Powered By Blogger

Selasa, 13 Juli 2010

IQ test ????

IQ Test
Free-IQTest.net - IQ Test

NGEMENG-NGEMENG

A: "Koq udah jarang debat Alkitab?"

B: "Kurang berguna karena orang didebat malah akan tambah menentang. Kalau berniat baik memperkenalkan injil lebih baik melalui tindakan nyata saja."

A: "Kan perlu ada yang menyampaikan?"

B: "Iya, tapi percuma juga koar-koar biar bener sekalipun. Karena jika memang Tuhan mengizinkan, ada yang malah datang ke gereja dengan motivasi sendiri, atau bertanya tentang injil secara sukarela. Nah, yang bertanya inipun ada yang beneran pengen nanya, ada juga yang pengen ngetes. Kalo yang cuma pengen ngetes mah percuma juga didebat karena tujuannya memang ingin menjatuhkan. Toh kalo ternyata akhirnya dia yang kalah juga biasanya tetap keras hati. Sekarang juga sudah kemajuan teknologi, terbuka kesempatan untuk bisa cari informasi sendiri.

A: "Gimana kalo seimbang antara tindakan dan penginjilan?"

B: "Itu lebih bagus, tapi kalo tindakan belum bener gak usah sok menginjili kan? Iman tanpa perbuatan adalah mati."

A: "Tapi kan orang dibenarkan hanya karena iman?"

B: "Betul, tapi logikanya orang beriman pasti berbuat baik juga, walau belum tentu sebaliknya. Kecuali kalau orang tersebut sudah dekat ajal dan belum sempat berbuat baik, nah itu bisa dimengerti. Tapi kalau masih diberi umur dan kesehatan dan gak berbuat apa-apa, imannya diberi tanda tanya besar. Ini sudah dicontohkan Yesus sendiri dengan berbuat banyak juga."

A: "Kalo orang yang alirannya sesat, juga gak perlu didebat?"

B: "Boro-boro mendebat saudara seiman sendiri, kita tuh sebagai minoritas di negara ini sedang ditekan pihak lain. Harusnya nyadar, ini malah sibuk berantem di kalangan sendiri. Kalau mau menegur ya dengan kasih, kalau sudah berdebat dengan kasar, namanya bukan menegur tapi menjatuhkan. Malu dengan institusi seperti Buddha Tzu Chi yang sekarang malah terlihat lebih menonjol kegiatan kemanusiaannya dibandingkan institusi Kristen."

A: "Wah, jangan salah. Kita juga sudah banyak berbuat."

B: "Iya, tapi ada yang dengan embel-embel penginjilan sehingga membantunya terkesan tidak tulus dan malah dicurigai. Padahal Yesus membantu orang ya membantu saja, perihal menginjili ya jika orang-orang tersebut sudah tertarik mengikuti-Nya. Udah ya, kapan-kapan ngemeng-ngemeng lagi hehehehe."

A: "Cepet bener. Emang mau ke mana?"

B: "Ikut baksos."

A: "Baksos gereja mana?"

B: "Rumah Sakit Tzu Chi !"

A: !@$%^&*

Sabtu, 10 Juli 2010

Dilema Seorang Homoseks

Berikut adalah potongan dialog dari suatu peristiwa nyata yang mungkin tidak persis sama dengan aslinya, tetapi setidaknya inti dialognya adalah sama.

A: "Selamat siang , Dok. Bisa diganggu sebentar?"

B: "Oh, Mas! Apa kabar? Lama nggak kontak nih hehehehe. Tidak mengganggulah. Ayo ngobrol-ngobrol sini. Wah, tambah gagah saja hehehehe.

A: "Kabar baik. Iya, saya memang lagi sibuk dengan kerjaan."

B: "Wah, makin diberkati ya? hehehehehe. Tapi sepertinya Anda agak kuatir. Ada yang bisa saya bantu?"

Beberapa saat setelah berdiskusi berbagai hal:

A: "Begini, sebenarnya saya nggak enak menceritakan hal ini. Tapi saya sudah percaya dengan Anda. Ada hal yang sangat pribadi yang ingin saya tanyakan dari dulu tapi nggak berani-berani."

B: "Tanya aja, Mas. Koq kayaknya masih menganggap saya orang lain saja hehehehe. Tanya saja, saya akan berusaha sebisanya."

A: "Tapi tolong jangan kasih tau siapa-siapa ya."

B: "Tentu saja, Mas. Saya terikat dengan sumpah profesi untuk menjaga kerahasiaan pasien. Namun, jika belum percaya sama saya juga jangan dipaksakan."

A: "Saya ini seorang homoseksual."

B: "Iya, lalu?"

A: "Anda tidak terkejut?"

B: "Tidak, memangnya kenapa Mas?"

A: "Biasa orang pasti kaget dan menjauh setelah saya beritahu."

B: "Hahahahaha, homoseks juga manusia toh Mas? Nggak ada yang perlu diherankan. Orang yang lebih jahat dari seorang homoseks malah lebih banyak. Lanjutkan, Mas."

A: "Syukurlah. Saya hanya bingung apakah diri saya ini normal atau tidak. Namun, dari penelitian terbaru katanya hewan juga ada yang homoseks sehingga ada yang mengganggap homoseks itu normal."

B: "Ehmmm, gini Mas. Terimalah diri Anda sebagai manusia yang homoseks, jangan dibandingkan dengan hewan homoseks. Kadang peneliti juga ada yang nyeleneh, apalagi jika dirinya berkepentingan dengan hasil penelitian tersebut. Atau bisa jadi dia peneliti netral, tapi hasil penelitiannya disalahtafsirkan pihak-pihak tertentu. Karena jika ingin meniru hewan seutuhnya, maka kita juga harus meniru hewan seutuhnya antara lain nggak pakai baju, saling membunuh, dll. Jadi jangan hanya homoseksnya aja yang diambil contoh. Logis nggak perkataan saya ini?

A: "Logis sih. Lalu apa yang harus saya lakukan? Dari gereja juga mengganggap saya ini pendosa. Padahal Tuhan itu Mahapengampun?"

B: "Benar kata Anda itu. Tanyakan saja kepada pendeta Anda apakah ada ayat yang menghakimi homoseks. Jangankan homoseks, penjahat kelas kakap saja diampuni di Alkitab. Yang ada hanyalah hukuman terhadap homoseks yang mengumbar hawa nafsu seperti di Sodom dan Gomora."

A: "Nah, tentang itu juga diutarakan teman-teman yang lain. Jadi homoseks itu tidak masalah kan?"

B: " Tergantung, Mas. Jika dari segi agama dan moral masyarakat tentu tidak benar jika Anda mengumbar hawa nafsu. Jika dari segi medis juga sama, karena jika Anda berhubungan bebas tentu akan menyebarkan penyakit seperti HIV. Masalah ini tentu juga berlaku untuk heteroseks, yaitu jangan mengumbar hawa nafsu. Dari segi medis mungkin ada tambahan lain, yaitu harus disingkirkan dulu faktor-faktor trauma psikis dan yang lainnya. Karena bisa jadi Anda itu heteroseks tapi karena ada trauma sehingga menjadi homoseks. Kalau sudah berusaha tapi hasilnya tetap sama ya apa boleh buat, terimalah diri Anda. Tentu dengan syarat tidak mengumbar hawa nafsu tadi, karena akan merugikan Anda dan orang lain. Anda juga harus ingat bahwa masih banyak orang lain yang mengalami cobaan yang lebih berat. Jadi kuatkanlah diri Anda dan lakukan hal yang positif. Pendeta dan dokter juga ada yang homoseks tapi mereka bisa tetap bersikap positif. Memang institusi agama dan masyarakat juga harus berubah. Karena yang paling disayangkan adalah jika ditolak mentah-mentah, orang-orang homoseks akan depresi dan akhirnya terjerumus juga.

A: "Gitu ya, lalu bagaimana dengan perkawinan sesama jenis? Mengadopsi anak?"

B: "Wah, saya masih tidak setuju Mas. Orang normal saja ada yang tidak menikah untuk kepentingan mulia, jadi seorang homoseks juga harus bisa. Lagipula kasihan dengan anak yang diadopsi yang mungkin akan kurang baik perkembangan jiwanya. Karena seorang anak hendaknya diasuh orang tua heteroseks yang baik. Saya katakan yang baik karena banyak juga orang tua heteroseks yang tidak baik. Anak-anak suka meniru, jadi besar kemungkinan mereka juga akan meniru orang tuanya yang homoseksual. Anda juga tidak ingin mereka menjadi homoseks bukan? Dari segi anatomis medis juga memang abnormal jika melakukan hubungan sesama kelamin.

A: "Baiklah, terima kasih atas pendapatnya. Saya hanya ingin menanyakan hal itu saja. Saya merasa sudah ada jalan tengahnya sekarang."

B: "Saya yakin Anda akan melakukan yang terbaik."

A: "Tentu, saya akan berusaha. Terima kasih atas pendapat berharganya."

B: "Ya, jika sudah dianggap cukup membahas hal ini, kita lanjut ngobrol tentang hal lain hehehehehe."

A: "Iya, tentu saja hahahahahaha."

Perbincangan pun beralih ke topik yang lain :)

Rabu, 07 Juli 2010

Awas Alergi Obat Akibat Stevens Johnson! Atasi dengan IGIV

Pendahuluan
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) adalah penyakit kulit yang berpotensi menyebabkan kematian dan sebagian besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Sindroma Stevens Johnson juga bisa disebabkan infeksi (biasanya infeksi virus), penyakit keganasan, radiasi, dan idiopatik.1 Penyakit ini menimbulkan tanda dan gejala yang mirip dengan penyakit eritema multiforme yang berat. 2,3 Sindroma Stevens Johnson terjadi 1 sampai 7 kasus per 1 juta penduduk dunia setiap tahunnya. Sindrom ini dapat terjadi pada setiap ras, bahkan juga dapat terjadi pada anjing, kucing, dan kera. Banyak studi epidemiologi numerik menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami Sindroma Stevens Johnson dibandingkan pria (perbandingan 0.5-0.7). Namun, perbandingan kedua jenis kelamin pada penderita HIV adalah sama. Sedangkan perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah sama.4,5 Sindroma Stevens Johnson dapat terjadi pada semua kelompok umur, termasuk neonatus. Oleh karena paparan obat lebih banyak terjadi seiring pertambahan usia seseorang, maka Sindroma Stevens Johnson dan NET lebih sering terjadi pada orang dewasa, apalagi orang dewasa juga lebih reaktif terhadap obat daripada anak-anak. Akhir-akhir ini, infeksi HIV berkaitan dengan Sindroma Stevens Johnson dan NET. Suatu studi menyatakan bahwa Sindroma Stevens Johnson dan NET cenderung timbul pada usia yang lebih muda pada pasien yang juga menderita HIV, yaitu pada usia 35.4 tahun.4,5 Sindroma Stevens Johnson dapat berlanjut menjadi NET.2,3
Prinsip umum tatalaksana Sindroma Stevens Johnson adalah penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Penelitian telah menunjukkan bahwa rujukan yang cepat ke Unit Perawatan Luka Bakar akan menurunkan angka kematian.15 Rawat inap harus dipertimbangkan untuk pasien dengan penampakan gejala awal yang ringan karena tidak mungkin memprediksi pasien Sindroma Stevens Johnson yang akan berkembang mengalami Nekrolisis Epidermal Toksik. 15 Jika obat penyebabnya dapat diidentifikasi, konsumsi obat tersebut harus segera distop. Penghentian segera konsumsi obat penyebabnya (terutama obat yang bekerja dalam jangka pendek), dapat meningkatkan angka harapan hidup. Pasien yang gejalanya disebabkan oleh obat yang bekerja dalam jangka waktu panjang akan lebih berisiko untuk mengalami kematian. 14
Obat-obatan juga digunakan, seperti cyclophosphamide dan cyclosporine.7 Akan tetapi, tidak ada obat yang berhasil mengobati Sindroma Stevens Johnson. Padahal angka kematian akibat NET kira-kira 40 %, sedangkan angka kematian akibat Sindroma Stevens Johnson, yaitu sekitar 15 %.2,3,13
Akhir-akhir ini, terapi dengan immunoglobulin intravena (IGIV) telah terbukti menngurangi gejala Sindroma Stevens Johnson. 8,9,10,11 Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk membahas penggunaan immunoglobulin intravena untuk mengurangi gejala dan angka mortalitas pasien Sindroma Stevens Johnson.

