusi dari makhluk lain secara kebetulan. Manusia ada dalam bentuknya seperti sekarang, lengkap dan sempurna.</p> <p>E. Organ-organ Serupa pada Spesies yang Berbeda</p> <p>Dalam ilmu biologi, kemiripan struktural di antara spesies yang berbeda disebut “homologi”. Evolusionis mencoba mengajukan kemiripan tersebut sebagai bukti evolusi.</p> <p>Darwin mengira bahwa makhluk-makhluk dengan organ yang mirip (homolog) memiliki hubungan evolusi di antara mereka, dan organ-organ ini diwarisi dari nenek moyang yang sama. Menurut asumsinya, merpati dan elang memiliki sayap; karena itu merpati, elang dan bahkan semua unggas bersayap berevolusi dari nenek moyang yang sama.</p> <p>Ada sejumlah organ homolog yang sama-sama dimiliki berbagai spesies berbeda, namun evolusionis tidak mampu menunjukkan hubungan evolusi di antara mereka. Misalnya sayap. Selain pada burung, sayap terdapat pula pada hewan mamalia (seperti kelelawar), pada serangga, bahkan pada jenis reptil yang telah punah (beberapa dinosaurus). Tetapi evolusionis tidak menyatakan hubungan evolusi atau kekerabatan di antara keempat kelompok makhluk hidup tersebut.</p> <p>Homologi merupakan argumen menyesatkan yang dikemukakan hanya berdasarkan kemiripan fisik. Sejak zaman Darwin hingga sekarang, argumen ini belum pernah dibuktikan oleh satu temuan konkret pun. Tidak pernah ditemukan satu pun fosil nenek moyang imajiner yang memiliki struktur-struktur homolog.</p> <p>KESIMPULAN<br />Mengarah kepada kesimpulan bahwa makhluk hidup memang beragam pada mulanya. “Fenomena evolusi spesies” yang kita lihat selama ini mengarah kepada fenomena penurunan keanekaragaman hayati. Sebenarnya terjadi proses kepunahan dari berbagai spesies. Spesies yang tidak mampu bertahan akan mengalami kepunahan. Ini menjelaskan kelemahan fenomena “The Missing Link” dalam teori evolusi bahwa sebenarnya “link” tersebut tidak terbukti karena antar spesies tidak terbukti memiliki hubungan kekerabatan. Justru lebih baik berfokus pada pelestarian keanekaragaman hayati untuk mencegah kepunahan spesies-spesies yang masih bertahan.</p> <div class="photo photo_none"> <div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30561130&op=1&view=all&subj=262382315207&aid=-1&auser=0&oid=262382315207&id=1023848844"><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs170.snc3/19775_1233928721374_1023848844_30561130_7114775_n.jpg" alt="" /></a></div> <div class="caption">Nelayan Indonesia bernama Yustinus Lahama menemukan ikan coelacanth (Latimeria chalumnae) tahun 2007. Sebelumnya ditemukan pertama kali tahun 1938 di Afrika, fosilnya dikira sebagai bentuk peralihan evolusi makhluk air ke darat karena memiliki empat sirip menyerupai kaki (dikira punah 65 juta tahun lalu). Ternyata masih ada, malah sebelumnya juga ditemukan di Sulawesi tahun 1998. Jawaban dari pertanyaan ilmiah melimpah di negeri ini, termasuk fosil-fosil purba, dan jejak vulkanik. Tetapi justru kita menjadi yang terbelakang karena berada di ‘zona nyaman kekayaan alam dan budaya klenik’. Jika tidak diberitahu, tentu tidak akan mengira ini menjadi salah satu bukti kesalahan teori evolusi, tetapi malah disembah menjadi ‘ikan dewa’ :D</div> </div> <br /> <p><a href="http://www.kompasiana.com/tag/teori-evolusi/"><br /></a></p> </div>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-4317072351715603012010-07-07T03:03:00.000-07:002010-07-08T04:47:40.146-07:00Mahadewi Terindah di Alam SemestaTiga windu kami berada dalam dekapanmu<br />Merasakan kehangatan yang belum pernah kudapatkan selain dari Sang Khalik<br />Ya, engkau perwakilan Yang Mahatinggi untuk mengasuhku di planet ini<br />Engkau lebih indah dari Galaksi Andromeda<br />Cintamu lebih cepat melesat daripada kecepatan Bima Sakti menuju Vega<br />Kau lebih cantik daripada aurora di Kutub Utara<br />Lebih agung daripada matahari<br />Kasihmu jauh melebihi jumlah bintang di langit<br />Mega-mega pun tidak bisa menandingi perlindunganmu<br />Kau Mahadewi Terindah di Alam SemestaErfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-32737266457468477452010-07-07T03:02:00.002-07:002010-07-07T03:03:36.635-07:00Ad Majorem Dei Gloriam<div class="fsize14 lh20"> <p>Terpujilah Tuhan Sang Penguasa Galaksi<br />Bumi diinjak-Nya menjadi pijakan kaki<br />Awan tinggi dikebaskan-Nya menjadi debu kaki<br />Malaikat memuji dari singasana tertinggi</p> <p>Terpujilah Tuhan Sang Penjaga Nebula<br />Penata semesta sehingga tetap terpelihara<br />Bak sapuan kuas dijadikan-Nya aurora<br />Menghiasi langit di kutub selatan dan utara</p> <p>Terpujilah Tuhan Sang Pencipta Alam<br />Pujilah Ia siang dan malam<br />Mulialah Ia di tempat-Nya bersemayam<br />Ad Majorem Dei Gloriam</p> <div class="photo photo_none"> <div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30743532&op=1&view=all&subj=385890765207&aid=-1&auser=0&oid=385890765207&id=1023848844"><img class="img" style="width: 460px;" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs533.ash1/31281_1321081860148_1023848844_30743532_8019067_n.jpg" alt="" /></a></div> <div class="caption">“The Horsehead Nebula” ditemukan tahun 1888 di Observatorium Harvard. Terdiri dari gas yang terionisasi akibat terbentuknya bintang-bintang baru. Diminati oleh ilmuwan dunia karena bentuknya yang indah seperti kepala kuda.</div> </div> <br /> <p><br /></p> </div>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-23472611862262423522010-07-07T03:02:00.001-07:002010-07-07T03:02:40.694-07:00Pluralisme= Solusi atau Masalah ?<div class="fsize14 lh20"> <div>Indonesia adalah negara pluralis. Plural (keberagaman) dalam negara ini adalah fakta. Akan tetapi, ketika menjelma dalam suatu paham yang dinamakan pluralisme, maka ketika menjadi suatu -isme hanya akan memfasilitasi golongan tertentu yang memiliki kepentingan tertentu pula. Terkesan bahwa pluralisme ingin menyatukan semua agama, bahkan terkesan sinkretisme (mencampuradukan semua ajaran agama) dan menganggap semua agama pada taraf kebenaran yang sama.</div> <div>Belakangan muncul isu bahwa paham ini menjadi solusi konflik antarumat beragama, bahkan yang tidak menganut paham ini terkesan tidak nasionalis. Padahal nasionalisme tidak ada hubungannya dengan pluralisme. Apalagi ternyata pluralisme yang dewasa ini dikemukakan, ternyata hanya kedok dari ateisme. Suatu pemikiran yang ingin menyatukan dunia, sesuai dengan nubuat kitab-kitab suci bahwa paham ini akan muncul di akhir zaman. Mereka suka memakai isu bahwa negara ini satu, begitu juga dengan semua negara di dunia adalah satu, bahkan semua semesta adalah satu. Lantas di mana letak nasionalismenya jika mereka ingin melepaskan batas antarnegara ?</div> <div>Nasionalisme sejati adalah nasionalisme yang berdasarkan kenyataan tatkala negara itu merdeka/berdiri. Kenyataan ada keberagaman di saat itu tetapi memiliki visi dan misi yang sama. Kenyataan bahwa keberagaman di saat itu terdiri dari agama & budaya asli maupun dari pendatang, termasuk kolonial. Ini menyebabkan lagu keroncong yang berasal dari kolonial bahkan menjadi lagu perjuangan di saat itu, termasuk lagu Indonesia Raya yang dimainkan dengan biola. Termasuk juga kenyataan bahwa perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia juga memakai perbendaharaan kata-kata asing termasuk bahasa kolonial Belanda. Bukan berarti kita mencontek budaya luar karena budaya sendiri juga ada. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kebudayaannya itu sendiri bukan hanya murni budaya nenek moyang, tetapi juga budaya Islam Melayu, bahkan budaya Tionghoa Indonesia yang bahkan sudah berbeda dengan budaya Cina.</div> <div>Ini semua menunjukkan bahwa nasionalisme kita harus berdasarkan kenyataan saat Indonesia berdiri 17 Agustus 1945, bukan mengarah ke arah belakang sebelum tanggal tersebut. Karena jika ditelisik ke belakang, mungkin akhirnya hanya mengarah ke budaya Sindhu yang menjadi peradaban asli Sindhu, bukan budaya NEGARA INDONESIA. Jika ditelisik ke belakang lagi malah akhirnya mengarah ke peradaban Kerajaan Babel (menurut Taurat &Injil) di mana semua bersatu tetapi Kaisarnya yang bernama Nimrod menjadi sombong dan melawan Tuhan dengan membuat menara tinggi untuk sampai ke langit. Akhirnya, Tuhan menceraiberaikan manusia dengan kekacauan bahasa di antara mereka, akhirnya mengarah kepada keberagaman suku dan negara. Di akhir zaman, juga akan ada negara baru lagi di bawah kepemimpinan Antikris/Djajal yang juga disebut sebagai Kerajaan Babel jilid 2.</div> <div>Tidak ada yang salah dengan persatuan dan perdamaian, tetapi ketahuilah bahwa di bawah satu kepemimpinan, akan timbul pemimpin seperti Nimrod, yaitu Antikris. Karena manusia bertabiat dosa dan gampang menjadi sombong jika berhasil memegang dunia. Justru dengan keberagaman, kita mengerti bahwa keinginan kita dibatasi oleh keinginan orang lain sehingga bisa membatasi hawa nafsu kita. Inilah Unity in Diversity yang sesungguhnya, dan bukan Unity in Uniformity. Keberagaman ini jika dimanifestasikan bukan dengan menyatukan dunia di bawah satu agama, tetapi justru memberi kebebasan tiap agama mengklaim kebenaran agama masing-masing asalkan tetap dalam koridor tidak mengganggu kepentingan umum.</div> <div>Kesalahan kaum pluralis yang lain adalah dengan mengklaim bahwa paham mereka adalah benar dan yang lain salah. Terjadi standar ganda di sini karena mereka sendiri mengklaim bahwa mereka menghargai perbedaan. Pluralisme akhirnya juga menuju kesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Padahal ini tidak bisa diterima secara fakta dan logika.</div> <div>Semua agama memang sama pada ajaran umumnya, tetapi berbeda pada ajaran khususnya. Ajaran khusus ini berkaitan tentang kehidupan sesudah mati yang tentu hanya bisa dibuktikan jika kita juga sudah mati. Oleh karena itu, ajaran khusus ini tidak bisa dipaksakan untuk sama. Perbedaan itu adalah suatu fakta, tetapi kaum pluralis seolah mengangkat isu besar bahwa agama-agama yang ada hanya menjadi pemecah belah.</div> <div>Namun, umat beragama sendiri harus introspeksi. Karena pluralisme seperti ini juga muncul akibat ulah umat beragama sendiri. Pengklaiman kebenaran tiap agama jangan dijadikan alasan sebagai pemicu bentrokan karena tiap agama juga menjunjung tinggi KASIH DAN HAM. Yang menjadi masalah adalah para penganut agama belum menjalankan agamanya dengan benar terutama dalam masalah KASIH. Oleh karena itu, mari tebarkan KASIH yang lebih nyata. Cepat bertindak tatkala ada yang mengalami kesusahan, tanpa memandang SARA karena semua agama dan kepercayaan (termasuk kaum pluralis dan atheis) juga punya pandangan yang sama tentang hal ini. Karena altruisme dan volunterisme telah menjadi The Golden Ethic yang bahkan harus dipegang oleh kaum atheis sekalipun. Kasih menyatukan setiap perbedaan dan konflik, hiduplah Bhinneka Tunggal Ika, jayalah Indonesia Raya.