Diskusi
Golongan obat yang dapat menimbulkan Sindroma Stevens Johnson12:
1. Golongan antiinflamasi nonsteroid (AINS): leflunomide, valdecoxib, celecoxib, sulindac, oxaprozin, etanercept, piroxicam, ibuprofen, naprosyn, naproxen infliximab, oxicam, rofecoxib.
2. Golongan antibiotik: amoxicillin, ampicillin, sefalosporin, sephaloxin, ciprofloxacin, doxiciclin, erythromycin, minacycline, peperacillin, penisilin, tetrasiklin, vancomycin, zithromax
3. Golongan sulfa: co-trimoxazole, sulfamethoxazole, sulfacoxine, sulfasalazin, pyrimethamine
4. Golongan barbiturates antikonvulsan, karbamazepine, dilantin, phenytoin
5. Golongan phenobarbital: valporate
6. Obat antituberkulosis: ethambutol, rifampisin, streptomycin
7. Allopurinol

Perjalanan penyakit Sindroma Stevens Johnson 6
1. Gejala konstitusi, seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, dapat muncul 3 hari sebelum timbulnya lesi kulit.
2. Sensasi terbakar pada mata, fotopobia, dan ruam yang mulai timbul simetris pada wajah dan bagian atas torso.
3. Waktu paparan terhadap obat sangatlah penting diketahui, terutama terjadi 1-3 minggu sebelum erupsi pada kulit.

Pemeriksaan Fisik pada Pasien dengan Sindroma Stevens Johnson 6
a. Lesi Primer
Lesi awal Sindroma Stevens Johnson berupa makula kemerahan dengan purpura yang lebih gelap di tengahnya. Lesi-lesi itu berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme karena hanya punya dua zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan makula kemerahan di sekitarnya. Sedangkan lesi target klasik memiliki 3 zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan zona pucat yang mengalami edema di sekitarnya, beserta makula kemerahan di sekitarnya. Lesi-lesi (kecuali bullae di tengahnya) punya ciri khas datar. Sedangkan lesi-lesi eritema multiforme lebih teraba karena tidak datar seperti lesi pada Sindroma Stevens Johnson. Lesi awal pada Sindroma Stevens Johnson juga kadang berupa lesi skarlatiniformis. Lepuhan kendur yang khas muncul dengan nekrosis menyeluruh dari semua lapisan epidermis. Area yang terkelupas memiliki penampakan seperti kertas yang diremas. Juga terdapat Tanda Nikolsky positif yang dengan mudah diperlihatkan dengan menekan bagian lateral dari bula. Makula-makula yang terisolir satu sama lain ditemukan di sekitar area besar dari konfluensi.
Lesi-lesi awalnya timbul simetris pada wajah dan bagian atas dari tubuh dan meluas dengan cepat, maksimal dalam 2-3 hari. Pada beberapa kasus, perluasan maksimal dapat terjadi cepat dalam waktu beberapa jam. Lesi lebih banyak pada area kulit yang terkena sinar matahari. Lesi yang mengelupas lebih banyak terjadi pada daerah yang banyak mendapat tekanan, seperti bahu, sakrum, dan pantat. Lesi kemerahan yang mengalami edema dan nyeri dapat muncul pada telapak tangan dan telapak kaki. Kulit kepala yang berambut tetap normal, tapi daerah epidermis yang lain termasuk lapisan kuku dapat terkena.
Klasifikasi baru mengemukakan bahwa pengelupasan epidermis pada Sindrom Stevens Johnson terbatas hanya kurang dari 10% luas permukaan tubuh. Sindroma Stevens Johnson dapat muncul bersamaan dengan Nekrolisis Epidermal Toksik sehingga menimbulkan konfluensi makula yang kemerahan dan purpurik. Hal ini menyebabkan pengelupasan epidermis pada 10-30% luas permukaan tubuh. Nekrolisis Epidermal Toksik dapat menyebabkan pengelupasan epidermis lebih dari 30%. Suatu bentuk jarang dari Nekrolisis Epidermal Toksik memiliki lesi yang lebih sedikit dan menyerupai lesi target, serta lepuhan yang berada di atas lesi kemerahan yang berkofluensi. Pengelupasan epidermis lebih dari 10% diperlukan untuk mendiagnosis penyakit ini. Sebaliknya, eritema multiforme yang memiliki lesi bulosa (yang dulu dianggap sejenis dengan Sindroma Stevens Johnson), hanya mengalami pengelupasan kulit kurang dari 10% luas permukaan tubuh, tetapi lesi target yang khas atau yang tidak khas terletak paling banyak di area akral.
b. Lesi sekunder
Area tubuh yang epidermisnya terkelupas berwarna hitam dengan permukaan yang mengeluarkan pus. Lesi kulit dapat sembuh diikuti hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Jari tangan dan kaki dapat tumbuh abnormal.
c. Membran mukosa dapat terkena pada semua pasien dan dapat mendahului lesi kulit, muncul selama masa prodromal.
Erosi mulut yang nyeri menimbulkan krusta yang parah pada bibir, meningkatkan pengeluaran air liur dan sukar mengunyah makanan. Sedimen silindris intak yang ada dalam dahak pada epitel bronkus juga bisa ditemukan. Jika area genitalia yang terkena, akan menyebabkan nyeri saat berkemih. Selain itu, lesi juga dapat terjadi pada orofaring, trakea, bronkus, esofagus, saluran cerna, dan anus. Diare profus yang kaya protein juga dapat terjadi. Lesi pada membran mukosa yang ada di dalam tubuh tidak hanya terjadi pada pasien yang mengalami lesi kulit yang luas. Lesi di sistem genitourinaria dapat menyebabkan phimosis dan sinekia vagina.13
d. Lesi mata khususnya problematik karena berisiko tinggi menimbulkan gejala sisa.
Awalnya, konjungtiva berwarna merah dan nyeri. Kelopak mata sering menyatu satu sama lain, di mana usaha untuk memisahkan keduanya akan menyebabkan pengelupasan epidermis. Erosi konjungtiva pseudomembran dapat membentuk sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva. Erosi konjungtiva juga dapat menyebabkan sikatrik yang menyebabkan bulu mata mengalami inversi, fotopobia, sensasi terbakar pada mata, hiperlakrimasi, sindroma yang menyerupai penyakit sika, serta neovaskularisasi kornea dan konjungtiva. Empatpuluh persen dari pasien yang bertahan hidup dapat mengalami kebutaan. 13

Prognosis Sindroma Stevens Johnson
Tes SCORTEN adalah tes untuk menskoring derajat keparahan Sindroma Stevens Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Penghitungan dilakukan dalam 24 jam untuk memprediksi kematian. Adanya penampakan dari tiap hal di bawah ini mendapat skor 1, dan jumlah dari poin-poin inilah yang dinamakan angka SCORTEN dengan skor maksimum 7.13 Penampakan yang diukur: umur lebih dari 40 tahun, adanya keganasan, nadi lebih dari 120 kali per menit, kadar glukosa lebih dari 252 mEq/L5, kadar BUN lebih dari 27 mg/dl, kadar bikarbonat kurang dari 20 mEq/L, luas permukaan tubuh yang terkena lebih dari 10%. Angka kematian SCORTEN: skor 0-1 - 3.2%, skor 2 - 12.1% , skor 3 - 35.3%, skor 4 - 58.3%, skor of 5 atau lebih - 90%

Penggunaan immunoglobulin intravena (IGIV) dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson dan Nekrosis Epidermal Toksik
Prinsip umum tatalaksana Sindroma Stevens Johnson adalah penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Namun, akhir-akhir ini juga digunakan obat-obatan dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson. Sindroma Stevens Johnson dan NET sering diinduksi oleh obat, tetapi mekanisme patofisiologinya belum diketahui.
Salah satu teori menyatakan bahwa apoptosis melibatkan interaksi antara reseptor permukaan sel (seperti Fas) dengan ligand untuk membentuk Fas ligand( FasL). Pada tahun 1998, Viard et al mendemonstrasikan adanya konsentrasi tinggi dari Fas ligand yang larut pada serum penderita NET. Secara in vitro, kematian dari sel target dihalangi oleh antibodi yang memblok FasL dan juga dihalangi oleh antibodi yang ada pada immunoglobulin intravena manusia. Intinya, obat-obat tertentu dapat mengaktivasi produksi ligand apoptotik yang berasal dari keratinosit, dikenal sebagai CD95 (fas) ligand. Ligand ini dapat berikatan dengan reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di permukaan keratinosit. Hal ini dapat menyebabkan kematian sel yang terprogram. IGIV dibuktikan memiliki kemampuan memblok ligand apoptotik dari berikatan dengan reseptor ini. Hal ini mencegah apoptosis dari keratinosit dan pengelupasan epidermis. Suatu percobaan menunjukkan adanya perbaikan dalam 24-48 jam pada 10 penderita NET setelah diberikan immunoglobulin intravena sehingga tidak terjadi kematian pada kesepuluh pasien ini.

Farmakokinetik dan farmakodinamik dari IGIV
Imunoglobulin intravena digunakan untuk memperbaiki gejala klinis dan daya tahan tubuh pasien terhadap penyakit. Obat ini dapat mengurangi autoantibodi dan melarutkan sehingga menghilangkan kompleks imun. Contoh merk IGIV yang beredar di pasaran adalah Gamimune, Gammar-P, Sandoglobulin, Gammagard S/D. Dosisnya 1g/kg BB/ hari selama 3 hari. Sedangkan dosis untuk anak-anak belum diketahui. Kontraindikasi pada hipersensitivitas dan defisiensi IgA. Pemakaian globulin dapat terganggu dan berkurang efektivitasnya oleh respon imun yang disebabkan oleh vaksin (mis: vaksin MMR) sehingga IGIV jangan diberikan dalam kurun waktu 3 bulan setelah pasien divaksinasi. Keamanan penggunaan IGIV untuk ibu hamil belum diketahui.17,18,19,20,21 IGIV didapatkan dari plasma darah dari ratusan pendonor yang sehat sehingga mengandung berbagai antibodi yang bersifat protektif melawan penyakit manusia dan antigen dari luar. Waktu paruh rata-rata dari IGIV dalam tubuh manusia yang imunitasnya baik adalah 3 minggu. Efek imunomodulasi dari IGIV bersifat kompleks, yaitu modulasi ekspresi dan fungsi reseptor-reseptor Fc retikuloendotelial, mengganggu aktivasi komplemen dan sitokin, pengenalan antibody antiidiotipe, dan efek pada aktivasi, diferensiasi, serta fungsi efektor dari sel T dan sel B. Oleh karena IGIV mampu memblok apoptosis yang dimediasi oleh keratinosit, maka IGIV juga bisa digunakan untuk mengatasi reaksi kulit yang berat akibat penggunaan obat. Sebagai contoh, pasien dengan reaksi kulit yang berat akibat penggunaan obat cenderung untuk mengalami komplikasi infeksi di mana IGIV dapat menguranginya melalui mekanisme antiinfeksinya. Selebihnya, IGIV menyimpan protein dan air yang dapat membantu mengurangi bertambahnya kehilangan cairan melalui kulit yang terkelupas.17,18,19,20,21
IGIV diberikan sebagai pengganti protein plasma (IgG) untuk pasien dengan defisiensi imun yang kemampuan produksi antibodinya berkurang. Pada pasien dengan defisiensi imun, IGIV diberikan untuk mempertahankan jumlah antibodi yang cukup untuk mencegah infeksi dan memberikan imunitas pasif. Terapi diberikan setiap 3-4 minggu. Untuk pasien dengan penyakit autoimun, IGIV diberikan pada dosis tinggi (umumnya 1-2 gram IGIV / kg / BB) untuk mengurangi tingkat keparahan gejala dari penyakit autoimun.17,18,19,20,21 Mekanisme pasti IGIV dalam menekan inflamasi yang berbahaya, belum bisa dijelaskan, tetapi diyakini bahwa caranya dengan menghambat reseptor Fc.18,19 Target primer IGIV pada penyakit autoimun juga belum jelas. Namun, IGIV dapat bekerja melalui banyak tahap di mana IGIV yang disuntikkan pertama kali membentuk sejenis kompleks imun dalam tubuh pasien.23 Ketika kompleks imun ini terbentuk, kompleks imun berinteraksi dengan reseptor Fc yang aktif pada sel dendritik20 ,kemudian memediasi efek antiinflamasi yang membantu mengurangi keparahan gejala penyakit autoimun atau inflamasi. Selanjutnya, antibodi pendonor dapat berikatan secara langsung dengan antibodi abnormal dalam tubuh resipien sehingga dapat membuang antibodi yang abnormal itu. Selain itu, antibodi yang jumlahnya banyak tersebut dapat merangsang sistem komplemen dalam tubuh pasien sehingga meningkatkan pembuangan semua antibodi yang berbahaya. IGIV juga menghambat reseptor antibodi pada sel imun (sel makrofag), sehingga mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh sel makrofag atau pengaturan fagositosis dari makrofag. IGIV juga dapat mengatur respon imun dengan bereaksi terhadap sejumlah reseptor membran pada sel T, sel B, dan monosit yang bisa menyebabkan autoreaktivitas dan induksi terhadap toleransi tubuh sendiri.17
Suatu laporan terbaru menyatakan bahwa penggunaan IGIV untuk mengaktivasi sel T menyebabkan kemampuan sel T untuk berikatan dengan mikroglia berkurang. Akibatnya terjadi penurunan jumlah TNF alfa dan interleukin 10. Hal ini semakin memperdalam pengertian tentang bagaimana efek IGIV terhadap inflamasi pada sistem saraf pusat pada penyakit autoimun.21
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan IGIV 22:
Periksa IgA serum sebelum pemakaian IGIV
IGIV akan meningkatkan viskositas dan risiko tromboembolik.
IGIV akan meningkatkan risiko serangan migraine, meningitis aseptik (10%), urtikaria, pruritus, atau petekie (2-30 hari setelah pemberian IGIV).
IGIV juga meningkatkan risiko nekrosis tubular akut pada pasien lanjut usia, diabetes, hipovolemia, dan penyakit ginjal.
IGIV menyebabkan perubahan hasil laboratorium di mana titer antibodi yang bersifat antiviral dan antibakterial selama 1 bulan akan meningkat 6 kali lipat pada ESR selama 2-3 minggu. IGIV juga menyebabkan hiponatremia.
Komplikasi dan efek samping IGIV, antara lain: sakit kepala, dermatitis sering di telapak tangan dan kaki, infeksi (seperti HIV atau viral hepatitis), kontaminasi dari produk darah, edema paru, alergi/ reaksi anafilaktik, gagal ginjal akut, trombosis vena, meningitis aseptik

IGIV lebih efektif daripada kortikosteroid, siklosporin, dan siklofosfamid dalam tatalaksana SSJ dan NET
Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial karena bisa meningkatkan risiko infeksi sekunder. Banyak studi retrospektif yang menunjukkan tidak adanya manfaat bahkan malah menaikkan angka morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan sepsis. Risiko sepsis ini mungkin tergantung dari area kulit yang terkelupas.16 Halebian et al menganjurkan untuk tidak memakai kortikosteroid berdasarkan dua studi prospektif yang diacak secara terbuka di mana 30 pasien dirawat di unit perawatan luka bakar. Limabelas pasien menerima kortikosteroid dan sisanya tidak. Sampel pasien yang diambil memiliki kesamaan dari segi rentang usia, lama penyakit sebelum diobati, dan jumlah luas permukaan kulit yang basah. Tigapuluh tiga persen dari pasien yang memakai steroid bertahan hidup, sedangkan jumlah pasien yang bertahan hidup tanpa pemakaian kortikosteroid sebanyak 66%.(P = .057). Sepsis terjadi dengan frekuensi yang serupa pada dua kelompok subjek penelitian tersebut, tetapi 91% pasien sepsis yang memakai kortikosteroid mengalami kematian, sedangkan hanya 56% pasien sepsis yang tidak memakai kortikosteroid mengalami kematian. Steroid yang direkomendasikan untuk sepsis akibat bakteri gram negative, akan menurunkan daya tahan tubuh pasien dan menyebabkan pengenalan gejala klinis sepsis yang terlambat karena gejala sepsis ditekan.16 Obat-obatan lain juga digunakan, seperti siklofosfamid dan siklosporin. Suatu studi terbuka dari literatur tentang trauma, menunjukkan efektivitas dari siklosporin. Arevalo et al meneliti 11 pasien yang dirawat terus-menerus di unit perawatan luka bakar dengan NET yang mengenai luas permukaan tubuh sebesar 83% ± 17% Masing-masing pasien menerima siklosporin dengan dosis 3 mg/kg BB/ hari per oral setiap 12 jam. Kelompok studi ini dibandingkan dengan 6 orang yang berfungsi sebagai kontrol di mana keenamnya diberi siklofosfamid dan kortikosteroid. Perlambatan progresi penyakit dan penyelesaian reepitelisasi sangat cepat pada kelompok yang diberi siklosporin. Semua pasien yang diberi siklosporin bertahan hidup, sedangkan hanya 50% pasien yang bertahan hidup dengan pemakaian siklofosfamid. Siklosporin menurunkan angka mortalitas menjadi kira-kira 30% pada pasien NET yang tidak mengidap HIV, tetapi percobaan terkontrol dan acak masih harus dilakukan untuk menyusun rekomendasi yang definitif.7 Siklofosfamid, N-asetilsistein, dan antibodi monoklonal secara langsung melawan sitokin. Hal ini dibuktikan oleh beberapa laporan kasus yang terpisah beserta studi kecil yang tidak terkontrol. 7
Sejumlah studi mendukung pemakaian immunoglobulin intravena (IGIV) dalam tatalaksana NET. Sebuah studi terbuka pada 10 pasien NET yang menerima immunoglobulin intravena menunjukkan bahwa IGIV menghambat progresivitas gejala dalam 24-48 jam sehingga pasien tidak mengalami kematian. Sejak tahun 2000, sejumlah laporan kasus dan 8 studi klinis yang tidak terkontrol meneliti lebih dari 9 pasien, telah menganalisis efektivitas IGIV dalam tatalaksana NET. Beberapa studi tidak menunjukkan adanya manfaat IGIV dalam tatalaksana NET, sedangkan studi yang lain menunjukkan bahwa IGIV bermanfaat untuk menurunkan angka kematian pada penderita NET. Enam dari delapan studi menunjukkan bahwa IGIV bermanfaat jika diberikan dengan dosis sejumlah lebih dari 2g/kg berat badan. Di Rumah Sakit Pendidikan Stony Brook New York, pasien SSJ dan NET diterapi dengan IGIV dosis 1g/kg BB/hari untuk 4 hari berturut-turut.8,9,10,11,12 Dengan menggunakan sampel yang lebih besar ( negara), penelitian Euro Scar menyatakan bahwa penggunaan IGIV untuk tatalaksana Sindroma Stevens Johnson tidak menunjukkan efektivitas yang berarti. Akan tetapi, dalam penelitian ini menggunakan IGIV dalam dosis yang lebih kecil sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa IGIV tidak efektif dalam tatalaksana Sindroma Stevens Johnson. 24
Kesimpulan
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) merupakan penyakit kulit yang berpotensi menyebabkan kematian yang sebagian besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Tatalaksana umum SSJ adalah dengan penghentian konsumsi obat yang dicurigai sebagai pencetus, penggantian cairan, suplementasi nutrisi, sterilitas teknik, dan perawatan luka. Terapi ini dapat disertai dengan pemberian immunoglobulin intravena (IGIV), yang terbukti mengurangi gejala Sindroma Stevens Johnson sehingga dapat mengurangi angka mortalitas. Cara kerjanya adalah dengan memblok CD95 (fas) ligand agar tidak berikatan dengan reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di permukaan keratinosit sehingga mencegah apoptosis keratinosit dan pengelupasan epidermis.
Daftar Pustaka
1. French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens Johnson syndrome: our current understanding. Allergol Int. Mar 2006;55(1):9-16.
2. Auquier-Dunant A, Mockenhaupt M, Naldi L, et al. Correlations between clinical patterns and causes of erythema multiforme majus, Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis: results of an international prospective study. Arch Dermatol. Aug 2002;138(8):1019-24.
3. Roujeau JC. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis are severityvariants of the same disease which differs from erythema multiforme. J Dermatol. Nov 1997;24(11):726-9.
4. Chan HL, Stern RS, Arndt KA, et al. The incidence of erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome, and toxicepidermal necrolysis. A population-based study with particular referenceto reactions caused by drugs among outpatients. Arch Dermatol. Jan 1990;126(1):43-7.
5. Strom BL, Carson JL, Halpern AC, et al. A population-based study of Stevens-Johnson syndrome. Incidence and antecedent drug exposures. Arch Dermatol. Jun 1991;127(6):831-8.
6. Roujeau JC. The spectrum of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: aclinical classification. J Invest Dermatol. Jun 1994;102(6):28S-30S.
7. Arevalo JM, Lorente JA, Gonzalez-Herrada C, Jimenez-Reyes J. Treatment of toxic epidermal necrolysis with cyclosporin A. J Trauma. Mar 2000;48(3):473-8.
8. French LE, Trent JT, Kerdel FA. Use intravenous immunoglobin in toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: our current understanding. Int Immunopharmacol. 2006;6(4):543-9.
9. Prins C, Kerdel FA, Padilla RS, et al. Treatment of toxic epidermal necrolysis with high-dose intravenous immunoglobulins: multicenter retrospective analysis of 48 consecutive cases. Arch Dermatol. Jan 2003;139(1):26-32.
10. Trent JT, Kirsner RS, Romanelli P, Kerdel FA. Analysis of intravenous immunoglobulin for the treatment of toxic epidermal necrolysis using SCORTEN: The University of Miami Experience. Arch Dermatol. Jan 2003;139(1):39-43.
11. Viard I, Wehrli P, Bullani R, et al. Inhibition of toxic epidermal necrolysis by blockade of CD95 with humanintravenous immunoglobulin. Science. Oct 16 1998;282(5388):490-3.
12. Roujeau JC, Kelly JP, Naldi L, et al. Medication use and the risk of Stevens-Johnson syndrome or toxic epidermal necrolysis. N Engl J Med. Dec 14 1995;333(24):1600-7.
13. Guegan S, Bastuji-Garin S, Poszepczynska-Guegne E, et al. Performance of the SCORTEN during the first five days of hospitalization to predict the prognosis of epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2006;126(2):272-6.
14. Garcia-Doval I, LeCleach L, Bocquet H, et al. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: does earlywithdrawal of causative drugs decrease the risk of death?. Arch Dermatol. Mar 2000;136(3):323-7.
15. Khalili B, Bahna SL. Pathogenesis and recent therapeutic trends in Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Ann Allergy Asthma Immunol. Sep 2006;97(3):272-80; quiz 281-3, 320.
16. Halebian PH, Corder VJ, Madden MR, et al. Improved burn center survival of patients with toxic epidermal necrolysismanaged without corticosteroids. Ann Surg. Nov 1986;204(5):503-12.
17. Bayry J, Thirion M, Misra N, Thorenoor N, Delignat S, Lacroix-Desmazes S, Bellon B, Kaveri S, Kazatchkine MD. Mechanisms of action of intravenous immunoglobulin in autoimmune and inflammatory diseases. Neurol Sci. 2003; 24: S217-S221.
18. Falk Nimmerjahn and Jeffrey V. Ravetch. The antiinflammatory activity of IgG: the intravenous IgG parado. The Journal of Experimental Medicine. 204(1):11-5.
19. James E. Gern, MD. Antiinflammatory activity of IVIG mediated through the inhibitory FC recepto. PEDIATRICS. August 2002;110(2):467-68.
20. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16715090 Siragam V, Crow AR, Brinc D, Song S, Freedman J, Lazarus AH. Intravenous immunoglobulin ameliorates ITP via activating Fc gamma receptors on dendritic cells. Nat Med. 2006 Jun;12(6):688-92. PMID: 16715090
21. Janke AD, Yong VW. Impact of IVIG on the interaction between activated T cells and microglia. Neurol Res. 2006 Apr;28(3):270-4. PMID 16687052
(downloaded on April 30, 2008)