</div><br /></div>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-2836285210484224052010-07-07T02:51:00.001-07:002010-07-07T02:51:32.266-07:00Meditasi Membuka Kesempatan Manusia untuk Dicuci Otak (Brainwashed)<div class="fsize14 lh20"> <p>Seperti fenomena gunung es, potensi otak manusia hanya tampak 12 persen<br />saja, sedangkan 88 persen sisanya di bawah permukaan laut. Yang 12<br />persen itu disebut sebagai alam atau pikiran sadar (conscious mind).<br />Sisanya 88 persen disebut alam bawah sadar (subconscious). Antara alam<br />sadar dan bawah sadar dibatasi sebuah garis filter yang disebut<br />reticular activating system (RAS). Garis ini melindungi manusia dari<br />berbagai informasi yang tak perlu sehingga seseorang tetap sadar dan<br />waras.</p> <p>Empat kondisi otak manusia yang mendasari kesadaran:<br />a. Kondisi delta adalah kondisi pada saat manusia sedang tidur.<br />Kecepatan gelombang otak pada saat tidur hanya 0,5 sampai 3,5 putaran<br />per detik. Kondisi delta diperlukan oleh tubuh untuk meremajakan<br />sel-sel tubuh. Tentu saja bila tidak tertidur nyenyak, maka sebagian<br />anggota tubuh tidak melakukan peremajaan sehingga kita mengalami rasa<br />sakit saat bangun tidur.</p> <p>b. Kondisi theta adalah saat gelombang otak manusia mencapai 3,5 sampai<br />7 putaran per detik. Keadaan theta adalah kondisi di mana kita bisa<br />bermimpi dan berkhayal. Keadaan theta bisa dibentuk pada saat meditasi.</p> <p>c. Kondisi alpha yang paling penting untuk menembus pikiran bawah sadar<br />karena bisa membuka 88 persen kekuatan alam bawah sadar. Kondisi alpha<br />adalah kondisi ketika kita berkhayal dan melamun. Kecepatan gelombang<br />alpha mencapai 7 sampai 13 putaran per detik. Perbedaan kondisi alpha<br />dengan theta adalah kesadaran, alpha masih merasakan anggota tubuh kita.</p> <p>d. Kondisi beta adalah kondisi di mana kita bisa sepenuhnya sadar.<br />Dalam kehidupan sehari-hari saat kita terbangun dan memulai aktivitas,<br />maka kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai kondisi beta.</p> <p>Sebenarnya keempat gelombang itu muncul secara bersamaan, tetapi pada<br />satu keadaan hanya ada satu gelombang yang lebih dominan daripada<br />gelombang lainnya. Gelombang ini dapat diukur dengan alat EEG<br />(electroencephalography).</p> <p>Cara termudah memasuki alam bawah sadar adalah membalikkan mata ke atas<br />dan memejamkan mata yang akan membawa kita ke dalam kondisi alpha yang<br />penuh kedamaian. Biasa dilakukan sambil membayangkan tempat yang penuh<br />kedamaian, dapat didukung sebuah musik yang tenang pula.</p> <p>Dalam keadaan alpha, sebuah pintu ke alam bawah sadar terbuka. Saat<br />masuk dan menjelajah alam bawah sadar, otak bisa memprogram hidup kita<br />seperti kemauan kita, pelatih meditasi ,atau penghipnotis. Bahayanya,<br />pikiran bawah sadar tidak pernah mengetahui perbedaan antara imajinasi<br />dengan kenyataan. Walau ada pernyataan bahwa meditasi berlainan dengan<br />hipnotis, tetapi bedanya tipis terutama karena awal dari meditasi<br />tetaplah sama dengan proses hipnotis, yaitu dengan menginduksi<br />terjadinya kondisi alpha ini sehingga membuka kesempatan untuk<br />dihipnotis dalam meditasi. Bahkan ada pusat-pusat meditasi tertentu<br />yang secara terang-terangan mengkombinasikan meditasi dengan hipnotis.