22. http://www.fda.gov/cber/recalls.htm (downloaded on April 30, 2008) 24. Schneck J, Fagot J-P, Sekula P. Effects of treatments on the mortality of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: EuroSCAR Study. J Am Acad Dermatol 2008;58:33 - 40

23. Christa Prins, et al. Treatment of Toxic Epidermal Necrolysis With High-Dose Intravenous Immunoglobulins: Multicenter Retrospective Analysis of 48 Consecutive Cases Arch Dermatol. 2003;139:26-32.
24. Schneck J, Fagot J-P, Sekula P. Effects of treatments on the mortality of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: EuroSCAR Study. J Am Acad Dermatol 2008;58:33 - 40

Apolipoprotein Epsilon 4 as a Genetic Risk Factor for Nonfamilial (Sporadic) Alzheimer’s Disease

Scientist do not yet fully understand what causes alzheimer’s disease (AD). however the more they learn about AD, the more they become aware of the important function genes play in the development of this disease. More than one gene mutation can cause AD, and genes on multiple chromosomes are involved. The two basic types of AD are familial and nonfamilial (sporadic). Familial AD (FAD) is caused by gene mutations on chromosomes 1, 14 and 21. Researchers are more interested in sporadic AD because it becomes the majority of AD cases. Sporadic AD (nonfamilial AD) shows no obvious inheritanc epattern, however in some families, clusters of cases have been seen. Researchers have identified an increased risk of developing sporadic AD related to the apolupoproteon epsilon (apoE) gene found on chromosome 19. This gene codes for a protein that helps carry cholesterol in the bloodstream. Apo E comes in several different forms, or alleles but three occur most frequently : apoE2(E2), apoE3 (E3), ad apoE4 (E4). Based on many studies, apolipoprotein epsilon 4 (apoE4) is the best kown genetic risk factor for sporadic AD.

Link (s):

- http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=76053

- http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/index/search/titles?searchPage=18

Nyeri Pascaoperasi Lutut? Tenang, Ada Obat Analgesik Kombinasi

PENDAHULUAN

Artroskopi sendi lutut menimbulkan sinyal nyeri aferen yang memulai perubahan pada sistem saraf sehingga memperkuat dan memperpanjang nyeri pascaoperasi. Pencegahan nyeri ini dilakukan dengan pemberian obat analgesik sebelum timbul rangsangan nyeri. Akhir-akhir ini, regimen obat kombinasi telah direkomendasikan dalam manajemen nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut. Dalam banyak penelitian, bupivakain dan morfin yang diberikan secara intraartikular adalah obat analgesik yang efektif pascaoperasi artroskopi sendi lutut. Ketorolak, kortikosteroid, dan klonidin juga berperan mengurangi nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut. Obat-obat anti inflamasi nonsteroid memegang peranan penting dalam manajemen nyeri pascaoperasi ortopedik, termasuk obat yang spesifik terhadap enzim siklooksigenase-2 yang lebih aman jika digunakan.

Teknik kombinasi obat analgesik yang diberikan sebelum timbul rangsangan nyeri, dapat digunakan dalam manajemen nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut. Artroskopi sendi lutut merupakan prosedur yang rutin dilakukan untuk pasien rawat jalan. Umumnya, obat analgesik oral diberikan untuk mengatasi nyeri pascaoperasi, tetapi sering tidak efektif.1 Nyeri pascaoperasi yang tidak teratasi, dapat memperpanjang masa rawat inap pasien, menunda program rehabilitasi, memperlambat penyembuhan, serta memberdayakan lebih banyak tenaga kesehatan.1 Akhir-akhir ini, banyak teknik yang tersedia untuk mengatasi nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut, termasuk penggunaan obat golongan opioid (menimbulkan efek analgesik secara perifer maupun sentral), obat anestesi lokal, obat antiradang nonsteroid, kortikosteroid, klonidin, serta krioterapi (lihat gambar 1). Makalah ini berisi pembahasan mengenai peran obat analgesia kombinasi dalam pencegahan nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut.

Gambar 1. Lokasi target obat analgetik sepanjang jalur nyeri dari sistem saraf perifer ke susunan saraf pusat.

PEMBAHASAN

Fisiologi nyeri

Prosedur operasi menimbulkan sinyal nyeri dan respon inflamasi sekunder yang mengakibatkan nyeri pascaoperasi. Sinyal-sinyal ini memulai perubahan di sistem saraf perifer dan susunan saraf pusat, yang akhirnya menguatkan dan memperlama nyeri pascaoperasi.2 Sensitisasi sistem saraf perifer (penurunan ambang nyeri nosiseptor aferen) diakibatkan oleh peradangan di tempat timbulnya luka operasi.3

Sensitisasi susunan saraf pusat (perangsangan neuron spinal), disebabkan oleh paparan menetap terhadap input aferen nosiseptif dari neuron-neuron perifer.4 Sensitisasi saraf perifer dan susunan saraf pusat, mengakibatkan keadaan hipersensitivitas setelah dilakukannya operasi. Hal ini menurunkan ambang nyeri, baik pada tempat timbulnya luka (hiperalgesia primer), maupun daerah sekitarnya (hiperalgesia sekunder).5 (lihat gambar 2).

Gambar 2. Luka operasi mengakibatkan pelepasan mediator-mediator inflamasi pada tempat luka, mengakibatkan penurunan ambang nyeri pada lokasi operasi( hiperalgesia primer) maupun daerah sekitarnya (hiperalgesia sekunder). Sensitisasi susunan saraf pusat (perangsangan neuron spinal), disebabkan oleh paparan menetap terhadap input aferen nosiseptif dari neuron-neuron perifer.

Akhir-akhir ini, kemajuan pemahaman mengenai mekanisme timbulnya nyeri menghasilkan konsep pemberian obat analgesik sebelum timbul rangsangan nyeri. Tujuannya adalah untuk mencegah sensitisasi susunan saraf pusat yang dapat memperkuat nyeri pascaoperasi.5 Konsep ini berdasarkan penelitian pada hewan yang mengungkap bahwa obat anestesi lokal atau opioid dapat mencegah gejala ikutan fisiologis maupun perilaku yang timbul setelah rangsangan nyeri dalam waktu singkat.6, 7, 8 Sebaliknya, obat-obat ini kurang efektif jika diberikan setelah terjadinya rangsangan terhadap susunan saraf pusat. Namun, hasil pada penelitian terhadap manusia lebih kontroversial.9

Pengurangan nyeri yang optimal susah didapatkan dengan satu jenis obat atau satu metode.10 Akhir-akhir ini direkomendasikan penggunaan regimen obat analgesik kombinasi (multimodal) yang bekerja melalui mekanisme atau lokasi target yang berbeda. Regimen obat analgesik kombinasi saling bekerja secara sinergis sehingga dosis dapat diperkecil dan efek samping dapat dikurangi. 10 Dewasa ini, banyak teknik analgesia yang digunakan untuk menghambat transmisi nosiseptif postoperasi artroskopi sendi lutut. Pada tingkat susunan saraf perifer, dapat digunakan obat anti inflamasi nonsteroid, kortikosteroid, opioid, atau krioterapi. Obat anestesi lokal menghambat transmisi saraf pada lokasi timbulnya luka, sedangkan obat opioid oral bekerja pada tingkat susunan saraf pusat. (lihat gambar 1).

Tujuan utama dari manajemen nyeri terkini adalah untuk mengurangi nyeri pada tingkat sentral maupun perifer dengan penggunaan obat analgesik yang diberikan sebelum timbul rasa nyeri. Strategi ini diikuti dengan program rehabilitasi medik sehingga hasil penyembuhan lebih optimal.

Artroskopi sendi lutut

Artroskopi sendi lutut mencegah insisi yang luas, serta mengurangi morbiditas dibandingkan dengan prosedur operasi terbuka, tetapi tidak mengurangi rasa nyeri.11 Sebagian besar struktur dalam sendi lutut (termasuk jaringan sendi, bantalan lemak anterior, dan kapsula sendi) memiliki ujung saraf bebas yang dapat bereaksi hebat terhadap rangsang nyeri.12 Prosedur artroskopi dapat menimbulkan nyeri dan bengkak yang dapat menunda program rehabilitasi medik, serta menunda pasien untuk beraktivitas setelah lebih dari dua minggu setelah operasi.13, 14 Pasien yang tidak dapat mengikuti program rehabilitasi secara lengkap, berisiko lebih tinggi untuk mengidap komplikasi pascaoperasi (antara lain penurunan kekuatan, kekakuan lutut, dan nyeri lutut anterior). 13, 15, 16 Oleh karena itu, manajemen nyeri yang agresif pada saat awal pascaoperasi, sangatlah penting dan mempercepat pemulihan setelah dilakukan artroskopi.17

Bupivakain intraartikular

Anestesi lokal intraartikular sering digunakan untuk manajemen nyeri perioperasi. Bupivakain merupakan obat anestesi lokal yang memiliki gugus amin dan sering digunakan karena memiliki durasi kerja yang panjang.18 Kadar puncaknya dalam serum tercapai dalam waktu tiga puluh sampai enam puluh menit setelah disuntikkan. Bupivakain aman jika disuntikkan kurang dari sama dengan 150 miligram ke dalam sendi lutut.19 Bupivakain intraartikular yang diberikan dengan dosis kurang dari sama dengan 0,5 % tidaklah berbahaya bagi kartilago sendi.20

Efisiensi analgesia dari bupivakain yang disuntikkan secara intraartikular, masih kontroversial. Beberapa penelitian telah gagal membuktikan adanya efek analgesia yang baik dari bupivakain yang diberikan secara intraartikular 21,22. Sedangkan penelitian yang lain membuktikan adanya beberapa manfaat dari pemberian bupivakain intraartikular. 23,24,25 Sayangnya penelitian-penelitian ini memiliki kelemahan dalam desain penelitian, pengumpulan data, dan pelaporan data. Selain itu, juga terdapat variasi volume dan konsentrasi dari bupivakain yang disuntikkan secara intraartikular. Namun, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap nyeri postoperasi, antara lain penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid, opioid, turniket, epinefrin, serta anestesi infiltrasi dengan lidokain maupun bupivakain.

Dosis bupivakain merupakan faktor yang penting. Smith dkk. menyatakan bahwa dosis 0,25 % mengakibatkan kurangnya efek analgesik bupivakain intraartikular pada penelitian-penelitian sebelumnya. 25 Oleh karena itu, Smith dkk. memberikan bupivakain 0,5 % sebanyak 30 ml (150 mg) kepada 97 pasien yang dibius umum ketika menjalani operasi artroskopik. Pasien dibagi menjadi 2 golongan secara acak, sebagian mendapat bupivakain intraartikular dan yang lainnya mendapat larutan salin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mendapat bupivakain 0,5 % lebih sedikit membutuhkan narkotika pascaoperasi dibandingkan kelompok yang mendapat larutan salin. Bahkan, pasien yang mendapat bupivakain 0,5 % lebih cepat pulih.

Faktor visual analog pain scores yang rendah (kurang dari 3,3 cm) juga mengakibatkan kurangnya efek analgesik bupivakain intraartikular pada penelitian-penelitian sebelumnya. Banyak prosedur dalam penetian-penelitian tersebut merupakan tindakan artroskopi diagnostik yang hanya membutuhkan sedikit obat analgesik postoperasi. Penelitian Geutjens dan Hambidge menyatakan bahwa kelompok kontrol yang hanya diberikan larutan salin,ternyata tidak membutuhkan obat analgesik 10 jam postoperasi.24 Faktor lain yang juga tidak diperhatikan adalah hemarthrosis postoperasi yang bisa menambah rasa nyeri dan mengurangi konsentrasi bupivakain dalam sendi lutut.

Jadi, sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa bupivakain intraartikular merupakan obat analgesik yang efektif dalam manajemen nyeri postoperasi artroskopi sendi lutut. Akan tetapi, perlu penelitian dengan desain yang lebih baik untuk mendapat kesimpulan akhir.

Morfin intraartikular

Bupivakain intraartikular memiliki efek analgesia postoperasi yang efektif, tetapi hanya bertahan 2 sampai 4 jam.23,24 Pasien yang pulih dari operasi artroskopi sendi lutut, masih membutuhkan obat analgesia tambahan sebelum dan sesudah pulang dari rumah sakit. Obat analgetik golongan narkotika adalah yang biasanya dipilih, tetapi memiliki efek samping seperti depresi napas, sedasi, pruritus, mual, serta muntah. Hal ini bahkan dapat memperpanjang masa rawat inap pasien, meningkatkan morbiditas, serta meningkatkan risiko ketika pasien sudah pulang ke rumah. Obat golongan opioid yang diberikan secara oral, tidak dapat diabsorpsi karena timbulnya mual, muntah, serta ileus yang terjadi setelah operasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa reseptor opioid yang berada di jaringan perifer, dapat mencegah atau mengurangi nyeri pascaoperasi.

Telah lama diketahui bahwa terdapat reseptor opioid di susunan saraf pusat, tetapi penemuan terbaru menyatakan bahwa reseptor opioid juga terdapat di ujung saraf bebas.26 Hal ini telah dianalisis secara imunohistokimia dari spesimen biopsi jaringan sendi meradang, juga telah dibuktikan dengan adanya pengikatan nalokson ke reseptor opioid di lutut.27 Ketiga reseptor opioid (mu, delta, dan kappa) terbukti ada pada saraf-saraf perifer, serta berperan dalam mediasi antinyeri di perifer.28 Reseptor-reseptor ini disintesis di dalam badan sel neuron sensorik primer yang terletak di radix dorsalis ganglion, serta disalurkan ke arah distal oleh akson.29

Terdapat teori bahwa opioid yang diberikan secara lokal dapat memberikan efek analgesia pada jaringan yang mengalami inflamasi dan bukan pada jaringan yang sehat.30 Teori pertama adalah bahwa inflamasi menginduksi daerah di sekitar saraf sehingga memudahkan akses opioid mengikat reseptor yang terdapat di neuron. Teori kedua adalah bahwa reseptor opioid yang sebelumnya tidak aktif, dapat menjadi aktif oleh proses inflamasi. 31

Mekanisme efek antinyeri opioid di susunan saraf perifer pada jaringan yang mengalami inflamasi, belum dapat secara tepat dijelaskan. Namun, hipotesis menyatakan bahwa terdapat efek antiinlamasi selain efek analgesik.27 Efek analgesik terjadi karena morfin mengurangi perangsangan ujung serat saraf C terhadap nyeri. Hal ini mengurangi pengiriman sinyal nyeri ke susunan saraf pusat. Opioid juga memiliki efek antiinflamasi yang bekerja secara langsung di jaringan perifer. Hal ini terjadi karena pengikatan reseptor opioid di perifer, mengurangi pelepasan neuropeptida hasil dari inflamasi, seperti substansi P.30

Stein dkk, telah membuktikan bahwa pemberian morfin intraartikular dalam dosis kecil pada manusia, menimbulkan efek analgesik yang lama.32 Efek lokal morfin dibuktikan dengan rendahnya kandungan morfin dan metabolitnya di plasma darah. Efek lokal morfin juga dibuktikan dengan penelitian yang memberikan dosis rendah morfin melalui jalur sistemik, tetapi tidak memberikan efek analgesia yang berarti.33, 34, 35 Akhirnya, Stein dkk. membuktikan bahwa efek analgesik dari morfin yang diberikan secara intraartikular, dapat dihambat oleh pemberian nalokson intraartikular. Hal ini mengkonfirmasikan adanya efek lokal dari opioid.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa morfin yang diberikan secara intra artikular juga mengurangi skor nyeri setelah 8 sampai 12 jam penyuntikan.36, 37, 38 Hal ini menyebabkan para peneliti mengkombinasi bupivakain intraartikular dan morfin intraartikular sebagai obat analgesik pascaoperasi.

Banyak peneliti gagal membandingkan efek analgesik morfin intraartikular dengan larutan salin ataupun bupivakain intraartikular. Hal ini terjadi karena penggunaan opioid sistemik, obat antiinflamasi nonsteroid, atau obat anestesi regional yang semuanya dapat mengurangi inflamasi akibat pembedahan sehingga mengurangi pengikatan morfin secara intraartikular.39, 40 ,41

Anestesi epidural juga dapat mengubah efek morfin yang diberikan secara intraartikular. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena anestesi epidural menghambat respon neuroendokrin terhadap luka operasi, serta mengurangi pelepasan mediator inflamasi.42 Kedua, anestesi epidural dapat mencegah dan memperlama efek analgesik postoperasi.2, 43, 44 Ada satu penelitian yang mengungkap bahwa anestesi epidural memiliki efek analgesik yang lama, yaitu selama 48 jam postoperasi.45

Faktor lain yang mempengaruhi efek analgesik morfin intraartikular adalah pelepasan turniket. Makin lama pelepasan turniket setelah penyuntikan morfin intraartikular, maka pengikatan terhadap reseptor opioid akan meningkat sehingga efek analgesik morfin juga meningkat. Whitford dkk. menyatakan bahwa pemasangan turniket selama 10 menit setelah penyuntikan morfin intraartikular, akan meningkatkan efek analgesik morfin, serta mengurangi pemakaian obat analgesik tambahan.46

Walau morfin intraartikular biasanya diberikan setelah prosedur artroskopi dilakukan, ada penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian postoperasi juga memberikan manfaat.47, 48

Kesimpulannya, sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa pemberian morfin secara intraartikular memberikan efek analgesik yang lama. Efek samping yang terjadi pada pemberian opioid secara sistemik, tidak terjadi pada pemberian morfin secara intraartikular. Peradangan di dalam jaringan sendi akan meningkatkan efek analgesik dari morfin, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui. Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid beserta obat anestesi spinal atau epidural, akan mengaburkan efek analgesik morfin. Hasil penelitian mendukung penggunaan morfin secara intraartikular untuk mengatasi nyeri pascaoperasi artroskopi sendi lutut.

Ketorolak intraartikular

Banyak peneliti yang menyelidiki efek analgesik dari pemberian obat antiinflamasi nonsteroid secara intraartikular. Salah satunya adalah ketorolak yang terbukti efektif mengurangi nyeri pasca artroskopi jika diberikan secara parenteral.49 Reuben dan Connelly membandingkan efek analgesik antara ketorolak yang diberikan secara parenteral dengan intraartikular. Hasilnya ternyata pemberian ketorolak intraartikular memiliki durasi analgesik yang jauh lebih lama. 50 Namun, penelitian ini mengundang kontroversi berkenaan dengan keamanan penggunaan ketorolak intraartikular.51, 52 Walau belum ada penelitian pada manusia, namun penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa pemberian ketorolak secara intraartikular, tidak merusak kartilago tulang sapi. 53 Sebaliknya, ketorolak melindungi kartilago sendi dengan menghambat pelepasan sitokin, termasuk interleukin-1, yang memegang peranan penting dalam kerusakan kartilago. Selain itu, juga ada kewaspadaan terhadap kandungan alkohol dalam ketorolak yang dapat merusak kartilago sendi (10 % dari berat volume).51 Namun, dalam penelitian-penelitiaan tersebut, ketorolak diencerkan dalam 30 ml bupivakain 0,25 % sehingga kandungan alkoholnya hanya 0,7 % dari berat volume. Kandungan alkohol ini lebih rendah daripada kandungan alkohol 0,9 % dalam larutan asetonida triamsinolon yang telah disetujui FDA (Food and Drug Administration) untuk penyuntikan intraartikular.