</p> <p>Ada 4 hukum yang harus dipenuhi pemrograman pikiran bawah sadar supaya<br />berhasil, yaitu kalimat bersifat positif, saat ini (present tense),<br />bersifat pribadi, dan pengulangan. Dalam memprogram, diperlukan emosi<br />positif dengan mencurahkan segenap jiwa. Saat meditasi, kita harus<br />membayangkan bahwa keinginan kita benar-benar terjadi. Saat kita<br />menginginkan sesuatu, maka visualisasikan dalam alam pikiran bahwa kita<br />mendapat keinginan tersebut. Inilah yang disebut sebagai sugesti yang<br />sebenarnya sama juga dengan hipnotis. Dilarang menyebutkan kalimat,<br />“Aku ingin.” karena Beta akan mengacaukan keinginan yang disebut dalam<br />Alpha.</p> <p>Jika seseorang dilatih oleh seorang ahli meditasi atau membaca buku<br />meditasi yang dikarang oleh seorang ahli meditasi, maka apa yang<br />dibayangkan (jenis sugestinya) juga berdasarkan sugesti yang diberikan<br />pelatih meditasinya. Akibatnya, tetap saja orang tersebut berada dalam<br />sugesti pelatih meditasinya walau dia bermeditasi sendirian di mana pun<br />dan kapan pun.</p> <p>Di masa sekarang juga banyak yang menawarkan meditasi dengan latihan<br />sendiri dengan kedok memotivasi diri sendiri untuk mencapai sukses.<br />Ternyata ini juga tidak lebih dari menghipnotis diri sendiri menurut<br />penelitian James Braid (perintis hipnoterapi yang juga berprofesi<br />sebagai dokter bedah).<br />Pada tahun 1985, Kutz, Borysenko, dan Benson menemukan bahwa meditasi dapat memicu reaksi emosional yang kuat.</p> <p>Ada juga isu bahwa meditasi bagus karena membangkitkan gelombang theta.<br />Penelitian ini harus ditelaah lebih lanjut karena jika hanya gelombang<br />theta saja yang dibangkitkan, kita tidak bisa menjadi pribadi yang<br />waspada tatkala bahaya menyerang. Padahal gelombang betalah yang harus<br />berperan dalam kondisi waspada ini. Idealnya, keempat gelombang<br />tersebut harus seimbang sesuai kondisi.</p> <p>Menurut penelitian Craven pada tahun 1989, meditasi dapat menimbulkan<br />kelainan sensasi kinestetik, disosiasi ringan, dan gejala mirip<br />psikosis. Pada tahun 1991, Bogart mengatakan bahwa meditasi<br />dikontraindikasikan untuk penyembuhan pasien yang egonya lemah,<br />menyimpan emosi yang kuat, dan kurang mampu menganalisis sebab akibat<br />yang kompleks. Pada tahun 1992, Shapiro melaporkan bahwa meditasi malah<br />menyebabkan depresi, gangguan kecemasan dan panik yang diinduksi oleh<br />relaksasi, ketegangan yang memuncak secara nyata, gangguan dalam<br />menghadapi realita, bingung, disorientasi waktu dan tempat, dan<br />fenomena seperti kecanduan obat bius.</p> <p>Tentu jika meditasi dilakukan dengan metode tertentu di bawah<br />pembimbing terlatih akan bisa menghindari efek samping tersebut walau<br />tetap ada kemungkinan terjadi. Akan tetapi, masalah efek samping ini<br />juga tidak bisa dipandang remeh oleh karena maraknya sosialisasi<br />meditasi seakan tanpa efek samping. Apalagi ternyata ada celah dari<br />meditasi yang juga bisa disalahgunakan orang-orang yang tidak<br />bertanggungjawab, apalagi meditasi di luar tempat ibadah.</p> <p>Akan tetapi, terlepas dari efek samping tersebut bisa dikendalikan atau<br />tidak, tetap ada beberapa kritikan terhadap meditasi. Karena ketika<br />bermeditasi, jelas kita berada dalam alam bawah sadar. Sedangkan ketika<br />berdoa secara biasa, kita dalam keadaan sadar. Meditasi hendaknya<br />dilakukan sebagai ajaran keagamaan . Selain itu, meditasi sebenarnya<br />dapat dilakukan untuk orang-orang dengan gelombang otak theta yang<br />rendah dengan tetap mempertimbangkan kontraindikasi seperti penelitian<br />di atas.