Connelly dan Reuben mendesain suatu penelitian untuk membandingkan efek analgesia ketorolak dengan morfin, serta menentukan apakah kombinasi kedua obat ini memberikan hasil efek analgesik yang lebih baik.54 Delapan puluh pasien yang menjalani meniskektomi dengan artroskopi, secara acak diberikan ketorolak dan morfin yang diberikan secara intravena maupun intraartikular. Hasilnya ternyata morfin dan ketorolak lebih baik tidak dikombinasi jika diberikan secara intraartikular (efek analgesiknya dapat bertahan selama 13 jam). Sedangkan kombinasi morfin dan ketorolak intraartikular tidak menambah efek analgesik, serta tidak memperlama efek analgesik. Hipotesis yang dapat menjelaskan hal ini adalah karena ketorolak mengurangi proses peradangan di dalam jaringan sendi sehingga menghambat pengikatan reseptor opioid. Hipotesis lain menyatakan bahwa morfin atau ketorolak yang dicampur dengan pemberian bupivakain intraartikular, memiliki efek analgesia maksimal yang tidak bisa lagi ditambah.

Kortikosteroid intraartikular

Wang dkk. membuktikan bahwa suntikan asetonida triamsinolon dalam larutan salin ke dalam sendi lutut, akan mengurangi skor nyeri dan efek samping opioid. 55 Namun, nyeri berkurang setelah 6 jam penyuntikan kortikosteroid intraartikular, serta menetap selama 24 jam. Rasmussen dkk. membandingkan kombinasi bupivakain, morfin, dan metilprednisolon yang diberikan secara intraartikular dengan kombinasi bupivakain, morfin, dan larutan salin. Hasilnya menunjukkan bahwa kombinasi 150 mg bupivakain dan 4 mg morfin, akan mengurangi nyeri serta mempercepat pemulihan pasien. Penambahan 40 mg metilprednisolon akan lebih mengurangi nyeri, mengurangi pembengkakan sendi, mempercepat pemulihan pasien, meningkatkan fungsi otot, serta mengurangi respon inflamasi. Oleh karena itu, Rasmussen merekomendasikan pemberian kombinasi bupivakain, morfin, dan metilprednisolon untuk pasien yang menjalani meniskektomi dengan artroskopi.17

Akan tetapi, kortikosteroid memiliki efek samping meningkatkan risiko infeksi, kerusakan kartilago, penyembuhan luka tidak sempurna, dan efek samping sistemik. Namun, dalam penelitian ternyata efek sampingnya sedikit sekali.55, 56, 57

Klonidin intraartikular

Banyak penelitian yang mengungkap adanya efek analgesik pada klonidin yang diberikan secara intraartikular pascaoperasi artroskopi sendi lutut. 58, 59, 60 Klonidin adalah suatu a-2 agonis yang dapat digunakan sebagai obat anestesi lokal dengan durasi efek analgesik yang panjang karena memblok konduksi serat saraf A d maupun C. 61,62 Selain itu, klonidin juga dapat melepas zat yang menyerupai enkefalin sehingga menimbulkan efek analgesia di jaringan perifer. 63 Gentili dkk. membandingkan efek 150 mg klonidin yang diberikan secara intraartikular dan subkutan dengan larutan salin atau 1 mg morfin intraartikular pada 40 pasien yang menjalani artroskopi sendi lutut. Pasien yang mendapat klonidin intraartikular ternyata merasakan efek analgesia yang lebih lama (533 ± 488 menit) dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapat larutan salin (70 ± 30 menit) atau klonidin subkutan (132 ± 90 menit). Durasi efek analgesia dari klonidin intraartikular ternyata hampir sama dengan penyuntikan morfin intraartikular (300 ± 419 menit). Oleh karena penyuntikan klonidin secara subkutan tidak menghasilkan efek analgesik yang efektif, maka Gentili dkk. menyatakan bahwa klonidin memiliki efek analgesik terhadap jaringan perifer.58

Oleh karena klonidin dapat meningkatkan blok saraf perifer dari obat anestesi lokal, maka Reuben dan Connelly meneliti efek analgesik 75 mg bupivakain intraartikular dan klonidin (1 ug/kg BB) pada pasien yang menjalani meniskektomi dengan artroskopi. Ternyata kelompok yang mendapat kombinasi bupivakain dan klonidin intraartikular, lebih kurang membutuhkan obat analgesik pascaoperasi, serta durasi efek analgesiknya juga lebih lama.60

Joshi dkk. berusaha untuk menemukan adanya tambahan efek analgesik pada klonidin intraartikular yang dikombinasi dengan morfin intraartikular. Mereka meneliti 60 pasien yang menjalani meniskektomi dengan artroskopi, serta memakai anestesi lokal. Kombinasi kedua obat tersebut menunjukkan peningkatan durasi efek analgesik (1050 ± 227 menit) dibandingkan dengan pemberian klonidin saja (640 ± 113 minutes) atau morfin saja (715 ± 106 minutes).64

KESIMPULAN

Ketorolak dan kortikosteroid bekerja sebagai obat analgesik poten yang mengurangi respon inflamasi akibat prosedur artroskopi. Sedangkan klonidin intraartikular akan meningkatkan efek morfin dan bupivakain intraartikular. Pengurangan nyeri dan bengkak pada sendi, akan mempercepat pemulihan kekuatan otot, serta mempercepat pemulihan pasien. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa obat antiinflamasi nonsteroid, kortikosteroid, serta klonidin memiliki peranan penting sebagai regimen obat analgesik untuk pasien yang menjalani prosedur artroskopi sendi lutut. Akan tetapi, masih diperlukan penelitian dalam skala yang lebih besar untuk meneliti efek samping dan efek dari regimen ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. United States Acute Pain Management Guideline Panel: Acute Pain Management: Operative or Medical Procedures and Trauma. Pub. no. 92-0032. Rockville, Maryland, United States Department of Health and Human Services, Public Health Service Agency for Health Care Policy and Research, 1992.
2. Woolf, C. J, and Chong, M. S.: Preemptive analgesia - treating postoperative pain by preventing the establishment of central sensitization. Anesth. and Analg., 77: 362-379, 1993.
3. Raja, S. N.; Meyer, R. A.; and Campbell, J. N.: Peripheral mechanisms of somatic pain. Anesthesiology, 68: 571-590, 1988.
4. Woolf, C. J.: Evidence for a central component of post-injury pain hypersensitivity. Nature,, 306: 686-688, 1983.
5. Wall, P. D.: The prevention of postoperative pain. Pain, 33: 289-290, 1988.
6. Coderre, T. J.; Vaccarino, A. L.; and Melzack, R.: Central nervous system plasticity in the tonic pain response to subcutaneous formalin injection. Brain Res., 535: 155-158, 1990.
7. Dickenson, A. H, and Sullivan, A. F.: Subcutaneous formalin-induced activity of dorsal horn neurones in the rat: differential response to an intrathecal opiate administered pre or post formalin. Pain,, 30: 349-360, 1987.
8. Woolf, C. J, and Wall, P. D.: Morphine-sensitive and morphine-insensitive actions of C-fibre input on the rat spinal cord. Neurosci. Lett., 64: 221-225, 1986.
9. Kissin, I.: Preemptive analgesia. Why its effect is not always obvious. Anesthesiology, 84: 1015-1019, 1996.
10. Kehlet, H, and Dahl, J. B.: The value of “multimodal” or “balanced analgesia” in postoperative pain treatment. Anesth. and Analg., 77: 1048-1056, 1993.
11. Highgenboten, C. L.; Jackson, A. W.; and Meske, N. B.: Arthroscopy of the knee. Ten-day pain profiles and corticosteroids. Am. J. Sports Med., 21: 503-506, 1993.
12. Dye, S. F.; Vaupel, G. L.; and Dye, C. C.: Conscious neurosensory mapping of the internal structures of the human knee without intraarticular anesthesia. Am. J. Sports Med., 26: 773-777, 1998.
13. Durand, A.; Richards, C. L.; and Malouin, F.: Strength recovery and muscle activation of the knee extensor and flexor muscles after arthroscopic meniscectomy. A pilot study. Clin. Orthop., 262: 210-226, 1991.
14. St.-Pierre, D. M.: Rehabilitation following arthroscopic meniscectomy. Sports Med., 10: 338-347, 1995.
15. Moffet, H.; Richards, C. L.; Malouin, F.; Bravo, G.; and Paradis, G.: Early and intensive physiotherapy accelerates recovery postarthroscopic meniscectomy: results of a randomized controlled study. Arch. Phys. Med. and Rehab, 75: 415-426, 1994.
16. Shelbourne, K. D, and Nitz, P.: Accelerated rehabilitation after anterior cruciate ligament reconstruction. Am. J. Sports Med, 18: 292-299, 1990.
17. Rasmussen, S.; Larsen, A. S.; Thomsen, S. T.; and Kehlet, H.: Intra-articular glucocorticoid, bupivacaine and morphine reduces pain, inflammatory response and convalescence after arthroscopic meniscectomy. Pain,, 78: 131-134, 1998.
18. Moore, D. C.; Bridenbaugh, L. D.; Thompson, G. E.; Balfour, R. I.; and Horton, W. G.: Bupivacaine: a review of 11,080 cases. Anesth. and Analg, 57: 42-53, 1978.
19. Meinig, R. P.; Holtgrewe, J. L.; Wiedel, J. D.; Christie, D. B.; and Kestin, K. J.: Plasma bupivacaine levels following single dose instillation for arthroscopy. Am. J. Sports Med., 16: 295-300, 1988.
20. Nole, R.; Munson, N. M.; and Fulkerson, J. P.: Bupivacaine and saline effects on articular cartilage. Arthroscopy, 1: 123-127, 1985.
21. Henderson, R. C.; Campion, E. R.; DeMasi, R. A.; and Taft, T. N.: Postarthroscopy analgesia with bupivacaine. A prospective, randomized, blinded evaluation. Am. J. Sports Med., 18: 614-617, 1990.
22. Milligan, K. A.; Mowbray, M. J.; Mulrooney, L.; and Standen, P. J.: Intra-articular bupivacaine for pain relief after arthroscopic surgery of the knee joint in daycase patients. Anaesthesia,, 43: 563-564, 1988.
23. Chirwa, S. S.; MacLeod, B. A.; and Day, B.: Intraarticular bupivacaine (Marcaine) after arthroscopic meniscectomy: a randomized double-blind controlled study. Arthroscopy, 5: 33-35, 1989.
24. Geutjens, G, and Hambidge, J. E.: Analgesic effects of intraarticular bupivacaine after day-case arthroscopy. Arthroscopy, 10: 299-300, 1994.
25. Smith, I.; Van Hemelrijck, J.; White, P. F.; and Shively, R.: Effects of local anesthesia on recovery after outpatient arthroscopy. Anesth. and Analg, 73: 536-539, 1991.
26. Levine, J. D., and Taiwo, Y. O.: Involvement of the mu-opiate receptor in peripheral analgesia. Neuroscience, 32: 571-575, 1989.
27. Lawrence, A. J.; Joshi, G. P.; Michalkiewicz, A.; Blunnie, W. P.; and Moriarty, D. C.: Evidence for analgesia mediated by peripheral opioid receptors in inflamed synovial tissue. European J. Clin. Pharmacol., 43: 351-355, 1992.
28. Stein, C.; Millan, M. J.; Shippenberg, T. S.; Peter, K.; and Hertz, A.: Peripheral opioid receptors mediating antinociception in inflammation. Evidence for involvement of mu, delta and kappa receptors. J. Pharmacol. and Exper. Ther., 248: 1269-1275, 1989.
29. Stein, C.: The control of pain in peripheral tissue by opioids. New England J. Med., 332: 1685-1690, 1995.
30. Stein, C.: Peripheral mechanisms of opioid analgesia. Anesth. and Analg., 76: 182-191, 1993.
31. Stein, C., and Yassouridis, A.: Peripheral morphine analgesia. Pain,, 71: 119-121, 1997.
32. Stein, C.; Comisel, K.; Haimerl, E.; Yassouridis, A.; Lehrberger, K.; Herz, A.; and Peter, K.: Analgesic effect of intraarticular morphine after arthroscopic knee surgery. New England J. Med., 325: 1123-1126, 1991
33. Boden, B. P.; Fassler, S.; Cooper, S.; Marchetto, P. A.; and Moyer, R. A.: Analgesic effect of intraarticular morphine, bupivacaine, and morphine/bupivacaine after arthroscopic knee surgery. Arthroscopy, 10: 104-107, 1994.
34. Cepeda, M. S.; Uribe, C.; Betancourt, J.; Rugeles, J.; and Carr, D. B.: Pain relief after knee arthroscopy: intra-articular morphine, intra-articular bupivacaine, or subcutaneous morphine?. Reg. Anesth., 22: 233-238, 1997.
35. Reuben, S. S, and Connelly, N. R.: Postarthroscopic meniscus repair analgesia with intraarticular ketorolac or morphine. Anesth. and Analg., 82: 1036-1039, 1996.
36. Dalsgaard, J.; Felsby, S.; Juelsgaard, P.; and Froekjaer, J.: Low-dose intra-articular morphine analgesia in day case knee arthroscopy: a randomized double-blinded prospective study. Pain, 56: 151-154, 1994.
37. Heine, M. F.; Tillet, E. D.; Tsueda, K.; Loyd, G. E.; Schroeder, J. A.; Vogel, R. L.; and Yli-Hankala, A.: Intra-articular morphine after arthroscopic knee operation. British J. Anaesth., 73: 413-415, 1994.
38. Jaureguito, J. W.; Wilcox, J. F.; Cohn, S. J.; Thisted, R. A.; and Reider, B.: A comparison of intraarticular morphine and bupivacaine for pain control after outpatient knee arthroscopy. A prospective, randomized, double-blinded study. Am. J. Sports Med., 23: 350-353, 1995.
39. Aasbo, V.; Raeder, J. C.; Grogaard, B.; and Roise, O.: No additional analgesic effect of intra-articular morphine or bupivacaine compared with placebo after elective knee arthroscopy. Acta Anaesth. Scandinavica, 40: 585-588, 1996.
40. Björnsson, A.; Gupta, A.; Vegfors, M.; Lennmarken, C.; and Sjöberg, F.: Intraarticular morphine for postoperative analgesia following knee arthroscopy. Reg. Anesth., 19: 104-108, 1994.
41. Dierking, G. W.; Ostergaard, H. T.; Dissing, C. K.; Kristensen, J. E.; and Dahl, J. B.: Analgesic effect of intra-articular morphine after arthroscopic meniscectomy. Anaesthesia, 49: 627-629, 1994.
42. Rutberg, H.; Hakanson, E.; Anderberg, B.; Jorfeldt, L.; Martensson, J.; and Schildt, B.: Effects of extradural administration of morphine, or bupivacaine, on the endocrine response to upper abdominal surgery. British J. Anaesth, 56: 233-238, 1984.
43. Katz, J.; Clairoux, M.; Kavanagh, B. P.; Roger, S.; Nierenberg, H.; Redahan, C.; and Sandler, A. N.: Pre-emptive lumbar epidural anaesthesia reduces postoperative pain and patient-controlled morphine consumption after lower abdominal surgery. Pain,, 59: 395-403, 1994.
44. McQuay, H. J.; Carroll, D.; and Moore, R. A.: Postoperative orthopaedic pain - the effect of opiate premedication and local anesthetic blocks. Pain,, 33: 291-295, 1988.
45. Katz, J.; Clairoux, M.; Kavanagh, B. P.; Roger, S.; Nierenberg, H.; Redahan, C.; and Sandler, A. N.: Pre-emptive lumbar epidural anaesthesia reduces postoperative pain and patient-controlled morphine consumption after lower abdominal surgery. Pain,, 59: 395-403, 1994.
46. Whitford, A.; Healy, M.; Joshi, G. P.; McCarroll, S. M.; and O’Brien, T. M.: The effect of tourniquet release time on the analgesic efficacy of intraarticular morphine after arthroscopic knee surgery. Anesth. and Analg., 84: 791-793, 1997.
47. Denti, M.; Randelli, P.; Bigoni, M.; Vitale, G.; Marino, M. R.; and Fraschini, N.: Pre- and postoperative intra-articular analgesia for arthroscopic surgery of the knee and arthroscopic-assisted anterior cruciate ligament reconstruction. A double-blind randomized prospective study. Knee Surg Sports Traumat. Arthrosc., 5: 206-212, 1997.
48. El-Mansouri, M.; Reuben, S. S.; Sklar, J.; Gibson, C.; and Maciolek, H.: Preemptive analgesic effect of intraarticular morphine for arthroscopic knee surgery. Anesthesiology, 91: 953, 1999.
49. Smith, I.; Shively, R. A.; and White, P. F.: Effects of ketorolac and bupivacaine on recovery after outpatient arthroscopy. Anesth. and Analg., 75: 208-212, 1992.
50. Reuben, S. S, and Connelly, N. R.: Postoperative analgesia for outpatient arthroscopic knee surgery with intraarticular bupivacaine and ketorolac. Anesth. and Analg., 80: 1154-1157, 1995
51. Finnegan, M. A.: Off-label use of ketorolac. Anesth. and Analg., 83: 197, 1996.
52. Wilkinson, D. J.: Intraarticular ketorolac. Anesth. and Analg., 82: 433, 1996.
53. Ball, H. T.; Moore, J.; and Treadwell, B. V.: Ketorolac injectable NSAID effect on in vitro bovine cartilage degradation. Trans. Orthop. Res. Soc., 18: 726, 1993.
54. Reuben, S. S, and Connelly, N. R.: Postarthroscopic meniscus repair analgesia with intraarticular ketorolac or morphine. Anesth. and Analg., 82: 1036-1039, 1996.
55. Wang, J. J.; Ho, S. T.; Lee, S. C.; Tang, J. J.; and Liaw, W. J.: Intraarticular triamcinolone acetonide for pain control after arthroscopic knee surgery. Anesth. and Analg., 87: 1113-1116, 1998.
56. Gray, R. G.; Tenenbaum, J.; and Gottlieb, N. L.: Local corticosteroid injection treatment in rheumatic disorders. Sem. Arthrit. and Rheumat., 10: 231-254, 1981.
57. Grillet, B, and Dequeker, J.: Intra-articular steroid injection. A risk-benefit assessment. Drug Safety, 5: 205-211, 1990.
58. Gentili, M.; Juhel, A.; and Bonnet, F.: Peripheral analgesic effect of intra-articular clonidine. Pain, 64: 593-596, 1996.
59. Joshi, W.; Reuben, S. S.; Kilaru, P. R.; Sklar, J.; and Maciolek, H.: Postoperative analgesia for outpatient arthroscopic knee surgery with intraarticular clonidine and/or morphine. Anesth. and Analg., 90: 1102-1106, 2000.
60. Reuben, S. S, and Connelly, N. R.: Postoperative analgesia for outpatient arthroscopic knee surgery with intraarticular clonidine. Anesth. and Analg., 88: 729-733, 1999.
61. Gaumann, D. M.; Brunet, P. C.; and Jirounek, P.: Clonidine enhances the effects of lidocaine on C-fiber action potential. Anesth. and Analg., 74: 719-725, 1992.
62. Butterworth, J. F V, and Strichartz, G. R.: The alpha 2-adrenergic agonists clonidine and guanfacine produce tonic and phasic block of conduction in rat sciatic nerve fibers. Anesth. and Analg., 76: 295-301, 1993.
63. Nakamura, M, and Ferreira, S. H.: Peripheral analgesic action of clonidine: mediation by release of endogenous enkephalin-like substances. European J. Pharmacol, 146: 223-228, 1988.
64. Joshi, W.; Reuben, S. S.; Kilaru, P. R.; Sklar, J.; and Maciolek, H.: Postoperative analgesia for outpatient arthroscopic knee surgery with intraarticular clonidine and/or morphine. Anesth. and Analg., 90: 1102-1106, 2000.

Jangan Remehkan Perlindungan Kepala, Cegahlah Cedera Kepala!

*
Pendahuluan
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan sekitar 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak kenaikan frekuensi cedera kepala. 1,2
Kasus cedera kepala paling banyak mengenai kelompok usia produktif antara 15–44 tahun dan lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. 2

Anatomi dan Fisiologi Kepala
Anatomi Kepala
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium (3,5).
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak (6,3).

Gambar 1. Lapisan Kranium
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii (2,7). Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital (5,8). Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (3).
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal (5). Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat (3).
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media) (3).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang (3). Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis (5). Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (3).
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri (3). Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (5).
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg (8). Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum (5).
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus (8). Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (3,9).