</p> <p>Kesimpulan: meditasi membangkitkan gelombang alpha yang justru membawa<br />kita ke alam bawah sadar sehingga membuka kesempatan otak kita untuk<br />diprogram atau dicuci otak (brainwashed) oleh orang lain maupun diri<br />sendiri. Oleh karena itu, kalaupun melakukan meditasi harus di bawah<br />pengawasan pelatih yang bertanggung jawab.Selama ini ada kesan bahwa<br />meditasi tidak menimbulkan efek samping, padahal sebaliknya sehingga<br />tetap harus hati-hati. Isu bahwa meditasi baik karena memunculkan<br />gelombang theta harus ditelaah lebih lanjut karena keempat gelombang<br />otak sama pentingnya dan harus muncul sesuai kondisi. Meditasi<br />hendaknya dilakukan sebagai ajaran keagamaan atau untuk orang-orang<br />dengan gelombang otak theta yang rendah dengan tetap mempertimbangkan<br />beberapa kontraindikasi.</p> <div class="photo photo_none"> <div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30604600&op=1&view=all&subj=306632765207&aid=-1&auser=0&oid=306632765207&id=1023848844"><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs202.snc3/20975_1254420873665_1023848844_30604600_4096157_n.jpg" alt="" /></a></div> </div> <div class="photo photo_none"> <div class="photo_img"> </div> </div> <br /> <p><br /></p> </div>Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2993980713907638640.post-86078443622322095332010-07-07T02:48:00.000-07:002010-07-07T02:50:34.474-07:00Kekristenan Membela Zionis Israelkah?<div class="pl15 w620"><p>Sesuai nubuat injil dan Alquran, Israel (Yahudi) akan menjadi pelopor ateisme berbalut liberalisme untuk menyatukan dunia di bawah kekuasaannya. Ini kebenaran dalam kitab tersebut karena tidak mungkin kitab Yahudi isinya sumpah serapah Tuhan terhadap orang Yahudi sendiri. Sayangnya, Yahudi menjadikan kekristenan sebagai tameng karena demokrasi memang diajarkan di injil, tetapi injil tidak mengajarkan liberalisme. Sudah saatnya orang Kristen tegas terhadap Yahudi, seperti yang dilakukan Amerika saat mengecam pendirian pemukiman baru Yahudi di Yerusalem timur.</p> <p>Sudah cukup bahwa kekristenan ikut kena getahnya akibat ulah Yahudi karena dianggap menjadi antek mereka. Yahudi memang adalah bangsa terpilih, tidak bisa disangkal lagi dengan melihat semua kelebihan yang mereka miliki dibandingkan suku bangsa lain di muka bumi. Mereka adalah salah satu ras yang jumlah populasinya paling sedikit di dunia, tetapi menguasai sebagian besar saham dunia, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga sebagian besar penemu berasal dari ras mereka.</p> <p>Akan tetapi, mengapa bangsa sehebat itu tidak memiliki tanah air? Niscaya karena nubuat dalam Alkitab sendiri bahwa Tuhan menceraiberaikan mereka akibat pemberontakan mereka sendiri. Bahkan dari zaman Musa sampai sekarang mereka mencampur ajaran Taurat dengan mistisisme Timur yang bernama Kaballah, yang mengarah kepada ateisme berbalut liberalisme melalui suatu paham baru bernama New Age (Gerakan Zaman Baru). Mereka telah merusak akidah Taurat dan injil secara halus.</p> <p>Lantas mengapa orang Yahudi mengkhianati ajarannya sendiri? Karena dalam Taurat dan injil, semua berisi aib tentang mereka dan sumpah serapah Tuhan terhadap mereka. Mereka sudah tidak tahan dengan berbagai aturan dan larangan dalam kitab-kitab itu. Sekarang mereka menyebarkan paham ini ke seluruh dunia supaya semua orang terbebas dari aturan agama. Jadi, barangsiapa yang mengikuti paham ini telah berada dalam jebakan mereka karena sesungguhnya yang trauma terhadap aturan agama itu adalah kaum Yahudi, bukan Anda-Anda sekalian.</p> <p>Inilah garis besar sejarah pemberontakan Israel terhadap Tuhannya sendiri yang tertulis di dalam Taurat dan injil. Ketika Musa membebaskan mereka keluar dari penjajahan Mesir, mereka mengeluh dalam perjalanan pulang ke negeri asalnya karena kondisi padang pasir yang tandus. Lantas Tuhan menyediakan mata air dan makanan, bahkan melindungi mereka dengan awan di kala siang, dan menerangi mereka dengan api di kala malam. Namun, tatkala Tuhan memanggil Musa seorang diri ke Gunung Sinai untuk menerima 10 hukum Taurat, mereka membuat patung anak lembu yang terbuat dari emas. Mereka meniru kepercayaan Mesir yang menjajah mereka karena mereka ingin punya Tuhan yang bisa dilihat. Akibatnya, hari itu banyak orang Israel yang mati karena dihukum. Pemberontakan ini berlangsung terus-menerus sampai Tuhan menyebabkan mereka tersesat di padang gurun selama 40 tahun untuk membersihkan keturunan mereka yang pernah murtad sebelum akhirnya memasuki tanah air mereka. Setelah itu, mereka berkali-kali memberontak dan menyingkirkan nabi-nabi yang memperingatkan mereka sampai akhirnya Mesias, Sang Almasih juga menderita di tangan mereka.</p> <p>Tentu masih ada kaum Yahudi yang memegang teguh Taurat dan injil, tetapi jumlahnya sedikit dan mereka pun ditekan oleh kaum Yahudi yang sebagian besar telah menyeleweng . Sayangnya justru kaum minoritas Yahudi ini beserta kaum nasrani ikut menjadi sasaran kemarahan rekan muslim. Itu karena semuanya disusun sedemikian rupa secara rapi dan halus. Mereka menyerang ajaran Taurat asli, menyerang ajaran kekristenan, serta menyerang ajaran Islam. Anehnya, konflik terjadi di antara ketiga kepercayaan ini, sedangkan sang pengadu domba sendiri semakin berjaya.</p> <p>Oleh karena itu, para penganut Taurat, nasrani, dan muslim harus menyadari hal ini. Sesungguhnya Yahudi adalah wakil dari kita semua sebagai manusia yang tetap dikasihi Tuhan walau memberontak. Mereka juga wakil dari semua manusia yang suka menyombongkan diri tatkala diberkati dengan luar biasa. Ya, mungkin kita juga tidak lebih baik dibanding mereka dan sesungguhnya memang ini harus terjadi sesuai nubuat kitab-kitab. Namun, kelakuan mereka selama ini juga tidak bisa dibiarkan karena kebenaran harus ditegakkan. Khusus untuk para pemuka agama nasrani yang membela ataupun selama ini bersikap netral, haruslah mulai bersuara. Yang putih, tetap putih. Yang hitam, tetap hitam. Paus Yohanes Paulus II sudah berulang kali memperingatkan Israel, begitu juga pendeta-pendeta di Amerika sendiri. Kapan pemuka agama nasrani di Indonesia juga bersuara ?????</p> <div class="photo photo_none"> <div class="photo_img"><a href="http://www.kompasiana.com/photo.php?pid=30659265&op=1&view=all&subj=374002050207&aid=-1&auser=0&oid=374002050207&id=1023848844"><img class="img" style="width: 460px;" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs390.snc3/23769_1282276090028_1023848844_30659265_6489217_n.jpg" alt="" /></a></div> <div class="fsize14 lh20">Kota Yerusalem dilihat dari Bukit Zaitun<br /></div> </div> </div> <!-- end kepala artikel --> <!-- urutan berita --> <!-- isi artikel -->Erfen G.S.http://www.blogger.com/profile/05109424309877711883noreply@blogger.com0