Gambar 2. Lobus-lobus Otak

E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial (3). Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari (11).
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (3).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (5).
Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg (8). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap (3).
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie (3).
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup (8). Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya (3,12). ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO (3).
-
Cedera Kepala
Definisi dan Epidemiologi
Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri (6,13,14). Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (15). Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada kepala (16).
Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi (3,17).
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul (3,17). Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak (2).
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (3,17).
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak (3,17). Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak (11).
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan (3,17).
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma Scale (GCS) (3,17). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15 (6,18,19). Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi (3,7,17,18):
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala (6). Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri (20).
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu (6):
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak (6).
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan (22). Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan (22).;
Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil. Otak pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak bagian depan.
Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi pergerakan kepala ke depan.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala skunder (1,23). Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal (1,23,24,25).
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik (1). Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita (3).
Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi) (1,23).
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serenri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak (6,23,26).
Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan (6,27). Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional (6,26,28).
Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (3,6,17)
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
5
4
3
2
1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
6
5
4
3
2
1
Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3
Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala didak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita (6,28).
CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala (29,30). CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>(3). CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak (29,30,31). Selain itu juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi (6,30). Pada pasien cedera kepala berat, penundaan transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting (3).
*
Transportasi penderita cedera kepala
Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera kepala sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan medis yang cepat, tepat dan aman (2,32). Karena keterlambatan sampai di rumah sakit, 10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika Serikat meninggal (3). Pada penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan pernafasan, syok hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial meninggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler, karena itu perlu penanganan yang cepat (6). Tindakan gawat darurat yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan penderita yaitu; menjaga kelancaran jalan nafas (air way), oksigenasi yang adekuat, resusitasi cairan, melindungi vertebra servikalis dan torakolumbal, identifikasi dan stabilisasi perdarahan ekstrakranial, dan menilai tingkat kesadaran penderita (26).
Dalam penganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat penting, karena berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera kepala sekunder yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah hipoksia dan hipotensi (3). Waktu tunggu penderita dirumah sakit untuk penanganan penderita cedera kepala untuk cedera kepala berat <5>(33). Pada penderita cedera kepala berat dengan perdarahan subdural sebaiknya interval waktu kejadian trauma dan tindakan yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan interval waktu lebih dari 12 jam prognosis buruk (17). Seelig et al telah melakukan penelitian tentang pentingnya penanganan dan transportasi yang cepat pada penderita dengan cedera kepala berat tertutup dan perdarahan subdural akut. Penderita dengan hematoma yang dievakuasi lebih kurang 4 jam, angka kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik. Sedangkan penderita yang dioperasi diatas 4 jam, angka kematiannya 90% dan kurang dari 10 % dengan keluaran baik (4).
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera kepala yaitu; terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya delakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang lain (1).
Pengukuran keluaran penderita cedera kepala
Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20% (19). Sebagian besar penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas mencapai 75% (3).
Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera, lokasi cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses sensorik (melihat, mendengar, meraba, mengecap dan menghidu), berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang, dan keadaan sosial yang tidak normal) (27).
Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit (32,34). Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala (1). Untuk keluaran penderita, pengukuran standar yang biasa digunakan adalah Glasgow Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan Bond (1975) (2,26,35).
Tabel 2.2 glasgow outcome scale (35)
Skore Kategori Keterangan
1
2
3
4
5 Death (meninggal)
Vegetative state
Severe disability
Moderate disability
Good recovery Merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Penderita menjadi sadar kembali dan meninggal setelah itu karena komplikasi skunder dan penyebab lain.
Penderita tidak memberikan respon dan tidak bisa berbicara untuk beberapa waktu kedepan. Penderita mungkin dapat membuka mata dan menunjukkan siklus tidur dan bangun tetapi fungsi dari korteks serebral tidak ada.
Membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari disebabkan karena kecacatan mental atau fisik, biasanya kombinasi antara keduanya. Kecacatan mental yang berat kadang-kadang juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini pada penderita dengan kecacatan fisik sedikit atau tidak ada.
Dapat berjalan-jalan menggunakan transportasi umum dan bekerja di tempat-tempat tertentu (dengan perlindungan) dan dapat beraktifitas bebas sejauh kegiatan tersebut tidak mengkhawatirkan. Ketidakmampuan(kecacatan) penderita mencakup perubahan derajat dari dispasia, hemiparise, atau ataksia maupun berkurangnya intelektual dan daya ingat dan perubahan personalitas. Lebih mampu untuk melakukan hal-hal protektif diri.
Dapat melanjutkan kehidupan normal sekalipun terjadi keadaan defisit neurologis
Evaluasi/taksiran penilaian praktis dari keluaran penderita cedera kepala berat.
GOS dibagi menjadi 5 skala yaitu: good recovery, moderate disability, severe disability, vegetative dan death (2,26,35). Dari skala di atas dapat dibagi menjadi keluaran baik/favorable outcome (good recovery dan moderate disability) dan keluaran buruk/unfavorable outcome (severe disability, vegetative dan dead) (26). Cederatic Coma Data Bank menganalisa 760 penderita cedera kepala dan mengidentifikasi 5 faktor yang berhubungan dengan keluaran buruk yaitu; umur penderita diatas 60 tahun, GSC <5,>(29).
Data dari Rosner, Marion and rekan kerjanya melaporkan total penderita 241 orang dengan GCS <7,>(26).
Dari data Journal of Nuerotaruma ada beberapa penelitan terbaru yang berhubungan dengan tingkat keparahan ataupun keluaran penderita cedera kepala terutama penderita cedera kepala berat. Kadar magnesium serum yang rendah berhubungan dengan keluaran buruk pada penderita setelah cedera kepala berat. Respon stres berperan oenting dalam penurunan konsentrasi magnesium. Serum hipomagnesemia menjadi independent marker untuk beratnya cedera kepala (36). Penderita cedera kepala dengan usia 75 tahun atau lebih secara signifikan tidak dapat bertahan hidup setelah tindakan bedah dari pada penderita muda (14-64 tahun) (37). Von Willebrand Factor (VWF) dikenal sebagai biomaker dari cedere pada endotelial. Peningkatan dari kadar serum VWF terjadi karena aktivasi endotelial pada cedera kepala berat. Peningkatan serum VWF pada cedera kepala cerat merupakan tanda dari keluaran buruk dari penderita (38). High intracranial pressure (HICP) adala komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya dari cedera kepala, berat dan durasi HICP berhubungan dengan keluaran buruk penderita dan memerlukan terapi yang intensif (39).
Komplikasi
Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh (6,31).
Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy (6,31).
Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain (6,31).
Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda (6,31).
Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran (6,31).
Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan terjadinya penyakit alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera (6,31).
2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit (1). Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Advanced Cardiac Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat (3).
Penatalaksanaan penderita cedera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak (3).
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal (1).
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka (1).
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial (1).
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea (3,29).
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>(3).
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan (3).
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm (3,29).

DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeon, 1997 : 195-227.
2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998 : 147-176.
3. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.
4. Mc Khann GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital Care of the Head-Injuried Patient. Dalam : Textbooks of Neurotrauma. Mc Graw Hill. 103-112
5. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.
6. Markam S, Atmadja DS, Budijanto A. Cedera Kepala Tertutup. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999; 4-112
7. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System LLC, 2003.
8. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of Surgery. 4th ed. Elsevier Churchill Livingstone, 2007; 551-61.
9. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier Saunders, 2006; 685-97.
10. Putz R, Pabst R. Sobotta:Atlas der Anatomie des Menschen. 22nd ed. Suyono J, Sugiharto L, Novrianti A, Liena, penerjemah. Sobotta:Atlas Anatomi Manusia. Edisi 22. Jilid 1. Jakarta: EGC, 2007.
11. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th ed. McGraw-Hill, 2005; 1615-20.
12. Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic 929: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm
13. Bedong MA. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan Penetalaksanaannya. Mei 2001 [31 Agustus 2007];. Diunduh dari: http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm
14. Perez E. Head Injury.University of Maryland Medical Center, 1 Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 28: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.umm.edu/ ency/ article/000028.htm
15. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006 [4 September 2007]. Diunduh dari: http://www.biausa.org/pages/type_of_brain_injury_ .htm
16. Olson DA. Head Injury. 2 Oktober 2006 [20 September 2007]; Topic 153: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/neuro/topic153.htm
17. Valadka BA, Narayan RK. Emergency Room Management of the Head Injuried Patient. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill.119-134.
18. Stein SC. Classification of the Head Injury. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill. 31-38.
19. Batjer HH, Loftus CM, Textbook of Neurological Surgery. Principles and Practise. Volume 3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003; 2795-2814.
20. Homeier BP. Head Injuries. Durani Y, reviewer. Mei 2007 [20 September 2007]. Diunduh dari: http://www.kidshealth.org/parent/firstaid_safe/emergencies/ head_injury.htm
21. Mt. Drablo Adult Educaation. TBI Backgraoud Information. Juli 2007 [17 Desember 2007]. Diunduh dari: http://www.mdusd.k12.ca.us/adulted/ontrack/ brain.htm
22. Gerdes SL. Some Mechanism of Traumatic Brain Injury. 2007 [17 Desember 2007]. Diunduh dari: http://www.nebraskabraininjurylawyer.com/how.html
23. Miller JD, Piper IR, Jones PA. Pathophysiology of Head Injury. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill. 61-68.
24. Bhangu AA, Keighley MR. Head Injury. Dalam: Flesh and Bones of Surgery. Mosby Elsevier, 2007; 16-17.
25. Rappaport WA, Brannan S. Head injury. Dalam: Surgery. Mosby Elsevier, 2005; 216-18.
26. Yaumans JR. Trauma. Dalam: Neorological surgery. 4th ed. Volume 3. WB Saunders Company, 1996; 1531-1618.
27. National Institude of Neurological Disorders and stroke. Traumatic Brain Injury:Hope Through Research. 24 Agustus 2007 [20 September 2007]. Diunduh dari: http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/detail_tbi.htm
28. Lu JJ, Dacey RG. Neurosurgical Emergencies. Dalam: The Washington Manual of Surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002.
29. Shepard S. Head Trauma. 20 Agustus 2004 [20 September 2007]; Topic 2820: [9 screens]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/med/topic2820.htm
30. Aldrich EF, Chin LS, Dipatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery:Traumatic Head Injury. Dalam: Sabiston Textbook of Surgery:The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 16th ed. WB Saunders Company, 2001; 1529-33.
31. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Traumatc Brain Injury. 20 September 2006 [20 September 2007]. Diunduh dari: http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552
32. Hatfield R, Simpson B, Sutcliffe J. Head Injury and Concussion:A Guide for Patients and cares. The brain trauma Foundation. 19 Juli 2005 [18 September 2007]. Diunduh dari: http://www.brainandspine.org.uk/information/ publications/brain_and_spine_booklets/head_injury_and_concussion/introduction.html
33. Wijanarka A, Dwiphrahasto. Implementasi Clinical Governance: Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat. Desember 2005 [4 September 2007]; volume 8; [8 screens]. Diunduh dari: http://jmpk-online.net/files/05agus.pdf
34. Turkington CA. Head Injury:Gale Encyclopedia of Medicine. 14 Agustus 2006 [18 September 2007]. Diunduh dari: http://www.healthatoz.com/healthatoz/ Atoz/common/standard/transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/head_injury.jsp
35. Whyte J, Hart T, Laborde A, Rosenthal M. Rehabilitation Issues in Traumatic Brain Injury. Dalam: Physical Medicine and Rehabilitation, Principles and Practice. 4th ed. Volume 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1640-85.
36. Stippler M, Fischer MR, Puccio AM, Wisniewski SR, Carson-walter EB, Dixon CE, et al. Serum and cerebrospinal Fluid Magnesium in Severe Traumatic Brain Injury Outcome. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 277 [1347-54]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus /10.1089/neu.2007.0277
37. Bouras T, Stranjalis G, Korfias S, Andrianakis I, Pitaridis M, Sakas DE. Head Injury Mortality in a Geriatric Population:Differentiating an “Edge” Age Group with Better Potential for Benefit than Older Poor-Prognosis Patients. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 370 [1355-61]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus/10.1089/ neu.2005.370
38. Oliveira COD, Reimer AG, Da Rocha AB, Grivicich I, Schneider RF, Roisenberg I, et al. Plasma von Willebrand Factor Levels Correlate with Clinical Outcome of Severe Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 159 [1331-38]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus /10.1089/neu.2006.0159
39. Stocchetti N, Colombo A, Ortolano F, Videtta W, Marchesi R, Longhi L, et al. Time Course of Intracranial Hypertension after Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 300 [1339-46]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus/10.1089/ neu.2007.0300
40. Ghazali MV, Sastromihardjo S, Soedjerwo SR, Soelaryo T, Pramulyo H. Studi Cross Sectional. Dalam: Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto, 2002; 97-109